there’s something about geometry + architecture

March 31, 2009

Non Euclidean geometry

Filed under: classical aesthetics — coriesta @ 18:01
Tags:

Sebenarnya saya sangat tertarik dengan bahan kuliah pada hari Senin, 2 Maret 2009, mengenai Euclidean dan non-Euclidean geometry, terutama di bagian yang mempertanyakan ‘apakah benar-benar ada garis sejajar?’, ’apakah garis tegak lurus hanya akan berpotongan sekali saja?’, ’apakah segitiga benar-benar hanya memiliki jumlah sudut 180 derajat?’.

Menurut saya, garis tegak lurus yang dianut kita dari dahulu (garis tegak lurus hanya berpotongan sekali.red) dengan garis tegak lurus yang diungkap pada kuliah yang lalu (garis tegak lurus akan berpotongan dua kali.red) adalah dua hal yang berbeda konteks. Sama kasusnya dengan segitiga yang dikatakan bisa memiliki jumlah sudut 270 derajat (pernyataan A). Pernyataan itu seakan mematahkan konsep segitiga yang selama kita anut selama ini, bahwa segitiga memiliki jumlah sudut sebanyak 180 derajat (pernyataan B). Tapi menurut saya tak ada pernyataan yang bisa mematahakan maupun dipatahkan. Keduanya sama-sama benar namun berjalan di dua konteks yang berbeda. Bukankah sebenarnya pengertian segitiga selama ini disebut dengan ‘segitiga adalah tiga garis lurus yang saling berhubungan satu sama lain dan membentuk sudut-sudut yang berjumlah 180 derajat’ atau sebaliknya ‘sebuah bentuk yang terdiri dari tiga garis lurus yang saling berhubungan satu sama lain dan membentuk sudut-sudut yang berjumlah 180 derajat adalah segitiga’? Bukankah hal itu berarti bahwa selain dari ‘tiga garis lurus yang saling berhubungan satu sama lain dan membentuk sudut-sudut yang berjumlah 180 derajat’ tidak dapat dikatakan sebagai segitiga? Jadi, segitiga yang dilihat dari sudut pandang ia berada di permukaan bumi yang berbentuk bulat (yang berjumlah sudut 270 derajat) bukanlah ‘segitiga’. Jadi, sah-sah saja kalau kita beri nama baru, mungkin ‘segitbung’ (segitiga cembung) atau ‘segitbul’ (segitiga gembul) atau apalah dengan hukum yang baru yaitu ‘tiga garis lengkung yang saling berhubungan dan memiliki jumlah sudut 270 derajat’.

Jadi, sebenarnya saya kurang setuju jika dikatakan ‘tidak selamanya segitiga berjumlah sudut 180 derajat’atau ‘garis tegak lurus akan bertemu untuk kedua kalinya’, karena bagi saya ‘segitiga’ akan selalu berjumlah sudut 180 derajat atau ‘dua garis yang saling tegak lurus’ akan selalu bertemu sekali seumur hidupnya. Tidak bisa dikatakan ‘segitiga’ jika tidak berjumlah sudut 180 derajat dan tidak bisa dikatakan ‘garis lurus berpotongan tegak lurus’ jika bertemu dua kali. Spherical geometry dengan Euclidean geometry tidak bisa disetarakan. Keduanya berjalan di jalur masing-masing. Layaknya bidang tiga dimensi dengan proyeksi bidang datarnya. Mereka saling berkaitan tapi hukum yang berlaku diantara keduanya adalah berbeda. Dan tidak seharusnya disamakan istilahnya, sehingga bisa berlaku kejadian seperti layaknya yang terjadi pada limas segi empat yang memiliki proyeksi bidang datar berupa segitiga.

Ambrogio Lorenzetti dan Ide Ideal City

Filed under: ideal cities — dilladilladilla @ 03:17
Tags: ,

Dari data yang saya dapat, Ambrogie Lorenzetti adalah seniman yang pada masanya (1314-1348) memiliki daya tarik yang dikatakan seimbang dengan pelukis-pelukis terkenal dari Italia lain yaitu Duccio dan Simone Martini. Ambrogio sendiri adalah salah satu adik dari Pietro Lorenzetti yang juga merupakan seniman lukis di Italia. Karya Ambrogio yang dapat didokumentasikan hanya 6 buah, 4 diantaranya adalah representasi dari Legenda St. Nicholas of Bari di Uffizi, Florence. Untuk karya pertama dari 4 buah karya legenda itu adalah sepasang lukisan ‘the Good and Bad Government’ (1337-1339) dekorasi pada dinding dari Sala Della Pace di Palazzo Publico, Siena. Lukisan ini menunjukan keadaan kota yang saling bertolak belakang apabila pemerintah dan pemerintahanya ‘buruk’ atau ‘baik’.

Saya jadi bertanya, pada saat itu di Italia, apa yang mempengaruhi pandangan orang-orang tentang sebuah kota yang baik semestinya. Soalnya dari kuliah, kita diharapkan bisa melihat bagaimana lukisan Ambrogio memberitahukan keadaan kota yang baik atau buruk menurut pelukisnya. Pada lukisan Good Government digambarkan kota yang sangat bersih, ramai dan bersahabat, aman, bangunannya rapat tetapi rapih, orang berlalu lalang dengan leluasa, terkesan tidak ada masalah. Pada gambar ‘Bad Government’ langsung berubah drastis, ada mayat, pekelahian, rumah rapat dan terkesan kumuh.

Berarti pada saat itu mereka sudah pernah mengalami masalah dengan perkotaan dong. Itu yang ada di pikiran saya, sambil berpikir di Indonesia saat itu sudah sampai mana ya?? Tetapi kalau mereka sudah bisa berpikir sampai disitu, berarti bibit-bibit pemikiran tentang sebuah kota ideal itu sebenarnya jangan-jangan datang dari ketidak berhasilan suatu kota (tidak idealnya kota).

Di Eropa yang pada abad itu sedang berkembang Renaissance (di bidang arsitektural) dan Agama Katholik, yang menurut The Story of Ideal City-nya Western Economic Diversification Canada (WEDC), menjadi salah satu penyebab konsep ‘ideal city’ mengacu/berpulang ke ideologi Katholik dan Renaissance. Tetapi kemudian mereka juga menemukan bahwa pada abad yang sama, berkembang satu pandangan dari filsuf berlatar belakang Islam/Muslim yang disetarakan dengan Machiavelli, Hegel dan Montesquieu. Ibn Khaldun (1332-1406), di WEDC disebutkan buku beliau yaitu The Maguaddimah (an introduction to history), mungkin maksudnya ‘Muqaddimah’ yang menurut WEDC dibuku disebutkan mengenai “City Design at Length”.

Towns should provide dwelling, shelter, security, sociability and tranquility reflective of diverse social values while answering to human need of utility and liking for luxury. Khaldun elevated the social status and cultural significance of the architect (a central agent in the Ideal City narrative) in defining the city as proof of civilization“ (WEDC-The Story of The Ideal City)

Berarti sebenarnya sudah cukup banyak orang yang pada masa itu membicarakan tentang kota yang ideal. Berarti (lagi) sudah banyak Negara atau bagian dunia yang mengalami masalah dalam perkembangan kependudukan dan perkotaannya. Bahkan Khaldun juga seperti yang lain sudah membahas soal kebisingan, kenyamanan, keamanan dan tempat berlindung. Tetapi seiring dengan perkembangannya tentu saja sudah jadi kurang relevan lagi. Hal yang menyangkut kebutuhan manusia dan berbagai macam nilai sosial yang tergantung didalamnya terus berkembang dan menjadi semakin kompleks.

Coba kita lihat pada hasil-hasil pendekatan kota-kota yang dianggap baik untuk dijadikan contoh kota ideal atau beberapa rancangan kota yang ideal. Kebanyakan menggunakan grid sebagai salah satu cara mudah merealisaikannya. Kalau untuk sekarang, kira-kira grid masih jadi favorit atau tidak ya? Jangan-jangan desain rancangan ideal city bisa diaplikasikan menggunakan pendekatan non-euclidian geometri. Tanpa bentuk-bentuk dasar, tanpa hitungan/pola tertentu tapi berdasarkan analisa kebutuhan kota tersebut.

Referensi
Western Economic Diversification Canada – The Story of The Ideal City
Encyclopedia Britanica – Ambrogio Lorenzetti
Ibn Khaldun’s Contribution to Social Thought

Mengejar Ideal

Filed under: ideal cities — mirradewi @ 03:14
Tags: , ,

Manusia sebagai makhluk yang berpikir dan mempunyai akal sepertinya tak pernah terpuaskan dengan kondisi dan keadaan yang mereka hadapi. Dengan semakin berkembangnya pemikiran manusia, maka berbanding lurus pula dengan bagaimana mereka berusaha melakukan perbaikan. Usaha perbaikan ini mereka lakukan tentunya dengan harapan mendekati apa yang mereka idamkan. Begitulah ideal sebagai idaman manusia adalah sebuah tujuan untuk mereka kejar. Dikatakan bahwa pada saat Leonardo Da Vinci tinggal di Milan, sekitar tahun 1486 sebagian Eropa dan Italia terjangkiti oleh wabah yang menyebabkan banyak warga tewas. Leonardo menganggap tingginya angka kematian itu sebagian disebabkan oleh kondisi kota saat itu—sangat kotor, dengan padatnya populasi penduduk mengakibatkan wabah menyebar begitu mudah. Sampah dibuang ke jalan, sanitasi kota sangat buruk, jalanan sempit dan gelap. Leonardo kemudian merancang sebuah ideal city dimana jalanan dibuatnya lebar, jalur air bawah tanah mengangkut sampah, bahkan terdapat sistem paddlewheel yang dapat membersihkan jalanan. Kota rancangannya terdiri dari dua tingkat, tingkat atas diperuntukkan bagi tempat tinggal sedangkan tingkat bawah diperuntukkan bagi jalur lalu lintas dan service. Leonardo berharap dengan rancangan ini kondisi kehidupan masyarakat meningkat, sehingga penyebaran wabah penyakit yang berujung pada kematian besar-besaran dapat dicegah. Rancangan kota ideal Leonardo ini tak pernah terbangun. Maka inilah utopia Leonardo. Meski begitu pemikirannya mengenai sistem drainase dan pemipaan memberikan sumbangan bagi kastil Sforza dalam versi yang lebih kecil

Mengutip Rosenau mengenai pandangannya akan ideal city: ‘ a means to amend the imperfect condition of the city and reconstruct the reality of everyday urban life into the harmonious situation’

Rekonstruksi realita.
Saya melihat usaha pengejaran ideal, seperti yang dilakukan Leonardo sebagai suatu usaha yang sesungguhnya cerminan, merupakan refleksi dari kontekstual, kondisi yang ia alami, lihat, dan rasakan. Sebagaimana subjek memberi respon terhadap objek. Hampir tidak mungkin tercetus begitu saja angan-angan atau pemikiran terhadap suatu perbaikan tanpa ada pemicu sebelumnya. Jika begitu, bukankah seiring berjalannya waktu dan berubahnya zaman maka kondisipun akan turut berubah-ubah dan akan mengarah pada turut berubah-ubahnya pula harapan akan perwujudan keidealan itu sendiri.

Ideal dimana. Ideal kapan. Ideal terhadap siapa. Se-empiris apakah rumusan ideal hingga yang dituju dari waktu ke waktu hanyalah yang itu? Atau justru se-fluid apakah pergerakan ideal yang dituju dari waktu ke waktu?

Dan selama manusia masih ada, ideal adalah pengejaran yang tak ada habisnya.

Referensi
http://www.unacittapossibile.com/en/exhibition/history-of-the-ideal-city/
http://partner.galileo.org/tips/davinci/idealcity.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Ideal

March 30, 2009

Beauty and The Beast & Ideal City

Filed under: ideal cities — dewiandhika @ 16:03
Tags: , ,

Pada kuliah awal mengenai ‘ideal city’ dalam salah satu presentasi menyebutkan bahwa dalam sebuah ideal city tidak boleh ada sesuatu yang jelek,
…no ugliness, no poverty...
no old houses, no cemeteries, no prisons, no slaughter houses with ugly appereance…
Bahkan ada pula yang menyebutkan bahwa ugliness = evils of the city

Menurut Cousin (1994) ugly dikatakan sebagai suatu objek yang ada dan dianggap sebagai suatu objek yang tidak berada di tempat seharusnya.
The ugly object is an object which is experienced both as being there and as something that not should be there. That is the ugly object is an object in the wrong place (Cousins, 1994: 64).
Sehingga pada salah satu pandangan yang berkaitan dengan ideal city, ugly adalah sesuatu yang ditolak, harus tidak terlihat, dan bahkan harus dihilangkan “need to be destroyed”.

Namun apakah benar seperti itu?, apakah semua yang ugly itu harus lenyap dari muka bumi?. Seperti dalam cerita Beauty and The Beast, dimana The Beast―makhluk yang memiliki banyak bulu, berwajah mirip binatang hidup di lorong-lorong bawah tanah, sembunyi dari manusia lainnya karena keadaannya yang berbeda. Apakah kemudian The Beast ini tidak berhak untuk hidup?, apakah lalu ia berpengaruh buruk terhadap sekitarnya?. Bila kita mencoba membalik keadaan, bahwa semua yang dianggap Beauty memiliki keadaan fisik seperti The Beast, dan ada satu The Beauty yang jauh berbeda dari The Beast. Apakah kita masih menganggap The Beast merupakan sebuah objek ugly?, ataukah The Beauty yang berbeda dari kebanyakan The Beast itu yang dianggap ugly?, sehingga kemudian yang awalnya dianggap The Beast disebut sebagai The Beauty, dan The Beauty lah yang kemudian disebut The Beast?.

Maka bukankan ugly hanyalah sebuah masalah biasa atau tidak terbiasa dalam menghadapinya?. Seperti The Beast yang tetap membutuhkan makan, minum, tidur, dan kebutuhan hidup lainnya. Bahkan ia tidak berhati jahat, bahwa ia suka menolong dan menyelamatkan orang lain. Bahkan sebenarnya ada manusia yang memiliki penampilan pada umumnya, namun sebenarnya ialah yang memiliki hati dan tindakan yang seharusnya disebut The Beast. Bukankah yang sepatutnya dikatakan evil of the city adalah si manusia berhati buruk rupa?. Sehingga sebenarnya karakter hati yang buruk rupalah yang seharusnya dihilangkan, bukan The Beast yang dilihat secara fisik oleh mata yang harus dihilangkan dari muka bumi.
…And so it is, from the point of view of desire, that ugly object should not be there. Its character as an obstacle is what makes it ugly (Cousins, 1994: 64).

Daftar pustaka
Cousins, Mark (1994). The Ugly. AA Files 28

March 29, 2009

Formula for ‘ Ideal City ‘ ????? Hmmmm……

Filed under: ideal cities — arwn @ 19:39
Tags: , ,

Permasalahan urban dalam sebuah perkotaan sering kali atau pasti disangkut pautkan dengan peran arsitek di dalamnya. Arsitek sering kali dianggap sebagai seorang yang dapat menyelesaikan segala permasalahan yang menyangkut urban. Kenyataannya… memang arsitek dibekali oleh pengetahuan-pengetahuan untuk menghadapi permasalahan seperti itu tetapi belum tentu seorang arsitek dapat menyelesaikan segala permasalahan yang menyangkut ‘urban’ yang ada dalam satu kota.<

Dari hal diatas, arsitek seakan dipandang sebagai seorang yang mempunyai sebuah ‘pandangan’ yang paling baik, sehingga ‘utopia’ dari seorang arsitek kemudian menjadi begitu penting dan banyak orang yang hidup dalam utopia, yang tercetus oleh seorang atau beberapa orang yang disebut dengan ‘arsitek’. Yang menjadi permasalahannya sekarang adalah apakah benar pandangan dan utopia yang diciptakan oleh seorang arsitek kemudian dapat menyelesaikan masalah, apalagi masalah yang sudah menjadi sindrom dalam satu kota, yang sudah menyangkut masalah urban? Atau lebih umumnya bisa dipertanyakan apakah ide-ide tentang ideal city yang selama ini sudah dikeluarkan oleh arsitek terkenal, misalnya, kemudian dapat menyelesaikan permasalahan urban di semua tempat?

“The Ideal City will be new” ( Barnett )
Ambil satu contoh misalnya, Barnett berpendapat bahwa kota ideal adalah kota yang dibuat baru, yang tidak boleh ada bau, kuburan, pejagalan, penjara, segala yang berpenampilan jelek, dll. Semua itu diciptakan seakan untuk membuat sebuah kota menjadi sangat indah, sangat sempurna. Betapa senangnya jika kita hidup di dalam kota seperti itu, sebuah kota yang sempurna, seperti hidup dalam ‘city of angel’, bisa dikatakan seperti itu. Tetapi yang menjadi sebuah pertanyaan sekarang adalah apakah kemudian hal ini benar-benar dapat tercapai, dapat dilakukan? Atau jika hal itu benar-benar terjadi apakah kemudian ‘kota’ itu akan benar-benar menjadi ’kota’? Seperti yang dipertanyakan oleh Ram Koolhas dalam bukunya s,m,l,xl bahwa apakah kota yang benar-benar steril kemudian akan benar-benar manjadi kota? Bukankah kota itu justru malah akan membuat kota itu seakan mati. Seperti contoh kota yang dijadikan contoh oleh koolhas yaitu kota Rotterdam, Belanda.

Memang tidak semua kejadiannya akan seperti itu, jika kita menapak tilas lagi pada arsitektur zaman The Empire ( 1804 – 1815 ) dalam periode ‘Urban Development in France’, dimana Napoleon menginkan untuk membuat Paris menjadi Kota yang paling indah di dunia dengan salah satu caranya yaitu memerintahkan Bernard Poyet untuk mengubah fasad bangunan di sekitar ‘The Church of Madalaine’ agar style bangunan dan garis jalan sesuai dan harmonis dengan gereja Madalaine tsb. Masih banyak lagi yang dilakukan oleh Napoleon untuk membuat Paris menjadi kota yang benar-benar indah, menjadi sesuai dengan ‘utopia’nya dan memang jejak sejarah itu menjadikan Paris menjadi salah satu kota terindah hingga sekarang, yang membuat orang yang berkunjung ke sana, pertama-tama akan merasakan keindahannya tanpa memperhatikan hal-hal yang jelek, seperti yang dikatakan oleh Barnett: “a visitor of the ideal city would be changed by it’s first aspect, it’s variety of architecture, it’s beauty of colour, it’s fressness and purity.”( Barnett )

Tetapi kemudian, apakah hal tersebut masih cocok hingga sekarang?
“ The ideal city of the modern city is like the ideal of a well ordered home: a place for everything and everything in its place. “( Lofland)
“ A city made for speed is made for succes. Therefore, nothing could be come in the way of the traffic flow, and the separation was seen as the part way to achieved on struction freemovement in the city.” ( Le Corbusier )

Banyak juga ide yang kemudian dikeluarkan mengenai bagaimana kota yang ideal pada masa modern ( ideal modern city ), yang ujung-ujungnya akan berlabuh pada ‘penzoningan’ (mengkotak-kotakan) dari jenis-jenis aktivitas, kebutuhan, benda, bangunan, dll. Dan hal itu berlangsung hingga sekarang . Seperti contoh ide yang dikemukakan oleh Le Corbusier, di mana ia memisahkan jalan untuk mobil dan jalan untuk pejalan kaki sehingga terjadi sebuah order lewat pemisahan yang berujung pada zoning. Dan ide ini juga berlangsung hingga sekarang. Lalu apakah menjadikan kota itu ideal?

Indonesia, Jakarta terutama, tanpa terkecuali, terpengaruh dengan ide kota yang dikeluarkan ole Le corbusier, lalu apakah Jakarta kemudian menjadi kota yang ideal???? TENTU TIDAK……dari hal ini bisa saya ambil kesimpulan bahwa ide itu menjadi tidak kontekstual, dan bila dipaksakan pada sebuah konteks yang berbeda….ya hasilnya dapat dilihat sendiri……ta….aa..a…..rraa…aa….. kota Jakarta yang jauh dari ideal.

Lalu Bagaimana kota yang ideal itu sebenarnya???? Yang bisa cocok di masa modern ataupun masa datang… Bagaimana ‘Formula’ tentang Ideal City yang seharusnya….apakah ‘ia’ harus menjadi kontekstual atau tidak??? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi hal yang harus dijawab oleh seorang arsitek, mengingat arsitek mampunyai / memegang kontrol dan orang lain akan hidup dalam utopia yang diciptakan oleh pemegang kontrol itu. Seperti yang dikemukakan oleh Jacobs :“Many ideal plans of the cities as garden city and radiant city bassically attempt to create harmony and order in the physical enviroment under the total absolute and unchallanged control of the arcitect ( Jacobs )

Ideal City = Utopia

Filed under: ideal cities — def1 @ 19:33
Tags: ,

According to Barnett ‘the ideal city will be new’
‘no smells, filth, danger or noice, no old houses, no cemeteries, no prisons, no slaughter houses with ugly appearance. Instead there are good houses with broad and lighted streets’

According to Geddes ‘ poverty, dirt,disease, and ugliness as the evils of city life which need to be destroyed’

Dari pernyataan tersebut timbul pertanyaan bagi saya, apakah mungkin suatu kota benar-benar memiliki kondisi yang demikian? Jika demikian adanya apakah kota yang demikian dapat dikatakan suatu kota? Karena pada suatu kota itu adalah tempat everyday urban life, seperti yang dikatakan oleh Lofland ‘A city is many things’ segala sesuatunya berkumpul di situ dan akan menjadi sangat sulit untuk ‘membersihkan’ kota dari hal-hal yang ‘mengotorinya’ seperti misalnya keberadaan pedagang kaki lima mungkin kita menganggap hal tersebut adalah pemandangan yang tidak mengenakkan, tapi coba pikirkan lagi apa yang terjadi jika pedagang kaki lima tersebut tidak ada, ya mungkin terlihat lebih rapi, bersih tapi akan menjadi kurang hidup. Area yang tadinya ramai dengan pembeli dan pedagang, akan menjadi sepi dari keramaian.

Kalaupun kita ingin menciptakan suatu kota yang ideal, menurut saya tidak akan dapat kita menciptakan kota yang ideal yang sesuai dengan apa yang ada dipikiran kita. Ideal itu hanya ada dalam pikiran, tetapi ketika direalisasikan, ideal yang kita inginkan tidak akan menjadi sesuatu yang ideal atau tidak akan sepenuhnya ideal. Mengapa demikian? karena menurut saya, ketika kita menuangkan idealnya kita ke dalam suatu kota, ideal itu akan bercampur dengan ideal-ideal yang lain(setiap orang memiliki parameter idealnya masing-masing). Oleh karena itu juga dikatakan bahwa ideal city tidak memberi tempat untuk diversity. Yang kesimpulannya berarti pada sebuah ideal city terdapat uniformity, bukankah dengan adanya uniformity akan timbul sebuah kemonotonan? Lalu menurut saya kemonotonan tersebut nantinya akan menjadi sebuah kejenuhan bagi masyarakatnya yang pada intinya timbul suatu ketidaknyamanan dan bisa saja berujung pada akhirnya mereka akan membuat sesuatu yang baru dan keuniformityan yang ada akan berubah menjadi diversity. Maka ideal city itu akhirnya tidak lagi ada.

Dari apa yang telah disebutkan di atas saya ingin menekankan bahwasanya menurut saya kota ideal itu adalah hanya sebuah sebutan yang menjadi acuan untuk menciptakan kota yang kondisinya mendekati kondisi ideal tersebut namun tidak akan pernah terwujud sepenuhnya. Dan pada intinya gambaran kota-kota ideal yang pernah ada menurut saya hanyalah utopia ‘a form of nothingness’.

Kota adalah untuk manusia

Filed under: ideal cities — snayoe @ 19:31
Tags: , ,

Salah satu dari pesan Peter Eisenman yang saya kutip dari blog Ridwan Kamil:

Eisenman melihat banyaknya karya arsitektur kontemporer yang sibuk dengan geometri yang semakin rumit, namun seringkali tidak memiliki kualitas yang mampu menghadirkan makna mendalam. “Just a piece of meaningless form,” kritiknya. Selain itu, banyak pula arsitektur yang tidak mampu memperkuat konteks kota dan budaya tempat ia berdiri. Karenanya Eisenman membenci Dubai. Baginya Dubai adalah sirkus arsitektur, segala bentuk bisa hadir tanpa korelasi, tanpa preferensi dan tanpa didahului oleh esensi `livability’ atau roh berkehidupan dari sebuah kota. Kota adalah untuk manusia dan Dubai tidak memilikinya

Pernyataan ini amat berhubungan dengan kebimbangan saya minggu lalu akan sebuah konteks kota ideal dimana dikatakan salah satunya adalah uniformity, penyeragaman tatanan, rumah harus seperti ini, jalan harus ada ini tidak ada itu dsb, sampai penyeragaman arsitektur – dimana yang paling ekstrim dikatakan harus dimusnakannya kejelekan (ugliness) dan kemiskinan (poorness), “orang miskin pergi aje lo ke laut”, Akan dikemanakannya kultur Indonesia yang kaya akan bentuk-bentuk geometri (termasuk disini adalah rumah-rumah gubug tradisionil yang -mungkin akan- masuk dalam kategori poorness) dan tentu saja sangat mampu memperkuat konteks kota dan budaya Indonesia itu sendiri, jika ternyata tidak masuk kedalam kategori Uniformity of Ideal City.

Untungnya, senin kemarin secepatnya dibahas bahwa konsep ideal city ternyata juga banyak membawa kritik pedas, terutama kritik yang membahas apakah konsep UTOPIA, kota surga negeri impian dapat relevan dengan keadaan kota negeri kenyataan, terutama jika menyangkut konteks budaya setempat dan lain sebagainya, sampai pada intinya mengutip pesan selanjutnya dari Peter Eisenman. Eisenman berpesan bagi para arsitek di Negara-negara berkembang untuk tetap optimis dan selalu merasa beruntung. Beruntung karena pada umumnya Negara berkembang seperti kebanyakan negara di Asia masih memiliki referensi eksotisme budaya. Budaya yang masih memiliki tradisikultural sebagai sumber konsep, legenda yang emosional sebagai sumber makna dan ritual referensional sebagai sumber cerita. Kekayaan-kekayaan kultural inilah yang tidak dimiliki di negara Barat seperti halnya Amerika Serikat tempatnya bermukim dan berpraktek.

Sependapat dengan pernyataan Eisenman bahwa segala bentuk yang hadir mewarnai suatu kota harus hadir dengan korelasi, preferensi dan dengan didahului oleh esensi `livability’ atau roh berkehidupan dari sebuah kota, karena Kota adalah untuk manusia. Bagaimana dengan Anda ???

The Marriage of Order and Disorder, Probably?

Filed under: ideal cities — meurin @ 19:28
Tags: , , , ,

Menurut saya, itu justru pasti dan mereka tak terpisahkan. Karena mereka berdua sangat dibutuhkan. Dalam kuliah Geometri tanggal 16 dan 23 Maret 2009 yang membahas tentang geometri dan kota ideal, order dan disorder tampak terpisah dan tak memiliki kaitan di antaranya. Namun, apabila diselami lebih mendalam, justru saya menemukan bahwa makna order dan disorder yang mereka sebutkan hanyalah salah satu dari banyaknya dan bermacam-macam sudut pandang. Pada kenyataannya, order dan disorder benar-benar tak dapat dipisahkan. Mereka ada di mana-mana, baik distrik terkecil maupun seluruh kota.

Misalkan, kutipan Eaton: ”The grid, the orthogonal plan with parallel streets, right angles, used frequently in ancient planning, appears to be the ideal city form..”. Ini jelas bahwa order itu hanya meliputi tampilan saja. Namun, bagaimana dengan keanekaragaman penggunaan (disorder) di dalam kota? Di dalam kota yang berpenampilan seperti kotak-kotak, terdapat bangunan-bangunan dengan fungsinya yang beragam, seperti toko, apotek, sekolah, dan sebagainya. Bisa juga, itu berupa bentuk-bentuk bangunan yang bervariasi. Hanya saja, kota itu ditata menurut grid, tanpa ada pembagian fungsi atau bentuk bangunan.

Atau mengacu kutipan Lofland : “the separation of activities as the prominent character of modern cities to avoid the ‘pile-up’ of activities.” Maksud kutipan ini adalah perzonaan itu penting agar tampak teratur. Misalkan sebuah kota terbagi menjadi tiga zona. Zona pertama adalah zona perbisnisan, zona kedua adalah zona permukiman, dan terakhitnya, zona peribadahan umum. Bagi Jane Jacobs, perzonaan itu adalah order dan itu monoton. Akan tetapi, jika kita melihat keseluruhan kota, bukan salah satu zonanya, justru terlihat keragamannya. Kita melihat ada tiga zona yang berbeda seperti merah, biru, dan kuning. Dari bukunya berjudul ”The Death and Life of Great American Cities”, Jacobs sesungguhnya hanya menyoroti keragaman dalam suatu distrik yaitu bervariasi dan lengkapnya fasilitas yang tersedia di situ, adanya elemen yang multifungsi seperti jalan, dan bangunan-bangunan yang berbeda usia (old and new style). Namun, bagaimana dengan jalan? Dalam buku, ia sering menggambarkan jalan sebagai garis lurus dan tidak berliku-liku . Tanpa disadarinya, jalan itu justru adalah order. Jalan itu yang membagi dan menata kota. Kita tidak mungkin bisa berjalan di jalan yang berliku-liku setiap meter karena itu akan menghabiskan banyak waktu dibandingkan jalan lurus.

Seperti yang dikatakan Venturi dan Brown, ”’complex order’ or ‘difficult order’ the order that includes the mixture of clashing elements and it is not order dominated by the expert and not easy for the eye”. Selain ditafsirkan bahwa keanekaragaman juga bentuk order, ini juga dapat diartikan bahwa order dan disorder tidak terpisahkan.

Bagi saya, sesungguhnya order dan disorder itu tidak penting karena order dan disorder itu akan selalu berpasangan seperti suami istri. Kita tidak mungkin bisa hidup di dunia yang order atau disorder. Di kota yang order, pasti ada disorder misalkan hal yang tak terduga terjadi. Begitu juga sebaliknya. Di kota yang disorder, pasti ada order, misalkan pola jalan. Order dan disorder ada untuk saling menyeimbangi. Yang terpenting, adalah mana penataan kota yang cocok bagi kita sebagai penghuninya, yang dapat kita pilih dari bermacam-macamnya cara penataan kota.

‘Kanvas Bersih’ untuk Arsitek?

Filed under: ideal cities — sayawenny @ 19:24
Tags: ,

Di sini saya mencoba mengangkat beberapa hal yang membuat saya tertarik dari salah satu bahasan pada kuliah Geometri, Senin 16 Maret lalu. Dalam kuliah dikatakan, menurut Le Corbusier, sebuah kota akan mati atau menurun kualitasnya karena tidak dibangun secara geometris. Sehingga untuk memperbaiki kota tersebut, perlu dibersihkan terlebih dahulu, baru dibangun kembali menjadi kota yang terencana. Dibersihkan di sini diartikan dengan menghilangkan kondisi eksisting yang ada sehingga menjadi sebuah ‘site yang bersih’, barulah kemudian [arsitek yang kemudian bekerja] kembali. Hal ini diibaratkan ’menggambar di atas kanvas bersih’. ‘Pembersihan’ ini dimaksudkan untuk mempermudah kerja urban designer, termasuk arsitek di dalamnya, dalam membangun kembali kota tersebut.Hal ini tidak berbeda jauh dengan apa yang disebutkan dalam salah satu artikel yang terdapat pada Kompas edisi 7 Maret 2004. Atikel itu menyebutkan, Phillip Kotler dalam bukunya, Marketing Places: Attracting Investment, Industry, and Tourism to Cities, States and Nations, mengetengahkan konsep city growth dynamics dan city decay dynamics sebagai ilustrasi dari fluktuasi perkembangan kota yang disebabkan globalisasi. Diungkapakan dalam atikel ini, Kotler membahas perkembangan suatu kota, juga kondisi keterpurukan kota yang ia sebut sebagai kondisi city decay dynamics. Sebagia salah satu jalan keluar dari kondisi ’keterpurukan sebuah kota’ ini, Kotler mengacu pada restrukturisasi dengan beberapa contoh yang ia berikan. Pada saat sebuah kota berada dalam kondisi city decay dynamics, sudah saatnya bagi kota tersebut untuk melaksanakan restrukturasi.Salah satu langkah restrukturasi yang ampuh adalah dengan mengubah citra dan identitas kota yang pada umumnya melibatkan pembaruan seluruh aspek kota dan urban. Pada akhirnya citra baru tersebut dapat digunakan untuk memasarkan dan meningkatkan nilai sebuah kota. (Kompas, 7 Maret 2004)

Selanjutnya, di dalam artikel juga dikatakan bahwa kota Jakarta dapat dikatakan termasuk dalam kondisi decay dynamics ini. Dengan merujuk pada buku Philip Kotler, salah satu cara untuk mengatasi kondisi decay dynamics ini adalah dengan pembangunan ulang kota secara besar-besaran. Tidak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan Le Corbusier di atas, Kotler juga menyatakan restrukturisasi sebuah kota merupakan jalan terbaik untuk mengatasi kondisi decay dynamics ini. Artikel ini kemudian memberikan contoh pada kota Bilbao di Spanyol.Bilbao pada mulanya dikenal sebagai salah satu kota terbesar di Spanyol dan memiliki industri besi dan manufaktur kapal. Citra kota tersebut menurun setelah terjadinya serangan teroris dan teror penculikan antara kedua pihak yang bertentangan saat itu, yaitu Pemerintah Spanyol dan kaum Basque. Akhirnya Pemerintah Kota Bilbao memutuskan mengambil langkah drastis dengan melakukan revolusi besar-besaran.Didukung Uni Eropa, Pemerintah Spanyol dan Basque, pemerintah kota dan pihak swasta, berbagai macam kebijakan dalam bidang kebudayaan dan upaya pembaruan kota diluncurkan untuk mengubah citra Bilbao dari kota industri menjadi kota budaya dan jasa dengan bantuan arsitek internasional.Dalam sekejap Bilbao menjadi kota kontemporer dan menarik, dihiasi jembatan dan bandara oleh Santiago Calatrava, jaringan kereta api dan stasiun oleh Norman Foster, kawasan komersial oleh Cesar Pelli, dan klimaksnya adalah Museum Guggenheim oleh Frank O Gehry. Sebagai tambahan, pemerintah kota juga memperbaiki fasad kota, merenovasi fasilitas pelabuhan, pembangunan jalur transportasi, dan revitalisasi Sungai Nervion yang mengalir ke pusat kota.Kunci transformasi Bilbao tak lain tak bukan adalah Museum Guggenheim yang dibuka pada akhir tahun 1997. Museum tersebut terkenal dengan desain yang revolusioner dan ditutupi titanium dan mungkin menjadikannya sebagai salah satu bangunan paling populer pada abad ke-20 bersama-sama dengan Opera House di Sydney.Pada tahun pertama pembukaan museum ternyata menarik 1,37 juta pengunjung dan memberi imbas pada ekonomi lokal sebesar 147 juta dollar AS pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 170 juta dollar AS pada tahun berikutnya. Dalam jangka waktu tiga tahun, pemerintah kota berhasil mencapai break even point untuk investasi pembangunan museum. (Kompas, 7 Maret 2004)

Dilihat dari contoh yang diberikan di atas, kotler sebagai orang yang ahli dalam bidang marketing, menitik-beratkan perbaikan sebuah kota terutama dari segi ekonomi. Seorang calon arsitek sepertinya perlu mempertanyakan kembali apakah memang cara ini yang terbaik untuk memperbaiki keadaan sebuh kota, yang dapat kita katakan dalam keadaan yang chaos? Lalu bagaimana dengan nilai-nilai sejarah serta budaya yang berada di dalamnya? Bukankah warisan budaya justru lebih berharga dari sebuah egoisme untuk mengganti segala sesuatunya dengan yang baru? Bukankah dengan menghilangkan bangunan serta kondisi eksisting yang ada, justru akan muncul masalah baru yang mungkin tidak kalah besarnya: hilangnya identitas serta nilai sejarah kota? Lalu bagaimana dengan manusia yang ada di dalamnya?

Kita juga dapat belajar dari kota Bandung serta Yogyakarta, yang dapat memajukan kotanya dengan menjadikan budaya sebagai daya tarik tersendiri bagi kotanya. Unsur-unsur budaya yang ada di dalamnya tetap dapat berjalan beringan dengan pembangunan yang ada, seperti yang dapat kita lihat pada Jalan Braga di Bandung.

Referensi:
Sutanudjaja, Elisa. Arsitektur & Ekonomi, Kompas 7 Maret 2004. http://www.kompas.com

Geometry in Ideal City

Filed under: ideal cities — r1ss @ 09:17
Tags: ,

Apa peran geometri dalam pembentukan kota ideal? Kota adalah sebuah tempat dimana banyak kehidupan masyarakat yang terbentuk didalamnya, sedangkan dimana geometri? Ada sebuah kutipan yang menghubungkan geometri dengan kota ideal dimana hasilnya bahwa di dalam kota ideal tersebut harus ada order serta pattern yang rapih dan teratur dalam kota tersebut dan tidak ada yang salah penempatan (full of perfect control).

Windsor-Liscombe: “Geometry has been used to develop the layout of ideal cities. Most often the use of geometry results in a regular pattern of streets and space in the city”
Lofland : ”The ideal of the modern city is like the ideal of a well-ordered home. A place for everything and everything in its place”

Pada kutipan diatas, geometri dijelaskan hanya berperan dalam pembentukan order, pola jalan serta space dalam kota ideal. Tapi apa order dan pattern yang rapih benar-benar merupakan syarat terbentuknya kota ideal? Dan apakah bisa pasti dikatakan sebagai sesuatu yang ideal apabila sesuatu tersebut selalu harus berada di tempatnya yang sesuai? Kota ideal juga sempat tercetus seperti kota utopia atau kota impian oleh Thomas More tentang The Island of Utopia. Apabila disebutkan sebagai utopia atau impian, maka sewajarnya masyarakat didalamnya juga dilibatkan didalam kota itu, karena dikatakan sebagai kota impian tentunya kota itu merupakan impian dari masyarakat yang tinggal didalamnya. Dan apabila ingin menjadi impian bagi masyarakatnya, maka harus ada pemenuhan untuk masyarakat itu sendiri. Namun ternyata Thomas More berpendapat kota ideal adalah dimana ada order pada jalan serta rumah-rumahnya.

More : “The fine appearance and the orderliness of the streets, houses, and gardens.”

Ketika geometri dimasukan ke dalam kota ideal maka muncullah persyaratan order dan pattern, lalu masyarakat yang ada didalamnya seperti budaya dan kehidupan sehari-hari masayrakat itu menjadi tak terbahas lagi. Padahal kemungkinan besar, masyarakat yang tinggal di sebuah kota mungkin tidak mempedulikan bagaimana order kota mereka, karena yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana kota tersebut dapat nyaman untuk mereka tinggali dan dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Kota yang dikatakan sebagai kota utopia adalah kota impian untuk masyarakatnya sehingga pertimbangan kehidupan masyakat didalamnya pun menjadi penting, seperti yang dijelaskan dalam sebuah buku Archis tentang sebuah ide kota utopia.
“The district of the utopia city could correspondent to the whole spectrum of diverse feeling that one encounters by chance in everyday life.”

Ide kota utopia lain ini juga dicontohkan yaitu seperti ide Peter Cook pada “Plug-in City”. Dikatakan tentang kota tersebut yaitu,

“A city which is districts evoke moods…Every quarter has its ambience, its own décor, its own emotion, its own constellation of desires” (archis).

Plug-in city adalah sebuah mobile society, dimana orang-orang yang tinggal didalamnya dapat berpindah dan juga dapat berfungsi sebagai penentu. Di dalam kota ini, yang diutamakan yaitu bagaimana setiap tempat tinggal dapat memenuhi keinginan (desires) dari orang yang tinggal didalamnya, bahkan bisa mengikuti mood dari penghuni di dalamnya. Ide plug-in city merupakan sebuah usaha untuk memenuhi kebutuhan dari masyarakatnya dengan salah satunya yaitu kemungkinan penghuni tersebut dapat berpindah beserta tempat tinggalnya. Dan tidak ada pengaturan order khusus dalam kota ini. Lalu pada bagian ini, dimanakah geometri berperan? Karena tidak adanya order jalan dan rumah yang harus dipenuhi. Apabila melihat dari beberapa pendapat arsitek seperti Le Corbusier dan lofland maka Ideal City = Order.

Apabila ada geometri dalam kota ideal maka akan ada order dan hanya mempertimbangkan kondisi fisik kota seperti pattern jalan dan rumah-rumah. Lalu kalau tidak ada geometri dalam kota ideal maka apa mungkin barulah kota ideal dihubungkan dengan masyarakatnya seperti yang terjadi pada plug-in city? Dan apabila geometri hanya berperan sebagai order dalam sebuah ideal city, lalu apabila order itu tak ada, apakah berarti tidak ada peran apapun untuk geometri dalam sebuah kota ideal?

March 5, 2009

Which One is Geometry?

Filed under: classical aesthetics — def1 @ 21:08
Tags: ,

Pada awal saya mempelajari arsitektur geometri, saya berpikir bahwa geometri itu adalah bentuk-bentuk yang simetri , bentuk-bentuk dasar seperti lingkaran, persegi, segitiga dll. Terkait dengan hal tersebut, pada Euclid’s Postulate disebutkan bahwa ada unsur-unsur point, line, angle dan parallel straight line, dan jika kita melihatnya dari sudut pandang Euclid geometry maka akan kita dapatkan salah satunya adalah bahwa sudut segitiga itu adalah 180⁰. Namun pernyataan tersebut kemudian ditinjau lagi apakah benar demikian, beberapa tokoh mencoba untuk melakukan beberapa eksperimen seperti Nicolai Lobachevsky (1793–1856) yang mempertimbangkan jarak astronomi untuk sudut segitiga ini dan ia mendapatkan hasil bahwa sudut segitiga yang selama ini dinyatakan 180⁰adalah ukuran yang salah. Dan Henri Poincaré (1854–1912) yang juga turut mempertanyakan kebenaran dari pernyataan tersebut mengemukakan bahwa pengukuran yang dilakukan tersebut melihat dari bentuk fisik bumi dan jarak yang dilihat. Menurutnya ‘Euclidean geometry is generally used in surveying, engineering, architecture, and navigation for short distances; whereas, for large distances over the surface of the globe spherical geometry is used’
Dari hasil eksperimen tersebut maka muncullah spherical geometry yang tidak lagi menyatakan bahwa sudut segitiga itu bisa lebih besar atau mungkin kurang dari 180⁰.
Munculnya hal ini karena ada sudut pandang dan konteks yang berbeda ketika melihatnya, lalu sebenarnya yang menjadi pertanyaan adalah ketika kita membicarakan geometry itu kita mengacu pada yang mana? Euclid’ postulate atau non Euclid yang termasuk didalamnya adalah spherical geometry atau kita dapat mencakup semuanya. Tetapi menurut saya dari pernyataannya Poincare bahwa jika kita membicarakan dari segi arsitektur maka kita mengacu pada euclid geometri karena kita melihatnya dalam jarak dekat atau pada intinya mana yang dapat dikatakan geometri yang sebenarnya?

March 2, 2009

More Efficient: Square or Circle?

Filed under: classical aesthetics — meurin @ 16:48
Tags: , ,

Dalam kuliah geometri, 23 Februari 2009, tentang relevansi classical aesthetic dengan contemporary architecture. Di sela-selanya, sempat disebutkan Jean Nicholas Louis Durand ( 1760-1834), penulis buku “Receuil et parallele des édifices en tout genre, anciens et modernes” yang memuat berbagai gambar bangunan modern dan kuno dan “Precis des lecons d’architecture données à l’ecole polythechnique” tentang metode perancangan dan analisis bangunan yang merupakan temuannya sendiri. Dikatakan bahwa ada yang menafsirkan bahwa Durand menganggap square is the most beautiful because it is very efficient and circle is the second. Tidak jelas, itu efisien dalam segi apa? Segi pembentukan? Keuangan? Daya tampung?

Namun, menurut hemat saya, dari segi pembentukan, justru lingkaran itu lebih efisien daripada persegi. Mengapa? Coba perhatikan, ketika kita hendak menggambar bujur sangkar baik tanpa maupun dengan penggaris, kita harus terputus-putus untuk membuat empat garis. Maksudnya kita harus menarik satu garis dari atas ke bawah, lalu berhenti. Kemudian menorehkan garis lagi dari kiri ke kanan dan berhenti. Selanjutnya, kita menarik garis dari bawah ke atas. Sesudah itu , berhenti lagi. Lalu buat garis lagi dari kanan ke kiri dan selesailah bentuk bujur sangkar itu.

Berbeda dengan lingkaran yang pembuatannya hanya tinggal menggoreskan garis dengan jalan melingkar tanpa terputus-putus baik dengan tangan maupun alat bantu seperti jangkar. Melihat kemudahan ini, mungkin itulah yang menyebabkan banyaknya rumah tradisional yang berbentuk lingkaran, kurva, kubah, atau kerucut. Aku tahu mungkin kurva, kubah, atau kerucut mungkin kurang relevan dengan lingkaran. Tetapi saya mengacu pada bentuk kurva dan kubah karena memiliki kesamaan dengan lingkaran yaitu bentuk yang melengkung dan kemudahan pembuatan. Kerucut, ini diambil karena alas lingkarannya. Bayangkan, ketika kita membuat maket dari kawat, kita tinggal melengkungkan kawat guna mendapatkan kubah atau kurva. Atau mengikat sebuah himpuanan potongan-potongan kawat pada satu ujung saja untuk memperoleh bentuk kerucut. Lain dengan persegi yang memerlukan empat simpul atau bulatan lem tembak di setiap sudutnya atau membengkokkan kawat sebanyak empat kali.

Sebagai contohnya, Yurt, rumah portable kaum penggembara asal Mongol. Karena harus berpindah ke padang rumput lain untuk mendapatkan makanan bagi gembalanya, mereka memerlukan shelter yang praktis dan cepat pembuatan. Dalam ini, bentu tabung dengan atap kerucut diambil karena gampang dibuat. Mereka tinggal menyusun kerangka melingkar itu lalu ditutup dengan kain wol. Pendirian ini memakan waktu 30 menit. Atau bisa juga lihat contoh rumah tradisional Indian Amerika yang berentuk kerucut.

March 1, 2009

The Good Classical Architecture?

Filed under: classical aesthetics — r1ss @ 21:20
Tags: , , ,

Di dalam arsitektur klasik terdapat beberapa metode order yang berbeda-beda. Namun sebenarnya metode-metode order ini mempunyai persamaan dan inilah yang menurut saya sebagi ciri pemikiran arsitektur klasik yaitu dimana metode order klasik selalu mempunyai beberapa principle procedures yang selalu dinyatakan sebagai syarat untuk arsitektur yang baik. Metode-metode klasik ini entah metode Vitruvius ataupun metode JNL Durand menganggap untuk membentuk arsitektur yang baik adalah dengan metode mereka masing-masing. Mereka secara gamblang menyatakan dengan pasti bahwa metode mereka adalah bertujuan untuk membentuk arsitektur yang baik atau arsitektur yang memiliki keindahan.

“Good Architecture guaranteed by a radically systematic principle” (JNL Durand)

“The good is always beautiful and the beautiful never lacks proportion“ (Plato)

Dalam arsitektur klasik selalu terdapat metode-metode pasti yang bertujuan untuk membentuk arsitektur yang baik. Metode itu seperti tidak memberikan pilihan lain yang mungkin bisa membentuk arsitektur. Seperti juga yang dikatakan oleh Durand bahwa untuk mengkomunikasikan bangunan maka yang diperlukan hanyalah denah, tampak,p otongan. Dan dalam proses perancangan dengan metode ini maka yang dioperasikan yang pertama juga denah dan tampak. Dimana didalam denah ini didesign dengan hitungan-hitungan yang seirama seperti 1-1/2-1-1/2. Apabila ada hitungan yang tidak seirama seperti 1-1/2-2-1 maka apa akan dianggap tidak baik? Apa kebutuhan luasan ruang dapat ditentukan hanya dengan hitungan yang seirama? Lalu apabila denah dan tampak sebegitu pentingnya, apakah konteks sekitar menjadi tidak penting untuk metode ini? Apa sistematika seperti ini yang dikatakan sebagai arsitektur yang baik?

Dan apabila Metode Vitruvius yang dikatakan baik dengan menitikberatkan pada proporsi dan kesimetrian, yang tujuan dibentuknya sesuatu yang proporsional mungkin sebenarnya untuk beauty appearance, apa ini juga yang dikatakan sebagi arsitektur yang baik?

Baik metode Durand ataupun metode Vitruvius yang berperan dalam arsitektur klasik sebenarnya malah membentuk kekhasan dari arsitektur klasik itu sendiri. Dimana selalu ada ketentuan-ketentuan yang dianggap baik. Dan pengaplikasian arsitektur klasik yang terjadi pada masa sekarang mungkin malah sebenarnya tidak mengaplikasikan metode siapapun, karena pada kenyataannya arsitektur klasik mempunyai ciri yang khas yaitu seperti adanya pediment triangle, kolom-kolom, atau arc. Pengaplikasian arsitektur klasik yang saat ini lebih hanya menggunakan komponen-komponen arsitektur klasik itu seperti kolom tau arch yang mungkin tidak memenuhi golden section atau hitungan denah yang seirama.

piazza-d

Contohnya yaitu yang ada di Indonesia seperti pembangunan resident-resident atau mal yang bergaya arsitektur klasik seperti gambar disamping. Dimana bangunan itu dikatakan arsitektur klasik karena adanya komponen-komponen arsitektur klasik seperti kolom dan arch. Dikatakan hanya bergaya arsitektur klasik namun entah menggunakan metode Vitruvius atau Durand. Lalu apa arsitektur ini juga bisa dikatakan arsitektur klasik? Atau mungkin ini arsitektur klasik yang baik?