there’s something about geometry + architecture

March 28, 2016

Golden Ratio : Fakta dan Mitos

Apa itu Golden Ratio?

Dalam arsitektur, dibawah estetika klasik dipelajari cara membuat proporsi yang ‘bagus, sempurna, indah’. Yaitu metoda Golden Ratio. Digunakan untuk mencapai keseimbangan dan keindahan di seni lukis maupun seni rupa Renaissance. Salah satu penggunaannya digunakan oleh Da Vinci.

Golden rasio adalah suatu angka irrasional (ber desimal tak terhingga) yang biasanya berjumlah 1,6180… didapati dengan membagi sebuah garis dengan perbandingan yang menghasilkan 1,6180… dengan rumus : bagian panjang dibagi bagian pendek = seluruh bagian dibagi bagian panjang

golden-ratio

(symbol diatas dibaca “phi”)

Angka sebenarnya adalah

1,61803398874989484820…

golden-ratio

Hubungan yang sering dijumpai dengan Golden Ratio adalah Urutan Fibonacci

0, 1, 1, 2, 3, 5, 8, 13, 21, 34, …

uniknya rasio antara urutan  (n+1)/n hampir mendekati Golden Ratio.

n
n+1
(n+1)/n
2
3
1,5
3
5
1,666666666…
5
8
1,6
8
13
1,625
144
233
1,618055556…
233
377
1,618025751…

sehingga disimpulkan Golden Ratio adalah

phi-1p1onphi

phi-continued-fraction

Namun apa yang membuat rasio ini sangat spesial? Riset membuktikan ketika responden melihat wajah manusia, hal yang menarik bagi mereka adalah bagian yang mendekati Golden Ratio. Wajah yang tergolong menarik memperlihatkan proporsi Golden Ratio terhadap lebar mata, hidung dan alis mata. Responden merupakan yang tidak mengenal ‘phi’, hanya subjek tes awam. Golden Ratio didapati dari insting subjek.

Golden Ratio dan Estetika

Jika anda menggambarkan sebuah persegi di sekeliling muka Mona Lisa karya Leonardo Da Vinci, maka rasio tinggi terhadap lebar dari persegi = Golden Ratio. Apakah anda mau mencoba membuktikannya?

grmonaliza

Seniman lain, Salvador Dali, yang tidak berhubungan langsung dengan Golden Ratio. Dalam karyanya juga dicurigai mengandung Golden Ratio dalam dimensi gambarnya. Dali juga menggunakan sebuah dodecahedron (12 sisi platonic solid) meliputi meja makan dalam Sacrament of the Last Supper dipercaya berhubungan dengan Golden Ratio.

fig2.jpg

Le Corbusier juga dinyatakan menggunakan Golden Ratio dalam mendesain sistem proporsi yang disebut ‘Modulor’. Modulor ini ditetapkan sebagai standar proporsi terbaik untuk segalanya, dari gagang pintu ke bangunan tinggi.

44-main-Modulor

Masih menjadi perdebatan dalam hal persepsi manusia dalam ‘beauty’ dan matematika.

Misteri Golden Ratio

Golden Ratio memberikan misteri tersendiri dengan proporsi geometris dan menyenangkan di mata. Sekarang, insinyur dari Duke University menemukan bahwa Golden Ratio adalah sebuah batu loncatan untuk menyatukan visi, pemikiran dan gerakan dibawah hukum perancangan alam. Dikenal sebagai proporsi ilahi, Golden Ratio menggambarkan sebuah persegi dengan panjang satu setengah kali dari lebarnya.

Menurut Adrian Bejan, profesor teknik mesin Duke’s Pratt School of Engineering, alasan Golden Ratio berada di mana mana; mata melihat gambar secara cepat ketika bentuknya persegi Golden Ratio.

“When you look at what so many people have been drawing and building, you see these proportions everywhere, It is well known that the eyes take in information more efficiently when they scan side-to-side, as opposed to up and down. The phenomenon of the golden ratio contributes to this understanding the idea that pattern and diversity coexist as integral and necessary features of the evolutionary design of nature.” – Bejan

Mitos Golden Ratio

3044877-slide-s-1-the-golden-ratio-designs-biggest-urban-legend-copy.jpg

Parthenon design  setelah adanya Golden Ratio? Tidak!

3044877-slide-s-2-the-golden-ratio-designs-biggest-urban-legend-copy

Logo Apple? Nay!

3044877-slide-s-3-the-golden-ratio-designs-biggest-urban-legend-copy

Gunting berlandaskan Golden Ratio. Apakah mereka lebih indah dari gunting biasa?

3044877-slide-i-4a-the-golden-ratio-designs-biggest-urban-legend

The Sacrament of the Last Supper, 1995, Salvador Dali.
Dilukiskan diatas kanvas dengan proporsi Golden Rectangle, tapi tidak ditemukan hubungan kenapa lukisannya indah.

Dalam dunia seni, arsitektur, dan perancangan; Golden Ratio sangat terkenal. Le Corbusier dan Salvador Dali menerapkannya. Contohnya Parthenon, Pyramid Giza, lukisan Michelangelo, Mona Lisa, logo Apple diisukan memakainya. Bullshit. Golden Ratio adalah mitos, tidak ada ilmu pengetahuan yang menunjukkan itu. Semuanya hanya kebohongan 150 tahun yang lalu.

Kenyataan Golden Ratio

Nilai dari ‘phi’ = 1,6180… merupakan angka Golden Ratio. Saat anda memiliki objek kemudian membagi 2 dengan prinsip Golden rectangle, kemudian anda melakukan kalkulasi dan anda dapatkan angka 1,6180 namun kenyataannya anda mendapatkan angka yang tak terbatas 1,6180339887… dan demisal tersebut berlangsung terus menerus sehingga “Tak mungkin benda dunia asli berada di Golden Ratio, sebab angkanya irrasional” dikatakan Keith Devlin, profesor matematik di Stanford University. And dapat mendekati angka Golden Ratio namun tak mungkin untuk tepat di angka tersebut sehingga objek apapun tidak akan tepat berada di angka ‘phi’. Sehingga ada sesuatu yang terasa kurang.

Golden Ration sebagai Mozart Effect

Devlin menyatakan bahwa ide Golden Ratio berhubungan ke estetika datang dari 2 jenis orang. Yang salah mengutip dan yang membuat kebohongan. Pertama adalah Luca Pacioli, biarawan yang menulis buku De Divina Proportione kemudian dinamai Golden Ratio. Di dalam bukunya Pacioli tidak berargumen bahwa teori Golden ratio harus diaplikasikan ke seni, arsitektur dan rancangan, melainkan ia mendukung proporsi Vitruvian. Orang lainnya ialah Adolf Zeising. Zeising adalah psikolog German yang berargumen bahwa Golden Ratio adalah hukum universal yang menggambarkan “beauty and completeness in the realms of both nature and art… which permeates, as a paramount spiritual ideal, all structures, forms and proportions, whether cosmic or individual, organic or inorganic, acoustic or optical.”

Zeising berargumen Golden Ratio dapat diaplikasikan ke tubuh manusia dengan membagi tinggi manusia dengan jarak pusar ke jari kaki. Devlin menyatakan bahwa sangat mudah mencapai angka perbandingan 1,6 ketika megukur sesuatu sekompleks tubuh manusia.Melalui ini teori Zeising menjadi sangat terkenal. Dilanjutkan sistem Modulor, Le Corbusier, karya The Sacrament of the Last Supper, Dali Sehingga Golden Ratio dan estetika menjadi desas desus hingga saat ini.

Anda Tidak Benar Benar Suka dengan Golden Ratio

Devlin melakukan percobaan kepada ratusan mahasiswa untuk memilih persegi yang menjadi favorit mereka. Hasilnya mahasiswa memilih secara acak. Dan jika percobaan dilakukan berulang, hasil yang keluar sama. Jika benar Golden Ratio adalah kunci estetika, maka para mahasiswa sudah seharusnya memilih persegi yang mendekati Golden Rectangle. Eksperimen ini menunjukkan Golden Rasio tidak lebih estetis untuk orang. Riset dari Haas School of Business di Berkeley juga menunjukkan konsumen memilih persegi dengan rasio 1,414 dan 1,732. Rasio antara tersebut mengandung Golden Ratio namun tidak selalu di titik tersebut.

Banyak Desainer yang Merasa Golden Ratio Tidak Berguna

Richard Meier, arrsitek legendaris dibalik Getty Center dan Barcelona Museum of Contemporary Art, mengaku pertama kali saat memulai karir, dia menggunakan Golden Ratio di sebuah segitiga. tetapi beliau tidak pernah sekalipun merancang arrsitekturnya dengan Golden Ratio. “There are so many other numbers and formulas that are more important when designing a building,” katanya, mengacu ke formula perhitungan ukuran maksimum ruang, atau yang menentukan beban struktural.

Alisa Andrasek, desainer Biothing. “In my own work, I can’t ever recall using the golden ratio,” tulis Andrasek di email. “I can imagine embedding the golden ratio into different systems as additional ‘spice,’ but I can hardly imagine it driving the whole design as it did historically… it is way too simplistic.”

Giorgia Lupi, desainer Italia, mengungkapkan Golden Ratio penting untuk desainer sebagai aturan komposisi seperti rule of thirds“I don’t really know, in practice, how many designers deliberately employ the golden ratio,” she writes. “I personally have never worked with it our used it in my projects.”

Para desainer, desainer industrial Yves Béhar of Fuseproject. “I sometimes look at the golden ratio as I observe proportions of the products and graphics we create, but it’s more informational than dogmatic,”. Tak sekalipun ia merancang sesuatu dengan pemikiran Goden Ratio. “It’s important as a tool, but not a rule.”

Kenapa Mitos Golden Ratio berlangsung sampai hari ini?

“We’re creatures who are genetically programmed to see patterns and to seek meaning,”– Devlin. Sudah terpogram di DNA kita untuk nyaman terhadap subjektivitas seperti estetika, jadi kita mendefinisikan / melimitkan suatu penilaian dengan angka. Tetapi kebayakan orang tidak engerti matematika, atau mudahnya sebuah rumus Golden Ratio diaplikasikan ke sistem kompleks, sehingga sulit untuk error-check diri kita.  “People think they see the golden ratio around them, in the natural world and the objects they love, but they can’t actually substantiate it, They are victims to their natural desire to find meaning in the pattern of the universe, without the math skills to tell them that the patterns they think they see are illusory.”  Jika anda melihat Golden Ratio di desain favorit anda. Anda kemungkinan berhalusinasi.

vitruvian.jpg

Jadi Golden Ratio itu hanya mitos belaka? Apakah anda mempercayai bahwa itu hanya mitos belaka? Bagaimana dengan gambar Vitruvian Man? Percaya atau Tidak itu terserah Anda!

Benny Chandra
1306412741

Referensi (diakses 27/03/16 22.00 WIB) :

Golden Ratio. https://www.mathsisfun.com/numbers/golden-ratio.html

What is Golden Ratio? http://www.livescience.com/37704-phi-golden-ratio.html

The golden ratio and aesthetics. https://plus.maths.org/content/golden-ratio-and-aesthetics

Mystery of the Golden Ratio Explained. http://pratt.duke.edu/news/mystery-golden-ratio-explained

The Golden Ratio: Design’s Biggest Myth. http://www.fastcodesign.com/3044877/the-golden-ratio-designs-biggest-myth

March 25, 2011

Leonardo Da Vinci : Geometri Tanpa Batas

Leonardo Da Vinci : seorang buta huruf. Benarkah ??? Demikianlah sebaris teks terjemahan yang tersebutkan dalam buku “Sains Leonardo “ karangan Fritjof Capra di baris pertama halaman dua pada bagian pendahuluan. Sebuah buku yang mencuri perhatian saya akan keagungan sejati dari sang Genius Leonardo Da Vinci- sang Penafsir alam semesta yang terus mengiangi pikiran sadar saya dalam kelas Geometri dan Arsitektur. Omo sanza lettere, begitulah kira-kira teks aslinya. Namun, itu bukan soal yang harus digarisbawahi karena quotes itu melainkan hanya semacam ironi dan kebanggaan Leonardo atas metode barunya. Sehingga saya pun ikut tergelitik untuk meng-copy paste teks itu dan menaruhnya pada bagian awal tulisan ini.

Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa Leonardo adalah representasi peradaban sintesis antara sains dan seni, atau lebih ekstrim lagi bahwa sesungguhnya Leonardo adalah pendiri sejati sains modern, bukan Galileo Galilei yang selama ini diagung-agungkan. Mengapa tidak ? andai saja para pemikir ilmiah barat telah menemukan notebook nya yang memuat kurang lebih 13.000 halaman dan langsung mempelajarinya secara detail setelah kematiannya.  Karya-karyanya yang sungguh luar biasa membuktikan kepada kita bahwa betapa imajinasi itu tanpa batas dan bisa melampaui pengetahuan yang ada. Namun, tidak banyak yang tergerak untuk mempelajari karyanya pada masa itu (masa Renaisans) karena belum terekspos, barulah beberapa abad setelah kematian nya, transkrip-transkrip ilmiahnya tergali dan memberikan dentuman yang sangat keras di tiap masanya dengan berbagai karya disiplin ilmu.

Salah satu yang menjadi ketertarikan saya adalah  bagaimana Leonardo mengeksplorasi bentuk geometri dalam kajian ilmiahnya. Ada tiga jenis transformasi kurvilinear yang sering digunakan Leonardo dengan berbagai kombinasi. Pada jenis pertama, sebuah bentuk dengan satu sisi kurvilinear digeser ke sebuah posisi baru sedemikian sehingga kedua bentuk itu saling overlap (lihat gambar 1). Karena kedua bentuk tersebut identik, dua bagian yang tersisa ketika bagian yang dimiliki bersama itu (B) dikurangi, pasti mempunyai luas yang sama (A=C). Teknik ini memungkinkan Leonardo mengubah bidang apa pun yang dibatasi oleh dua kurva identik menjadi sebuah bidang segi empat, artinya, “mengubah menjadi segi empat”.


Transformasi jenis kedua diperoleh dengan memotong sebuah segmen dari suatu bentuk tertentu, misalnya sebuah segitiga, dan kemudian melekarkannya lagi pada sisi yang lain (lihat gambar 2). Bentuk kurvilinear yang baru, mempunyai luas yang sama dengan segitiga awal. Seperti diterangkan oleh Leonardo dalam teks yang menyertainya: “Aku akan mengambil b dari segitiga ab, dan aku akan melekatkannya lagi pada c…Kalau aku melekatkan lagi kepada suatu bidang apa yang telah kuambil darinya, maka bidang itu kembali pada keadaan semula”. Ia sering menggambar segitiga-segitiga kurvilinear semacam itu, yang diberi nama falcate (falcates), diturunkan dari istilah falce, kata dalam bahasa Italia yang berarti sabit (scythe).

Transformasi jenis ketiga Leonardo melibatkan deformasi bertahap dan bukannya gerakan bentuk-bentuk tetap, misalnya, deformasi sebuah persegi panjang, seperti ditunjukkan dalam gambar 3. Kesetaraan kedua bidang datar ditunjukkan dengan membagi persegi panjang menjadi potongan-potongan tipis paralel, dan kemudian mendorong setiap potongan ke posisi baru, sehingga kedua garis lurus vertikalnya berubah menjadi kurva.

<img src="

Leonardo begitu senang dalam menggambar berbagai variasi tanpa akhir persamaan topologis ini, sebagaimana para matetmatikawan Arab pada abad-abad sebelumnya takjub ketika mengeksplorasi berbagai variasi persamaan aljabar. Namun yang khas dalam geometri Leonardo adalah variasi bentuk-bentuk geomteris tanpa batas di mana luas atau volum selalu dipertahankan, dimaksudkan untuk mencerminkan transmutasi tanpa lelah pada bentuk-bentuk alam yang hidup, dalam kuantitas materi yang tak terbatas dan tak berubah.
Satu lagi metode disain yang dapat menjadi terapan dasar eksplorasi kita dalam studio perancangan. Selain itu, tidak menutup kemungkinan kita dapat menemukan ragam bentuk dan konsepsi yang lebih kaya lagi dari tipologi geomteri Leonardo ini. Oleh karena itu, saya menyarankan kenpa kita tidak mencobanya…
(Sumber : Saduran dari buku “Sains Leonardo : Menguak Kecerdasan Terbesar Masa Renasisan” karya Fritjof Capra, 2007)

March 22, 2011

Leonardo Da Vinci : Geometri Tanpa Batas

Filed under: classical aesthetics,process — miktha24 @ 08:36
Tags: , ,

Leonardo Da Vinci : seorang buta huruf. Benarkah ??? Demikianlah sebaris teks terjemahan yang tersebutkan dalam buku “Sains Leonardo “ karangan Fritjof Capra di baris pertama halaman dua pada bagian pendahuluan. Sebuah buku yang mencuri perhatian saya akan keagungan sejati dari sang Genius Leonardo Da Vinci- sang Penafsir alam semesta yang terus mengiangi pikiran sadar saya dalam kelas Geometri dan Arsitektur. Omo sanza lettere, begitulah kira-kira teks aslinya. Namun, itu bukan soal yang harus digarisbawahi karena quotes itu melainkan hanya semacam ironi dan kebanggaan Leonardo atas metode barunya. Sehingga saya pun ikut tergelitik untuk meng-copy paste teks itu dan menaruhnya pada bagian awal tulisan ini.

Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa Leonardo adalah representasi peradaban sintesis antara sains dan seni, atau lebih ekstrim lagi bahwa sesungguhnya Leonardo adalah pendiri sejati sains modern, bukan Galileo Galilei yang selama ini diagung-agungkan. Mengapa tidak ? andai saja para pemikir ilmiah barat telah menemukan notebook nya yang memuat kurang lebih 13.000 halaman dan langsung mempelajarinya secara detail setelah kematiannya.  Karya-karyanya yang sungguh luar biasa membuktikan kepada kita bahwa betapa imajinasi itu tanpa batas dan bisa melampaui pengetahuan yang ada. Namun, tidak banyak yang tergerak untuk mempelajari karyanya pada masa itu (masa Renaisans) karena belum terekspos, barulah beberapa abad setelah kematian nya, transkrip-transkrip ilmiahnya tergali dan memberikan dentuman yang sangat keras di tiap masanya dengan berbagai karya disiplin ilmu.

Salah satu yang menjadi ketertarikan saya adalah  bagaimana Leonardo mengeksplorasi bentuk geometri dalam kajian ilmiahnya. Ada tiga jenis transformasi kurvilinear yang sering digunakan Leonardo dengan berbagai kombinasi. Pada jenis pertama, sebuah bentuk dengan satu sisi kurvilinear digeser ke sebuah posisi baru sedemikian sehingga kedua bentuk itu saling overlap (lihat gambar 1). Karena kedua bentuk tersebut identik, dua bagian yang tersisa ketika bagian yang dimiliki bersama itu (B) dikurangi, pasti mempunyai luas yang sama (A=C). Teknik ini memungkinkan Leonardo mengubah bidang apa pun yang dibatasi oleh dua kurva identik menjadi sebuah bidang segi empat, artinya, “mengubah menjadi segi empat”.

Gambar 1 : Transformasi dengan translasi (pergeseran)

Transformasi jenis kedua diperoleh dengan memotong sebuah segmen dari suatu bentuk tertentu, misalnya sebuah segitiga, dan kemudian melekarkannya lagi pada sisi yang lain (lihat gambar 2). Bentuk kurvilinear yang baru, mempunyai luas yang sama dengan  segitiga awal. Seperti diterangkan oleh Leonardo dalam teks yang menyertainya: “Aku akan mengambil b dari segitiga ab, dan aku akan melekatkannya lagi pada c…Kalau aku melekatkan lagi kepada suatu bidang apa yang telah kuambil darinya, maka bidang itu kembali pada keadaan semula”. Ia sering menggambar segitiga-segitiga kurvilinear semacam itu, yang diberi nama falcate (falcates), diturunkan dari istilah falce, kata dalam bahasa Italia yang berarti sabit (scythe).

Gambar 2 : Transformasi sebuah segitga menjadi falcate

Transformasi jenis ketiga Leonardo melibatkan deformasi bertahap dan bukannya gerakan bentuk-bentuk tetap, misalnya, deformasi sebuah persegi panjang, seperti ditunjukkan dalam gambar 3. Kesetaraan kedua bidang datar ditunjukkan dengan membagi persegi panjang menjadi potongan-potongan tipis paralel, dan kemudian mendorong setiap potongan ke posisi baru, sehingga kedua garis lurus vertikalnya berubah menjadi kurva.

Gambar 3 : Deformasi sebuah persegi panjang

Leonardo begitu senang dalam menggambar berbagai variasi tanpa akhir persamaan topologis ini, sebagaimana para matetmatikawan Arab pada abad-abad sebelumnya takjub ketika mengeksplorasi berbagai variasi persamaan aljabar. Namun yang khas dalam geometri Leonardo adalah variasi bentuk-bentuk geomteris tanpa batas di mana luas atau volum selalu dipertahankan, dimaksudkan untuk mencerminkan transmutasi tanpa lelah pada bentuk-bentuk alam yang hidup, dalam kuantitas materi  yang tak terbatas dan tak berubah.

Satu lagi metode disain yang dapat menjadi terapan dasar eksplorasi kita dalam studio perancangan. Selain itu, tidak menutup kemungkinan kita dapat menemukan ragam bentuk dan konsepsi yang lebih kaya lagi dari tipologi geometri Leonardo ini. Oleh karena itu, saya menyarankan kenapa kita tidak mencobanya…

(Sumber  : Saduran dari buku “Sains Leonardo : Menguak Kecerdasan Terbesar Masa Renasisan” karya Fritjof Capra, 2007)

March 31, 2009

Mengejar Ideal

Filed under: ideal cities — mirradewi @ 03:14
Tags: , ,

Manusia sebagai makhluk yang berpikir dan mempunyai akal sepertinya tak pernah terpuaskan dengan kondisi dan keadaan yang mereka hadapi. Dengan semakin berkembangnya pemikiran manusia, maka berbanding lurus pula dengan bagaimana mereka berusaha melakukan perbaikan. Usaha perbaikan ini mereka lakukan tentunya dengan harapan mendekati apa yang mereka idamkan. Begitulah ideal sebagai idaman manusia adalah sebuah tujuan untuk mereka kejar. Dikatakan bahwa pada saat Leonardo Da Vinci tinggal di Milan, sekitar tahun 1486 sebagian Eropa dan Italia terjangkiti oleh wabah yang menyebabkan banyak warga tewas. Leonardo menganggap tingginya angka kematian itu sebagian disebabkan oleh kondisi kota saat itu—sangat kotor, dengan padatnya populasi penduduk mengakibatkan wabah menyebar begitu mudah. Sampah dibuang ke jalan, sanitasi kota sangat buruk, jalanan sempit dan gelap. Leonardo kemudian merancang sebuah ideal city dimana jalanan dibuatnya lebar, jalur air bawah tanah mengangkut sampah, bahkan terdapat sistem paddlewheel yang dapat membersihkan jalanan. Kota rancangannya terdiri dari dua tingkat, tingkat atas diperuntukkan bagi tempat tinggal sedangkan tingkat bawah diperuntukkan bagi jalur lalu lintas dan service. Leonardo berharap dengan rancangan ini kondisi kehidupan masyarakat meningkat, sehingga penyebaran wabah penyakit yang berujung pada kematian besar-besaran dapat dicegah. Rancangan kota ideal Leonardo ini tak pernah terbangun. Maka inilah utopia Leonardo. Meski begitu pemikirannya mengenai sistem drainase dan pemipaan memberikan sumbangan bagi kastil Sforza dalam versi yang lebih kecil

Mengutip Rosenau mengenai pandangannya akan ideal city: ‘ a means to amend the imperfect condition of the city and reconstruct the reality of everyday urban life into the harmonious situation’

Rekonstruksi realita.
Saya melihat usaha pengejaran ideal, seperti yang dilakukan Leonardo sebagai suatu usaha yang sesungguhnya cerminan, merupakan refleksi dari kontekstual, kondisi yang ia alami, lihat, dan rasakan. Sebagaimana subjek memberi respon terhadap objek. Hampir tidak mungkin tercetus begitu saja angan-angan atau pemikiran terhadap suatu perbaikan tanpa ada pemicu sebelumnya. Jika begitu, bukankah seiring berjalannya waktu dan berubahnya zaman maka kondisipun akan turut berubah-ubah dan akan mengarah pada turut berubah-ubahnya pula harapan akan perwujudan keidealan itu sendiri.

Ideal dimana. Ideal kapan. Ideal terhadap siapa. Se-empiris apakah rumusan ideal hingga yang dituju dari waktu ke waktu hanyalah yang itu? Atau justru se-fluid apakah pergerakan ideal yang dituju dari waktu ke waktu?

Dan selama manusia masih ada, ideal adalah pengejaran yang tak ada habisnya.

Referensi
http://www.unacittapossibile.com/en/exhibition/history-of-the-ideal-city/
http://partner.galileo.org/tips/davinci/idealcity.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Ideal