there’s something about geometry + architecture

May 30, 2012

Digital Grafis; warna yang menipu

Filed under: perception — fazrinrahman @ 16:30

Pada zaman teknologi seperti ini, kebanyakan visualisasi seni dan grafis kita kebanyakan mengkonsumsinya dari media-media digital, seperti TV, komputer jinjing, handphone, kamera, dan banyak media digital lainnya. Selain memberikan kemudahan dan akses tak terbatas pada kita sebagai penikmat media, kita dapat menyimpan, memutar kembali, bahkan mengolah imej-imej digital tersebut. Akan tetapi, dibalik semua kemudahan yang ditawarkan oleh dunia digital ini, ada kekurangan yang seringkali tidak kita perhatikan dalam urusan media digital ini. Di dunia grafis, warna merupakan komponen penting yang tidak terpisahkan dari karya-karya grafis ini. Tidak hanya terbatas pada grafis-grafis yang menggunakan banyak tone warna, tapi juga berkaitan langsung dengan grafis-grafis hitam-putih.

Image

Ketidaknyamanan yang seringkali menjadi kelemahan dari grafis di dunia digital adalah tingkat keakuratan warna ini. Seringkita temui misalnya, hasil foto atau grafis, yang kita olah menggunakan satu komputer memiliki, kejernihan warna, kecerahan, kontras, ketajaman, dan lainnya. Misalnya, pada saat mengolah foto menggunakan MacOS, output warna yang dihasilkan terlihat berbeda daripada ketika kita mencoba mengolah foto tersebut dengan komputer ber OS windows. Hal ini dikarenakan setingan dan standarisasi warna diantara kedua perangkat yang memang berbeda.

Selain itu, ada aspek lain yang mempengaruhi, kecanggihan perangkat salah satunya. Pada monitor/layar berbasis CRT ( Cathode Ray Tube) memiliki kejernihan dan kekayaan warna yang berbeda dengan monitor-monitor high-end yang sering dipakai seperti saat ini. Standarisasi warna digital yang berbeda-beda pula juga mempengaruhi. Seperti yang kita ketahui warna-warna (baik digital dan fisik) di lingkungan kita terbentuk dari pengkomposisian warna RGB (red-green-blue), akan tetapi standarisasi untuk pewarnaan digital mulai berubah karena kebutuhan gelap-terang yang pekat pada alat-alat elektronik, oleh karena itu standar baru mulai diperkenalkan yaitu CMYK (cyan-magenta-yellow-black).

Image

Selain hal-hal di atas, aspek fisik lingkungan juga mempengaruhi, penggunaan layar monitor di ruangan terang dengan di ruangan gelap berbeda akan memberikan pengaruh dan citra warna yang berbeda pula bagi penggunanya. Banyak faktor lainnya yang tidak kalah berpengaruhnya pada kualitas dan persepsi warna digital yang kita lihat, misalnya penggunaan screen-protector pada perangkat kita, settingan standar monitor (brightness, contrast, colour, dst.)

Masalah warna dan setingannya di atas, menjadi masalah ketika kita membutuhkan memindahkan imej-imej digital tadi ke bentuk fisik seperti poster, foto dan media cetak lainnya. Terkadang warna yang dihasilkan berbeda dengan yang kita lihat pada layar monitor. Sehingga terkadang kita yang merasa dirugikan oleh keadaan ini. Hal ini mengacaukan penilaian seseorang terhadap kualitas grafis yang dilihatnya. Baik secara estetik maupun secara komposisi. Banyak usaha yang dilakukan untuk menyiasati hal ini, salah satunya dengan metode kalibrasi. Hal ini untuk menyelaraskan antara warna yang tampil di layar monitor semirip mungkin dengan warna pada hasil cetakan. Akan tetapi hal ini tidak dapat benar-benar diandalkan karena perbedaan tetpa saja dapat terjadi karena masalah-masalah lainnya, seperti kualitas perangkat cetak, kemurnian warna tinta, kualitas kertas, dan lainnya. Hal ini membuat saya berargumen, apabila dibandingkan dengan kualitas estetis yang dapat kita temui pada seni-seni klasik seperti lukisan, sculpture, dan sketsa-sketsa, karya-karya seni digital kontemporer, memiliki hal ini sebagai kekurangan yang sulit untuk ditutupi. Lukisan-lukisan klasik dinilai berdasarkan kualitas goresan, kedalaman warna, tekstur dan elemen-elemen lainnya yang menjadikan karya seni tersebut berkelas dan seringkali menggambarkan kejeniusan dan keahlian dari pembuatnya. Berbeda dengan karya-karya grafis digital yang mudah diduplikasi, pergeseran kualitas, dan seterusnya yang membuat karya tersebut cenderung “murahan”.

ImageImage

Akan tetapi penilaian tersebut kembali pada diri penikmat seni masing-masing, kualitas goresan dan kedalaman makna sebuah karya seni pada zaman seni kontemporer seperti sekarang ini telah bergeser dan mengalami perubahan, sehingga nilai sebuah karya seni tidak lagi bergantung pada standar-standar baku dan klasik yang seringkali dijadikan patokan.

 

2 Comments »

  1. saya juga mengalami kejadian serupa ketika akan melakukan printing hasil digital, hasil warna yang dibuat dan diharapkan tidak sesuai rencana dan mengakibatkan kekecewaan tersendiri.Pelaku Grafis digital sendiri memang seharusnya memperhatikan proses printing yang akan dilakukan, bukan hanya sekadar lihai dalam menguasai software tertentu yang berhubungan dengan grafis digital. Hal-hal seperti ini yang dirasa menjadi sebuah kekurangan tersendiri bagi Graphic Designer dalam menuangkan ide kreatifnya dalam bentuk fisik (dari bentuk digital). Proses Printing grafis digital pastinya akan melewati satu dari 2 proses warna yang ada, yakni “spot colours” (perubahan warna yang diekspektasi akan muncul akibat settingan printer berbeda di tempatnya) atau “process colours” (warna yang ada sesuai dengan yang diharapkan).

    Mengenai kecendrungan grafis digital mudah diduplikasi dan lain sebagainya, saya rasa hal ini disebabkan adanya beberapa formula yang sama dipakai dalam mebuat digital artwork, contohnya saja dalam pemilihan warna yang ada untuk grafis digital ada rumusnya dan juga banyak dibukukan. Proses graphic digital sendiri juga sudah jelas pastinya terdapat man-computer-artwork, dimana computer adalah media yang dipakai dan sekarang ini banyak orang yang bisa menggunakan komputer dan mempelajari tutorial sederhana dari grafis digital. sedangkan seni klasik : man-canvas/stone/ceramic/etc-artwork, dimana medianya berbeda-beda dan dengan keahlian khusus yang ada orang yang menguasainya dan ada yang tidak, sehingga output yang dikeluarkan tentu beragam dan berbeda-beda karakteristik keindahannya.

    http://www.designsmag.com/2012/03/10-skills-graphic-designers-lack-but-art-workers-have/

    Comment by thalfahamalina — June 1, 2012 @ 15:00

  2. “Lukisan-lukisan klasik dinilai berdasarkan kualitas goresan, kedalaman warna, tekstur dan elemen-elemen lainnya yang menjadikan karya seni tersebut berkelas dan seringkali menggambarkan kejeniusan dan keahlian dari pembuatnya. Berbeda dengan karya-karya grafis digital yang mudah diduplikasi, pergeseran kualitas, dan seterusnya yang membuat karya tersebut cenderung “murahan”.”

    saya sendiri setuju dengan kalimat kedua Anda dalam kutipan yang saya ambil tersebut. Seni adalah salah satu bagian dari kebudayaan, sama seperti bahasa dan agama. Berasal dan mengalir melalui diri manusia, tertuangkan langsung dalam atau melalui diri manusi sendiri.

    Sementara seni digital, dengan komputer atau benda apapun itu yang mewakili eksekusi ide dari otak ke sebuah media. Telah memutus dan menghilangkan satu unsur dari sebuah karya, sebuah unsur “”magis” yang mengalir dari kreativitas ide si seniman ke suatu media.

    Seniman grafis tidak lagi menginteraksikan fisiknya dengan media, hal tersebut yang menurut saya menghilangkan jiwa dari sebuah karya seni, karya digital yang Anda sebut murahan tadi.

    Mungkin ada sebagian yang berpikir tentang foto Marylin Monroe buatan Andy Warhol, itu tetap sebuah seni bernilai untuk saya. Kenapa? karena itu bukan proses digital dengan corel draw yang membuat sebuah karya kehilangan jiwa si seniman. Foto tersebut merupakan hasil eksperimen seni Warhol dalam kamar gelap yang intinya dia tetap berinteraksi dan bersntuhan langsung dengan karyanya, tidak hanya sekadar merubah-rubah garis dan warna dengan mouse di depan layar komputer.

    Comment by mahardikaandi — June 13, 2012 @ 00:01


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment