there’s something about geometry + architecture

March 28, 2016

Golden Ratio : Fakta dan Mitos

Apa itu Golden Ratio?

Dalam arsitektur, dibawah estetika klasik dipelajari cara membuat proporsi yang ‘bagus, sempurna, indah’. Yaitu metoda Golden Ratio. Digunakan untuk mencapai keseimbangan dan keindahan di seni lukis maupun seni rupa Renaissance. Salah satu penggunaannya digunakan oleh Da Vinci.

Golden rasio adalah suatu angka irrasional (ber desimal tak terhingga) yang biasanya berjumlah 1,6180… didapati dengan membagi sebuah garis dengan perbandingan yang menghasilkan 1,6180… dengan rumus : bagian panjang dibagi bagian pendek = seluruh bagian dibagi bagian panjang

golden-ratio

(symbol diatas dibaca “phi”)

Angka sebenarnya adalah

1,61803398874989484820…

golden-ratio

Hubungan yang sering dijumpai dengan Golden Ratio adalah Urutan Fibonacci

0, 1, 1, 2, 3, 5, 8, 13, 21, 34, …

uniknya rasio antara urutan  (n+1)/n hampir mendekati Golden Ratio.

n
n+1
(n+1)/n
2
3
1,5
3
5
1,666666666…
5
8
1,6
8
13
1,625
144
233
1,618055556…
233
377
1,618025751…

sehingga disimpulkan Golden Ratio adalah

phi-1p1onphi

phi-continued-fraction

Namun apa yang membuat rasio ini sangat spesial? Riset membuktikan ketika responden melihat wajah manusia, hal yang menarik bagi mereka adalah bagian yang mendekati Golden Ratio. Wajah yang tergolong menarik memperlihatkan proporsi Golden Ratio terhadap lebar mata, hidung dan alis mata. Responden merupakan yang tidak mengenal ‘phi’, hanya subjek tes awam. Golden Ratio didapati dari insting subjek.

Golden Ratio dan Estetika

Jika anda menggambarkan sebuah persegi di sekeliling muka Mona Lisa karya Leonardo Da Vinci, maka rasio tinggi terhadap lebar dari persegi = Golden Ratio. Apakah anda mau mencoba membuktikannya?

grmonaliza

Seniman lain, Salvador Dali, yang tidak berhubungan langsung dengan Golden Ratio. Dalam karyanya juga dicurigai mengandung Golden Ratio dalam dimensi gambarnya. Dali juga menggunakan sebuah dodecahedron (12 sisi platonic solid) meliputi meja makan dalam Sacrament of the Last Supper dipercaya berhubungan dengan Golden Ratio.

fig2.jpg

Le Corbusier juga dinyatakan menggunakan Golden Ratio dalam mendesain sistem proporsi yang disebut ‘Modulor’. Modulor ini ditetapkan sebagai standar proporsi terbaik untuk segalanya, dari gagang pintu ke bangunan tinggi.

44-main-Modulor

Masih menjadi perdebatan dalam hal persepsi manusia dalam ‘beauty’ dan matematika.

Misteri Golden Ratio

Golden Ratio memberikan misteri tersendiri dengan proporsi geometris dan menyenangkan di mata. Sekarang, insinyur dari Duke University menemukan bahwa Golden Ratio adalah sebuah batu loncatan untuk menyatukan visi, pemikiran dan gerakan dibawah hukum perancangan alam. Dikenal sebagai proporsi ilahi, Golden Ratio menggambarkan sebuah persegi dengan panjang satu setengah kali dari lebarnya.

Menurut Adrian Bejan, profesor teknik mesin Duke’s Pratt School of Engineering, alasan Golden Ratio berada di mana mana; mata melihat gambar secara cepat ketika bentuknya persegi Golden Ratio.

“When you look at what so many people have been drawing and building, you see these proportions everywhere, It is well known that the eyes take in information more efficiently when they scan side-to-side, as opposed to up and down. The phenomenon of the golden ratio contributes to this understanding the idea that pattern and diversity coexist as integral and necessary features of the evolutionary design of nature.” – Bejan

Mitos Golden Ratio

3044877-slide-s-1-the-golden-ratio-designs-biggest-urban-legend-copy.jpg

Parthenon design  setelah adanya Golden Ratio? Tidak!

3044877-slide-s-2-the-golden-ratio-designs-biggest-urban-legend-copy

Logo Apple? Nay!

3044877-slide-s-3-the-golden-ratio-designs-biggest-urban-legend-copy

Gunting berlandaskan Golden Ratio. Apakah mereka lebih indah dari gunting biasa?

3044877-slide-i-4a-the-golden-ratio-designs-biggest-urban-legend

The Sacrament of the Last Supper, 1995, Salvador Dali.
Dilukiskan diatas kanvas dengan proporsi Golden Rectangle, tapi tidak ditemukan hubungan kenapa lukisannya indah.

Dalam dunia seni, arsitektur, dan perancangan; Golden Ratio sangat terkenal. Le Corbusier dan Salvador Dali menerapkannya. Contohnya Parthenon, Pyramid Giza, lukisan Michelangelo, Mona Lisa, logo Apple diisukan memakainya. Bullshit. Golden Ratio adalah mitos, tidak ada ilmu pengetahuan yang menunjukkan itu. Semuanya hanya kebohongan 150 tahun yang lalu.

Kenyataan Golden Ratio

Nilai dari ‘phi’ = 1,6180… merupakan angka Golden Ratio. Saat anda memiliki objek kemudian membagi 2 dengan prinsip Golden rectangle, kemudian anda melakukan kalkulasi dan anda dapatkan angka 1,6180 namun kenyataannya anda mendapatkan angka yang tak terbatas 1,6180339887… dan demisal tersebut berlangsung terus menerus sehingga “Tak mungkin benda dunia asli berada di Golden Ratio, sebab angkanya irrasional” dikatakan Keith Devlin, profesor matematik di Stanford University. And dapat mendekati angka Golden Ratio namun tak mungkin untuk tepat di angka tersebut sehingga objek apapun tidak akan tepat berada di angka ‘phi’. Sehingga ada sesuatu yang terasa kurang.

Golden Ration sebagai Mozart Effect

Devlin menyatakan bahwa ide Golden Ratio berhubungan ke estetika datang dari 2 jenis orang. Yang salah mengutip dan yang membuat kebohongan. Pertama adalah Luca Pacioli, biarawan yang menulis buku De Divina Proportione kemudian dinamai Golden Ratio. Di dalam bukunya Pacioli tidak berargumen bahwa teori Golden ratio harus diaplikasikan ke seni, arsitektur dan rancangan, melainkan ia mendukung proporsi Vitruvian. Orang lainnya ialah Adolf Zeising. Zeising adalah psikolog German yang berargumen bahwa Golden Ratio adalah hukum universal yang menggambarkan “beauty and completeness in the realms of both nature and art… which permeates, as a paramount spiritual ideal, all structures, forms and proportions, whether cosmic or individual, organic or inorganic, acoustic or optical.”

Zeising berargumen Golden Ratio dapat diaplikasikan ke tubuh manusia dengan membagi tinggi manusia dengan jarak pusar ke jari kaki. Devlin menyatakan bahwa sangat mudah mencapai angka perbandingan 1,6 ketika megukur sesuatu sekompleks tubuh manusia.Melalui ini teori Zeising menjadi sangat terkenal. Dilanjutkan sistem Modulor, Le Corbusier, karya The Sacrament of the Last Supper, Dali Sehingga Golden Ratio dan estetika menjadi desas desus hingga saat ini.

Anda Tidak Benar Benar Suka dengan Golden Ratio

Devlin melakukan percobaan kepada ratusan mahasiswa untuk memilih persegi yang menjadi favorit mereka. Hasilnya mahasiswa memilih secara acak. Dan jika percobaan dilakukan berulang, hasil yang keluar sama. Jika benar Golden Ratio adalah kunci estetika, maka para mahasiswa sudah seharusnya memilih persegi yang mendekati Golden Rectangle. Eksperimen ini menunjukkan Golden Rasio tidak lebih estetis untuk orang. Riset dari Haas School of Business di Berkeley juga menunjukkan konsumen memilih persegi dengan rasio 1,414 dan 1,732. Rasio antara tersebut mengandung Golden Ratio namun tidak selalu di titik tersebut.

Banyak Desainer yang Merasa Golden Ratio Tidak Berguna

Richard Meier, arrsitek legendaris dibalik Getty Center dan Barcelona Museum of Contemporary Art, mengaku pertama kali saat memulai karir, dia menggunakan Golden Ratio di sebuah segitiga. tetapi beliau tidak pernah sekalipun merancang arrsitekturnya dengan Golden Ratio. “There are so many other numbers and formulas that are more important when designing a building,” katanya, mengacu ke formula perhitungan ukuran maksimum ruang, atau yang menentukan beban struktural.

Alisa Andrasek, desainer Biothing. “In my own work, I can’t ever recall using the golden ratio,” tulis Andrasek di email. “I can imagine embedding the golden ratio into different systems as additional ‘spice,’ but I can hardly imagine it driving the whole design as it did historically… it is way too simplistic.”

Giorgia Lupi, desainer Italia, mengungkapkan Golden Ratio penting untuk desainer sebagai aturan komposisi seperti rule of thirds“I don’t really know, in practice, how many designers deliberately employ the golden ratio,” she writes. “I personally have never worked with it our used it in my projects.”

Para desainer, desainer industrial Yves Béhar of Fuseproject. “I sometimes look at the golden ratio as I observe proportions of the products and graphics we create, but it’s more informational than dogmatic,”. Tak sekalipun ia merancang sesuatu dengan pemikiran Goden Ratio. “It’s important as a tool, but not a rule.”

Kenapa Mitos Golden Ratio berlangsung sampai hari ini?

“We’re creatures who are genetically programmed to see patterns and to seek meaning,”– Devlin. Sudah terpogram di DNA kita untuk nyaman terhadap subjektivitas seperti estetika, jadi kita mendefinisikan / melimitkan suatu penilaian dengan angka. Tetapi kebayakan orang tidak engerti matematika, atau mudahnya sebuah rumus Golden Ratio diaplikasikan ke sistem kompleks, sehingga sulit untuk error-check diri kita.  “People think they see the golden ratio around them, in the natural world and the objects they love, but they can’t actually substantiate it, They are victims to their natural desire to find meaning in the pattern of the universe, without the math skills to tell them that the patterns they think they see are illusory.”  Jika anda melihat Golden Ratio di desain favorit anda. Anda kemungkinan berhalusinasi.

vitruvian.jpg

Jadi Golden Ratio itu hanya mitos belaka? Apakah anda mempercayai bahwa itu hanya mitos belaka? Bagaimana dengan gambar Vitruvian Man? Percaya atau Tidak itu terserah Anda!

Benny Chandra
1306412741

Referensi (diakses 27/03/16 22.00 WIB) :

Golden Ratio. https://www.mathsisfun.com/numbers/golden-ratio.html

What is Golden Ratio? http://www.livescience.com/37704-phi-golden-ratio.html

The golden ratio and aesthetics. https://plus.maths.org/content/golden-ratio-and-aesthetics

Mystery of the Golden Ratio Explained. http://pratt.duke.edu/news/mystery-golden-ratio-explained

The Golden Ratio: Design’s Biggest Myth. http://www.fastcodesign.com/3044877/the-golden-ratio-designs-biggest-myth

March 29, 2015

Peran Geometri pada Masa Modernisme dan Post-Modernisme

Filed under: perception — sunflowers @ 20:55
Tags: , , ,

Less is more” yang dibanggakan oleh Ludwig Mies van der Rohe, merupakan jargon yang sering kita dengar berkaitan dengan masa modernism. Para arsitek pada masanya menganggap bahwa rancangan yang bersih dan tertata rapih menandakan keindahan yang dimiliki oleh sebuah arsitektur.
Namun, pada tahun 1960an, terjadi suatu perubahan di dunia arsitektur. Para arsitek mulai berpikir bahwa keberadaan modernism berarti membatasi kreativitas seseorang, menghilangkan identitas dengan menyederhanakan semua rancangan dan menyamaratakannya. Masa ini kemudian dikenal dengan nama post-modernisme, dengan buku yang diterbitkan oleh arsitek Robert Venturi yang mengatakan “less is a bore

Kedua masa tersebut memiliki perbedaan dalam pembentukan form masing-masing. Namun keduanya tidak luput dari permainan geometri di dalamnya.

Pada masa modernism, pembentukan forma arsitektur didasarkan selalu pada fungsi dan efisiensi dari bangunan itu sendiri tanpa elemen-elemen penghias. Hal ini salah satunya disebabkan oleh keadaan para arsitek pada masa itu yang harus menghadapi keadaan paska perang dunia dan revolusi industri yang terjadi di berbagai macam tempat, karena itu bentuk-bentuk dasar geometri digunakan untuk menjawab tantangan design tersebut.

Dengan adanya bentuk-bentuk yang sederhana dan mudah diproduksi massal, hal ini menjadi salah satu nilai unggul bagi negara yang mampu membangun kembali negara mereka setelah terjadi keruntuhan. Kemudahan dalam membangun dan fungsi dari geometri dasar merupakan nilai yang diangkat oleh para arsitek pada zaman tersebut.

cid_2465382.250
Unite d’Habitation, Le Corbusier

cid_1136145405_3_32.250
Bauhaus, Walter Gropius

Sisi keindahan bagi para arsitek modernis ini bergantung pada kesederhanaan rancangan itu sendiri. Masing-masing arsitek memiliki rulesnya sendiri, seperti Walter Gropius dengan rasionality, functionalism and simplicity, Le Corbusier dengan 5 points of architecture, Mies van der Rohe dengan honest architecture, dan lain-lain.

cid_2507331.250
Villa Savoye, Le Corbusier

cid_1160283473_Crown_Hall_06.250
Crown Hall, Mies van der Rohe

(more…)

March 28, 2015

Komposisi dalam karya Le corbusier

Filed under: contemporary theories — rezqivebra @ 13:39
Tags: , ,

Dalam Karya nya, apakah Le Corbusier dengan sengaja menggunkan komposisi?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya mencoba menggali karya yang di hasilkan oleh seorang arsitek pada era modern, yaitu Le Corbusier. Ketika membahas komposisi maka tidak akan jauh dari pembahasan arsitektur klasik dan pada masa arsitektur modern muncul, mereka mengatakan bahwa arsitektur haruslah terputus dari akar sejarahnya. Sehingga secara tidak langsung pernyataan tersebut mengatakan bahwa komposisi yang digunakan pada masa arsitektur modern sangat berbeda dengan masa sebelumnya.

Roger Herz-Fischler mangatakan dalam sebuah jurnal berjudul Le Corbusier’s “Regulating Lines” for the Villa at Garches (1927) and Other Early Works (1984), “in previous study it was demonstrated that the theoretical basis for Le Corbusier “Purist” paintings of the early twenties wasa pair of opposite facing triangles contained inside the edges of the canvas The intersection of these two triangles determined the place of the right angle. Later on Le Corbusier started using the so called “golden number”.”

Penjelasan dari Roger Herz-Fischler tersebut menunjukkan bahwa Le Corbusier sendiri menggunakan komposisi Golden Number di dalam karya-karyanya. Seperti yang dapat dilihat pada gambar 1, bahwa le Corbusier menggunakan metode penyusunan garis yang membentuk segitiga pada lukisannya yang di buat pada tahun 1920. Di dalam jurnal tersebut juga dijelaskan bahwa Golden number pertama kali di perkenalkan dalam Ghyka dalam bukunya pada tahun 1927 yang berjudul Esthetiqued es proportions. Roger Herz-Fischler ingin menunjukkan bahwa ternyata le Corbusier sudah menggunkan metode Golden Number jauh sebelum istilah tersebut diperkenalkan oleh Ghyka. Karya lain yang sangat terlihat peranan komposisi dalam karya Le Corbusier adalah Villa at Garches (1927).

Untitled

Gambar 1

Le Corbusier, Composition with Guitar and Lantern, 1920. (Courtesy of Fondation Le Corbusier.)

In addition to geometrical relationships indicated by Le Corbusier’s own regulating lines, white lines and numbers that have been added by the author show the 1:2:3:4-based whole number ratio system that underlies the Pythagorean-Purist visualfield.

Villa Garches merupakan karya Le Corbusier yang masih memiliki sketsa asli dari Le Corbusier (Gambar 2). Dapat dlihat bahwa dalam proses perancangan Villa tersebut Le Corbusier sangat memperhitungkan komposisi pada fasad villa. Dengan kata lain komposisi menjadi hal yang sangat penting dalam suatu desain, sehingga melalui komposisi tersebut muncul keindahan dan keterikatan antar element yang terdapat di dalam desain tersebut. Gambar 1 menunjukkan bagaimana sketsa awal yang ada dengan komposisi garis yang membentuk segitiga seperti yang dibuat pada karya lukisan yang terdapat pada gambar 1. Villa Garches menggunakan metode komposisi A B A B A versus 2: 1 :2: 1 :2 yang di perkenalkan oleh Colin Rowe dalam Matematics of Ideal Villa.

Untitled1 Untitled2Gambar 2

Sketsa awal Villa Garches yang dibuat oleh Le Corbusier yang masih ada hingga sekarang (Le Corbusier, Precisionssu ru ni tat present de l’architectureet d e l’urbanisme, Paris,1 930,72).

Gambar tersebut membuuktikan bahwa dalam merancang suatu bentuk bangunan Le Corbusier tetap memperhitungkan komposisi yang ada pada bangunan tersebut dari segi fasad maupun denah. Hal tersebut mungkin juga dikarenakan basic Le Corbusier yang juga seorang pelukis. ketika merancang bangunan di atas kertas Le Corbusier memperlukakan gambar tersebut seperti lukisan sehingga bangunan dapat di desain dengan memperhatikan komposisi dan  memenuhi unsur estetika secara visual.

Reference :

Herz-Fischler, Roger. (1984) Le Corbusier’s “Regulating Lines” for the Villa at Garches (1927) and Other Early Works. Journal of the Society of Architectural Historians,Vol. 43, No. 1 (Mar., 1984), pp. 53-59. University of California PressSociety of Architectural Historians. [e-book] available from : http://www.jstor.org/stable/989975 [Accessed: 21-03-2015]

Hildner, Jeffrey. (1999) Remembering the Mathematics of the Ideal Villa. Journal of Architectural Education (1984-),Vol. 52, No. 3 (Feb., 1999), pp. 143-162. Taylor & Francis, Ltd. Association of Collegiate Schools of Architecture, Inc. [e-book] available from : http://www.jstor.org/stable/1425460 [Accessed: 21-03-2015]

Rowe, Colin. (1947) Mathematics of the Ideal Villa. Mathematics of the Ideal Villa and Other Essays (1976). MIT press.

April 4, 2011

Coruscant dan Radiant City

Filed under: ideal cities — elitanuraeny @ 20:29
Tags: ,

Melalui posting kali ini, saya ingin membandingkan antara Radiant City: sebuah kota ideal yang digagas oleh Le Corbusier dengan Coruscant: sebuah planet pusat dalam saga “Star Wars”.

Meskipun keduanya berbeda konteks (yang satu adalah gagasan dalam tata kota, sementara yang satunya lagi merupakan planet khayalan yang ada di film), rupanya ada kesamaan ciri yang dimiliki oleh dua kota tersebut. Yang pertama, mari kita lihat pada Coruscant, sang planet pusat galaksi dalam saga “Star Wars”

Terlihat pada gambar di atas bangunan-bangunan tinggi futuristik yang tak hanya berfungsi sebagai area perkantoran, namun juga sebagai area tempat tinggal. Tak ada area yang dibiarkan kosong, semuanya dimanfaatkan untuk pembangunan planet. Lalu lintas berada tinggi di udara, memberikan daratan di bawah untuk tempat para pejalan kaki. Planet ini juga terbagi-bagi areanya antara area pemerintahan, area kumuh, dan area industrial.

Sekarang, mari kita bandingkan dengan Radiant City yang diusung oleh Le Corbusier.

Di bawah ini adalah penuturan dari Le Corbusier yang menceritakan tentang Radiant City-nya:

“‘Recessed’ apartment buildings in the Radiant City. Parks and schools in the middle. Elevator shafts spaced out at optimum distances (it is never necessary to walk more than 100 meters inside the buildings). Auto-ports at the foot of the shafts, linked to the roadways […]. The floor directly above the pilotis is given over to communal services. Under the pilotis, pedestrians walking unobstructed in all directions. In the park, one of the large swimming pools. Along the roofs, the continuous ribbon of roof gardens with beaches for sunbathing.”–Le Corbusier

All motor vehicles are up on the highway network […].”–Le Corbusier

Penuturan Le Corbusier mengenai kota ideal baginya hampir sama dengan penggambaran Coruscant oleh George Lucas. Pembangunan vertikal, pedestrian yang diberi ruang khusus pada bagian dasar perkotaan, serta alur kendaraan yang dinaikan untuk menjaga kelancaran sirkulasi.

Kebetulan? Hmm… Saya sendiri juga tidak tahu. Mungkin Le Corbusier dan George Lucas punya pemikiran yang sama mengenai kota (khusus untuk Star Wars–planet) ideal yang sama.

Sumber :

http://www.nyu.edu/classes/reichert/sem/city/lecorbu_img.html

http://www.nyu.edu/classes/reichert/sem/city/lecorbu.html

“Star Wars episode II: Attack of the Clone”, 20th Century Fox, 2002

“Star Wars episode III: Revenge of the Sith”, 20th Century Fox, 2005

starwars.wikia.com

March 23, 2011

Planning Ideal City

Filed under: ideal cities — triwahyuni89 @ 15:00
Tags: ,

The ideal of the modern city is like the ideal of a well-ordered home : a place for everything and everything in its place. (Lofland)

Ideal city dianggap sebagai pencapaian atas kesempurnaan hidup. Dimana semua keinginan dan kebutuhan manusia bisa didapat dalam satu kota yang ideal. Terhindarnya manusia yang hidup di dalam system ideal city jauh dari rasa ketidaknyamanan atau dapat dikatakan Ideal City merupakan pendekatan mengenai kesejahteraan. Mungkin ini hanya sedikit pembuka dari Lofland yang akhirnya membuat tokoh-tokoh terkenal setingkat Le Corbusier dan Ebenezer Howard ikut memutar otak untuk mendapatkan konsepsi Ideal City. Le Corbusier melihat Ideal city lebih kepada bagaimana semua yang ingin didapatkan mudah dicapai, penghematan lahan, serta kegiatan ekonomi yang dapat berjalan dengan baik. A contemporary city (1922) dan berlanjut dengan Plan Voisin (1925) menjadi contoh dari rencana ideal city yang ditawarkan oleh Le Corbusier.

Di sini sangat jelas bahwa Le Corbusier lebih senang dengan system grid yang ia anggap akan mempermudah untuk di lay-out, mudah untuk dipahami dan mudah untuk membagi lahan kota, setidaknya Le Corbusier pernah mengutarakan mengenai grid design : “Streets are often on a rigid grid design, or if not a grid, at least a pattern that looks very well-thought-out when observed in a scale model.”, opininya mengenai system grid memang banyak kita jumpai pada pola kota-kota sekarang ini. Namun, sayangnya pada dua ide mengenai Ideal city ini, Le Corbusier memaksakan para penghuninya untuk tinggal di gedung-gedung tinggi dan semua kegiatan terjadi di sana. Konsep ideal city yang modern memaksa bentukan dari bangunan terjebak pada bangunan tingkat tinggi yang berada dalam superblock dan memaksakan kehadiran taman sebagai penembus dosa akan vertical city yang dibangun ini. Dua rencana milik Le Corbusier ini dianggap hanya diperuntukan bagi kaum elit, sedangkan penduduk dengan ekonomi biasa tidak dapat menjadi bagian dari Ideal city yang dicanangkan Le Corbusier. Berbeda dengan konsepsi Ideal City dari Le Corbusier yang lain, yaitu Radiant City. Radiant City lebih merakyat, dalam hal ini, keberadaan apartemen bukan dilihat dari kekayaan namun lebih kepada kebutuhan, dimana kaum elit dan yang tidak elit dapat berkegiatan bersama dalam satu tempat. Le Corbusier menawarkan kebebasan dalam radiant city. Karena di dalam apartemen ini, ia memastikan para penghuni dapat menikmati tiap kemudahan yang ada, seperti restaurant yang memungkinkan para penghuni memesan makanan untuk di antar ke kamarnya atau adanya jasa laundry yang tentu memudahkan mereka. Bila ingin menikmati suasana alam, jangan sungkan ke rooftop garden. Namun dengan konsep Le Corbusier, penghuni menjadi tidak mengenal dunia luar, karena vertical city yang ia buat membuat penghuni akan berkegiatan tanpa berpindah keluar dari lingkungannya.

Berbeda dengan Le Corbusier, berbeda pula dengan Ebenezer Howard yang mengajukan dengan “The Town-Country Magnet”

Bila melihat dari bentuknya system yang digunakan jelas berbeda dengan Le Corbusier, di sini lebih terlihat bagaimana pembagian yang jelas terlihat dimana ada hunian, dimana letak industri, dimana letak pertanian yang menjadi sumber hidup mereka. Howard lebih memikirkan bagaimana menyatukan kota dan desa, memikirkan bagaimana menaikan kualitas hidup di desa dan di kota. Seakan-akan howard menskenariokan bagaimana proses kehidupan hasil dari rural yang bisa digunakan di area kota. Dan central park sebagai pusatnya merupakan tujuan tempat berkumpulnya orang-orang, bukan sekedar sibuk dengan kawasan hunian mereka saja. Howard tidak membatasi sebuah kota yang ideal adalah kota yang bersih sampai steril, namun ia lebih menekankan kehidupan yang sejahtera karena intervensi yang ia lakukan.

Referensi :

http://www.uky.edu/Classes/PS/776/Projects/Lecorbusier/lecorbusier.html

http://www.contemporaryurbananthropology.com/…/Howard,%20Garden%20Cities.pdf

May 31, 2009

Radiant City

Filed under: ideal cities — arnugo @ 20:02
Tags: , ,

Le Corbusier pernah memberikan suatu gagasan mengenai konsep kota ideal yang kemudian dikenal dengan “Radiant City”. Beberapa ciri mengenai “Radiant City” yang digagas Le Corbusier adalah

“ Very large streets, suitable for several lanes of automobile traffic. Very large buildings, typically glass-walled high rises of ten to one-hundred stories tall. Buildings are widely spaced. Buildings typically not built to the edge of the sidewalk/roadway, but rather surrounded by some sort of “landscaping,” either grass or a paved “plaza.” Streets are widely spaced, and “blocks” are large. Streets are often on a rigid grid design, or if not a grid, at least a pattern that looks very well-thought-out when observed in a scale model”. (Art : Future Cities, Time.com)

Bangunan-bangunan tinggi akan dibentuk dengan ukuran dalam skala yang begitu besar atau kini dapat kita kenal sebagai superblock. Dan sistem bangunan di dalam perkotaan lebih mengacu kepada pola vertikal dibandingkan dengan horizontal, seperti yang masih banyak dilakukan hingga saat ini. Dan pola bangunan vertikal tersebut mengakomodir segala bentuk kegiatan manusia di dalam kota ,seperti : perdagangan, pemerintahan, rekreasi hingga hunian.

Namun salah satu hal yang amat terlihat dari pola “Radiant City” adalah mengenai tata kota yang teratur dimana setiap bagian kota tersusun dalam kesatuan grid geometrical yang sama. Bagian-bagian kota terbagi atas bentuk geometris persegi dan terhubungkan melalui jalan-jalan antar blok tersebut.

Le Corbusier memperhatikan faktor efisiensi produksi akan keadaan di masa mendatang, terutama pusat kota yang terbagi sama rata. Hal ini berfungsi untuk meminimalisasi titik-titik kepadatan pada area tertentu di pusat kota. Jalan-Jalan antar blok geometris tadi juga dibuat sangat lebar dengan beberapa pemisahan lajur. Seperti lajur kendaraan produksi dan kendaraan umum dengan lajur kendaraan pribadi. Hal ini sekali lagi bertujuan untuk memberikan efesiensi waktu produksi dari keterlambatan karena kepadatan lalu lintas.

Bagaimana dengan fungsi pedestrian : Area pedestrian/pejalan kaki termasuk dalam bagian blok-blok geometris dan luasan ruang terbuka diakomodir melalui lantai dasar bangunan bertingkat yang dirancang terbuka menyatu dengan keseluruhan bagian dasar dari blok yang tersedia. Jadi area terbuka terdapat pada keseluruhan area dasar blok, antara area komunal yang terbuka dan tertutup.

Pembangunan kota melalui konsep “Radiant City” juga dimaksudkan untuk meminimalisasi penggunaan lahan secara horizontal. Dengan “Radiant City” area pinggiran kota dapat lebih difungsikan sebagai area penghijauan ataupun digunakan sebagai kawasan bercocok tanam/pertanian/perkebunan sebagai penunjang fungsi kota inti. “Radiant City” jika dilihat dari segi konsep akan dapat membentuk kota-kota yang mandiri karena setiap kota nantinya akan memiliki lahan-lahan kosong dipinggiran kota sebagai penunjang kehidupan kota inti, baik dari segi pangan maupun sirkulasi udara yang lebih baik dari kota inti sebagai kawasan produksi.

Sumber :
Art : Future Cities
Radiant city/LeCorbusier/Boozy: The Life, Death, & Subsequent Vilification of Le Corbusier

April 5, 2009

The City of Tomorrow Khas Indonesia

Filed under: ideal cities — fathur05 @ 21:22
Tags: ,

Le Corbusier dalam gambaranya tentangThe City of Tomorrow mengusulkan bahwa pusat kota harus berupa banguinan tingkat tinggi yang ekslusif untuk fungsi komersial, bagian ini tidak lebih dari 5 %. Sedangkan 95% sisanya berupa taman. Di pusat kota dia juga menyebutkan dibutuhkan adanya stasiun kereta yang akan menghubungkan pusat ini dengan wilayah disekitarnya serta keberadaan bangunan untuk toko-toko mewah, restauran dan kafe. Si pusat kota kemudian akan dikelilingi oleh perumahan dalam bentuk block zigzag (1933, competition for the renewal of Stockholm’s city centre)

Sekilas dibayangkan gambaran kota masa depan ini nyaman ditempati. Banyak mungkin yang akan mengaku mempunyai pandangan yang sama tentang bagaimana kota masa depan seharusnya, saya salah satu diantaranya. Namun membayangkan Jakarta atau kota-kota di Indonesia berubah seperti bayangan Le Corbusier rasanya tidak rela.

“But we want an order that gives to each things its proper place, and we want to give each thing what is suitable to its nature.” Pernyataan diatas yang diungkapkan oleh Adrian Forty yang saya rasa sejalan dengan pemikiran Le Corbusier, tentang pemahaman order bahwa sesuatu harus ditempatkan sesuai tempatnya saya rasa perlu dikaji. Apa yang diusulkan Le Corbusier: “A city made for speed is made for succes. Therefore, nothing could be come in the way of the traffic flow, and the separation was seen as the part way to achieved on struction freemovement in the city” yang akhirnya merujuk pada zoning bukan pilihan yang bijak menurut saya. Terutama untuk Indonesia. Penempatan sesuai tempatnya bukan berati tiap elemen dipisahkan, terpisah, mempunyai tempatnya masing-masing. Akan membosankan jika memang diberlakukan demikian. Kemungkinan suatu elemen melebur dengan elemen lain dalam tempat yang sama harus dipertimbangkan. Perpaduan, tabrakan, kekacauan tidak boleh dilihat selalu sebagai hal yang ”disorder” yang perlu ditata dengan memisahkan elemen-elemennya. Saya rasa makan di pinggir jalan diiringi pengamen dan klakson mobil orang yang kejebak macet punya kualitas yang sayang untuk dihilangkan. Dan lagi uang yang beredar di area hangat seperti ini dapat menghidupi banyak kepala.

Namun tentu tidak untuk semua tempat. Pemisahan untuk beberapa konteks bisa jadi pilihan yang harus diambil. Jalan tol , salah satu contoh pengembangannya, sangat membantu efisiensi dan efektivitas dalam banyak hal. Terakhir, saya rasa pengembangan kota ala Indonesia bisa hadir sebagai hasil dari perpaduan antara pemikiran besar Le Corbusier dan Lofland yang mengatakan bahwa “city is many things.”