there’s something about geometry + architecture

June 13, 2015

Kota Masa Depan Doraemon

Filed under: Uncategorized — sunflowers @ 16:59
Tags:

Masa depan merupakan hal menarik yang selalu diprediksi dan dibayangkan. Setiap ahli mencoba untuk memprediksi seperti apakah alam pada masa depan, cuaca, bentuk transportasi hingga bentuk kota dan rumah yang ditinggali.

Salah satu bentuk prediksi masa depan juga terlihat pada pembuatan kota pada kartun masa kecil yang masih sangat digemari saat ini, Doraemon. Dalam film animasi yang menggambarkan baik masa kini maupun masa depan tersebut, terlihat beberapa perubahan pada kota tempat Nobita tinggal.

Kota Jepang tempat Nobita tinggal pada masa kecilnya memperlihatkan bentuk-bentuk geometri sederhana. Rumah-rumah besar maupun kecil terlihat dengan bentuk kubus yang ditutupi dengan atap-atap segitiga, gedung sekolah terbentuk dari kumpulan kubus-balok yang membentuk ruang.

Screen Shot 2015-06-13 at 4.36.51 PM

Hal ini memperlihatkan memori yang dimiliki oleh sang komikus yang juga berdomisili di Jepang. Seperti yang kita ketahui, Jepang memiliki tantangan akan lahan yang dimilikinya, sehingga mereka harus berusaha untuk memecahkan masalah tentang pembangunan. Bentuk dasar dirasa merupakan bentuk yang lebih baik untuk mengefisiensikan ruang yang ada, dengan itu mereka dapat menghemat tempat dan mengatasi masalah. Karena itulah terlihat pada film-film Doaremon di abad 20 skyline kota Jepang seperti kubus yang tertata.

Screen Shot 2015-06-13 at 4.39.16 PM

Namun, seiring dengan perkembangan zaman, hal ini mulai berubah. Kota tidak lagi melihat bahwa keterbatasan lahan menjadi masalah dari berkembangnya kreativitas bentuk, sehingga bangunan-bangunan di dalam kota mulai menaikkan levelnya. Dalam film Doraemon di abad 21, terlihat bahwa bangunan-bangunan memiliki ketinggian yang berbeda. Dengan perkembangan teknologi, manusia mencoba untuk menghemat lahan dengan cara menaikkan bangunan-bangunan, jalan bahkan taman ke level yang lebih tinggi.

Screen Shot 2015-06-13 at 4.42.53 PM

Dengan adanya ruang yang lebih bebas, bentuk-bentuk pun mengikuti perubahan tersebut, yang tadinya hanya memiliki bentuk geometri dasar justru berubah menjadi bentuk kompleks yang lebih beragam dengan lekuk dan tak bersudut.Screen Shot 2015-06-13 at 4.43.12 PM

Tentu saja hal ini masih merupakan kota utopia yang ada dalam imajinasi komikus sendiri. Namun, bermimpi dan berimajinasi tentang kota masa depan memang selalu menyenangkan. Dengan sedikit inovasi dan kemajuan teknologi, akankah Kota Doraemon benar-benar terwujud nantinya?

May 9, 2013

Utopia adalah Kota Ideal? Yakin?

Filed under: ideal cities — dendydm @ 20:15
Tags: , ,

Image

saya sendiri secara pribadi yakin tidak akan ada yang namanya kota ideal, bahkan dalam narasi kota ideal sendiri, Utopia by Thomas More, yang katanya tidak dapat direalisasikan saya menemukan kejanggalan yang membuat Utopia bukanlah kota ideal bagi orang tertentu.

There are several religions on the island: moon-worshiperssun-worshipersplanet-worshipersancestor-worshipers and monotheists, but each is tolerant of the others. Only atheists are despised (but allowed) in Utopia, as they are seen as representing a danger to the state: since they do not believe in any punishment or reward after this life, they have no reason to share the communistic life of Utopia, and will break the laws for their own gain.

Kalimat diatas menunjukkan bahwa seorang atheis diperbolehkan tinggal di Utopia, tetapi di waktu yang sama juga seakan dianggap sebagai bahaya. apakah seseorang layak tinggal disuatu tempat yang membuat ia dicap sebagai orang yang berbahaya? tentu Utopia bukanlah kota ideal bagi seorang atheis. Padahal seharusnya kota ideal adalah kota yang seharusnya tidak ada diskriminasi diantara penduduknya.

bagaimana menurut teman2? apakah ada yang pernah membaca buku potongan deskripsi dari Utopia? lalu apakah ada yang merasa janggal dengan beberapa deskripsi kota ideal ini?

sumber : http://www.constitution.org/tm/utopia.htm

March 26, 2011

Negeri Impian dalam Benak Sang Pemimpi…

Filed under: ideal cities — rangsiadzani @ 07:45
Tags: , ,

Coba bandingkan gambar-gambar diatas… apakah memiliki kemiripan satu dengan lainnya?

Gambar dari kiri ke kanan, adalah pulau utopia (Thomas Moore), Atlantis, Tenochittlan, neverland, dan ideal city… Semuanya adalah kota-kota atau negeri impian,beberapa adalah  tempat yang sebenarnya tidak pernah eksis (neverland, utopia), atau hanya berupa mitos (Atlantis, Tenochittlan).

Bila dilihat, ada beberapa hal yang mirip, yang pertama bentuknya hampir  semua  menyerupai radial. Saya mengatakan ‘menyerupai’  adalah karena hanya menggunakan persepsi pribadi. Seperti teori  persepsi Gestalt, terjadi pengorganisasian komponen-komponen sensasi yang memiliki hubungan, pola, ataupun kemiripan menjadi kesatuan. (Wikipedia)

Bentuk radial pada utopia, terlihat dari bangunan yang mengelilingi pulaunya. Sedikit berbeda dengan peta Atlantis yang memang terlihat seperti lingkaran sempurna (meski sebenarnya lingkaran terbagi 4). Lalu Tenochittlan, meski terlihat berantakan, namun dalam persepsi saya masih tetap radial, ditandai dengan bangunan dikeliling luar kota, dan juga posisi bangunan kota yang berada di air. Neverland, yang paling nampak tidak jelas, tapi kalau diperhatikan.. nama-nama tempat yang ada di dalam pulau dapat membentuk lingkaran. Lalu yang terakhir adalah ideal city, bentuk radial terlihat apabila kita ‘menghilangkan’ ujung benteng yang mengelilingi kotanya.

Kesamaan berikutnya dalam persepsi saya, adalah bentuk yang memusat.. Utopia Nampak memiliki bangunan besar ditengahnya yang menjadi pusat.  Bagi Atlantis terlihat jelas memiliki grid-grid yang memusat menuju lingkaran di atas air. Tenochittlan, memiliki pusat berupa bangunan di tengahnya (kuil/istana), meski gridnya tidak rapi, namun alur-alurnya menuju ke tengah. Sedangkan gunung menjulang di tengah pulau diantara nama-nama tempat di Neverland nampak menjadi pusatnya.  Ideal City memusat menuju menara di tengah kotanya.

Pertanyaannya adalah, mengapa orang yang ‘menciptakan’ tempat-tempat ini  membentuknya seperti itu? Apakah memang seperti teori Gestalt bahwa manusia cenderung menerima  bentuk dasar yang mudah dipahami?

March 22, 2011

Utopia?

Filed under: ideal cities — Prillia Indranila @ 08:29
Tags: , ,

Ketika membahas mengenai ideal city pada kuliah geometri, yang pertama kali diperkenalkan adalah tentang “The Island of Utopia” yang dibuat oleh Thomas More. Saya tertarik pada kata ‘utopia’ ini, karena meskipun saya sering mendengar kata ini, saya tidak mengerti artinya.

The Island of Utopia

Setelah saya mencari referensi mengenai Island of Utopia ini, saya menemukan terjemahan dari penjelasan mengenai Utopia tersebut, berikut sedikit kutipan dari penjelasannya:

“The island of Utopia is in the middle just 200 miles broad, and holds almost at the same breadth over a great part of it; but it grows narrower towards both ends. Its figure is not unlike a crescent: between its horns, the sea comes in eleven miles broad, and spreads itself into a great bay, which is environed with land to the compass of about five hundred miles, and is well secured from winds.”

There are 54 cities in the island, all large and well-built: the manners, customs, and laws of which are the same…”

Every city sends three of their wisest senators once a year to Amaurot [the capital] to consult about their common concerns; for that is chief town of the island, being situated near the centre of it, so that it is the most convenient place for their assemblies.”

Dilihat dari penjelasannya, Thomas More mendeskripsikan Utopia tersebut dari kondisi fisik dan pemerintahannya. Penggambaran kondisi wilayahnya pun tampaknya menunjukkan bahwa wilayah tersebut memiliki sistem yang teratur, contohnya dari kata2 ‘well secured from winds’, berarti kota tersebut aman dari terjangan angin yang dapat membahayakan wilayahnya, kemudian di wilayah tersebut ada senator yang dapat menjadi tempat berkonsultasi yang berada di pusat sehingga memudahkan untuk pertemuan, sebuah situasi yang memudahkan interaksi antara rakyat dengan wakil rakyat. Berarti, dapat disimpulkan bahwa maksud dari Thomas More dalam Utopia ini adalah menunjukkan seperti itulah kota yang baik.

Sebenarnya, apa pengertian dari kata utopia itu sendiri? Ada beberapa pengertian mengenai utopia dari beberapa sumber:

Dari beberapa pengertian tersebut, ‘utopia’ tersebut mengacu pada dua hal yaitu ‘ideal’ dan ‘perfect’. Kota ideal, itulah yang digambarkan Thomas More dalam Utopia-nya, kota dengan segala keteraturannya. Karena kota tersebut digambarkan begitu sempurna, masyarakat yang  tinggal di dalamnya mungkin akan hidup sejahtera dan merasa aman, dengan kata lain, everybody is happy. Selain dari sumber teks, saya juga tertarik untuk mencari apa itu ‘utopia dari segi visualnya. Gambar di bawah ini adalah beberapa hasil yang saya peroleh ketika saya mencari tentang ‘utopia’ dari Google Images:

Utopia
Utopia
Utopia

Sungguh menarik dan terlihat sangat imajinatif, bukan? 🙂

Ketiga gambar di atas ternyata memiliki penggambaran yang berbeda; gambar pertama terlihat seperti kota yang keadaannya damai, berada di antara bukit, dan terlihat bangunan yang di sekelilingnya terdapat benteng, seperti kota-kota pada abad pertengahan. Pada gambar kedua digambarkan sebuah pemandangan alam yang indah, tergambar dari danau dan langit yang berwarna biru menawan serta tumbuhan dan hewan dapat dapat hidup di sana. Gambar ketiga merupakan kota yang futuristik, kota yang mungkin secara visual akan seperti ini bertahun-tahun yang akan datang. Namun dari ketiga gambar tersebut terdapat kesamaan, yaitu ketigannya sama-sama menggambarkan suasana yang indah, sempurna, dan teratur.

Dari hasil yang saya temukan dari Google Images tersebut,ternyata saya tidak melihat ‘sesuatu yang nyata’, atau sesuatu yang bisa kita lihat sehari-hari, yang sudah ada pada kenyataannya sekarang. Semua gambar tentang ‘utopia’ yang saya dapatkan hanya gambar fiksi atau imajinasi seseorang yang menggambarkan bagaimana ‘utopia’ menurut mereka. Dari sinilah, saya setuju dengan pernyataan “utopia itself means literally ‘no-place'”, atau ‘utopia’ itu merupakan ‘a form of nothingness’. Jadi, kalau sesuatu yang ‘utopis’ atau ideal tersebut tidak ada, mengapa muncul istilah ‘ideal city’? Sebenarnya, apa itu ‘ideal city’?’ Mengutip dari pernyataan Eaton, yang dimaksud dengan ‘ideal city’ menurutnya yaitu “cities whose life begins (and usually ends) in the form of ideas and which are often presented as being as close to perfection as possible. Bagian akhir dari pernyataannya itulah yang sebenarnya menyangkal mengenai keadaan yang perfect, karena yang bisa dilakukan manusia hanyalah berusaha untuk mendekati keadaan yang sempurna tersebut, maka dari itulah ‘utopia’ hanya ada dalam imajinasi manusia, dengan persepsi yang bisa berbeda-beda.

Bagi saya, utopia atau ideal city tersebut merupakan hanya sebuah visi. Visi tersebutlah yang secara tidak langsung mengungkapkan keinginan manusia akan adanya tempat tinggal bagi mereka yang sempurna; tempat yang indah, tentram, semua kebutuhannya dapat dipenuhi tanpa ada yang kurang, atau dengan kata lain, sempurna. Oleh karena itu, lahirlah usaha-usaha para perancang kota untuk mencapai keadaan tersebut, misalnya Le Corbusier dengan City of Tomorrow-nya yang kemudian menghasilkan sesuatu yang sekarang kita sebut sebagai zoning.

Referensi:

http://www.bl.uk/learning/histcitizen/21cc/utopia/more1/island1/island.html

April 5, 2009

Kota Membentuk Dirinya Sendiri

Filed under: ideal cities — arsnu @ 21:27
Tags: , , , ,

“The grid, the orthogonal plan with parallel streets, right angles, used frequently in ancient planning, appears to be the ideal city form..” (Eaton)

“the separation of activities as the prominent character of modern cities to avoid the ‘pile-up’ of activities.” (Lofland)

Ideal city, dianggap dapat direalisasikan dengan grid-grid, jika dilihat dari atas dapat dilihat zoningnya. Ada yang mengatakan itu agar rapih, agar teratur, namun ketika kita zoom in, apakah masih se-teratur seperti skala sebelumnya? Apakah zoning tadi masih jelas? atau justru zoning tadi sudah menjadi blur?

“the grid denies the existence of contrast, complexity and difference, which are the basic characteristic of urban ife” (Sennet)

“the greatest mistake in zoning is that it permits monotony, and leads to disintegration of environtment” (Jacobs)

Begitu juga ada yang berpendapat bahwa grid-grid itu monoton, terlalu dipisahkan, menghilangkan kompleksitas sebuah kota. Bahkan kata Jacobs, itu dapat mengakibatkan disintegrasi. Lagi-lagi ketika kita zoom in, apakah masih monoton? Apakah antara satu zona dengan zona lain benar-benar terpisah oleh dinding besar sehingga disintegrasi itu terjadi? tidak sebegitunya kan? Itu hanyalah God’s eye, seperti kata Sasaki, “the visuality of the Cartesian city was abstract, since it was addressed not to human eyes but to God’s eye”. Itu hanya dilihat dari atas saja, yang dari plan terlihat rapih dan bergrid seakan teratur sekali, ketika kita masuk didalamnya, tidak akan sebegitu rapihnya juga. Begitu juga dengan kemonotonannya, di plan kita lihat ‘ah monoton, grid-grid, zona-zona, sini bisnis, situ residential, bosan’, padahal ketika kita didalamnya tidak akan sebegitu monotonnya.

Menurut saya hal tersebut karena isi dari kota itu sendiri. Diversity yang sudah pasti ada dalam sebuah kota akan memblurkan zona-zona yang tadi telah dirancang, dan akan memvariasikan kemonotonan dari grid-grid yang ada. Urban planner yang menata sedikimian rupa hanyalah merapihkan dan mempermudah segala sesuatunya, dan lagi-lagi itu hanyalah God’s eye. Nantinya kota itu sendiri yang akan merancang dan membentuk dirinya. Kota itu sendiri yang akan menjalarkan segala yang ada didalam dirinya, menjalarkan sisi sosial, sejarah, budaya, ekonomi, masyarakat, arsitektur, geografis, order, disorder, semuanya. Semua itu akan mengisi kota dan akan saling berhubungan, sehingga bentuk-bentuk urban planning bukanlah hal terpenting lagi. Apakah ia grid, apakah ia memusat, apakah ia indah, apakah ia teratur, atau monoton. Itu hanyalah sebuah wadah, geometri yang menjadi wadah geometri yang lebih kecil lagi, yang bisa saja ditata berbeda-beda, dan tetap sah-sah saja. Tidak ada bentuk mutlak yang diTuhankan dan dianggap paling ideal. Karena ideal akan terus menjauh ketika kita berlomba-lomba untuk mengejarnya, hanyalah sebuah utopia.

Kampung Melayu: Sebuah Gambaran Rancangan Pemerintah yang Utopia-Wanna-Be

Filed under: ideal cities — annisa.seffiliya @ 00:55
Tags: ,

Kampung Melayu merupakan lokasi sasaran perancangan saya di Proyek 2 Perancangan Arsitektur 3. Begitu mendengar Kampung Melayu, orang akan langsung tertuju pada terminal: terminal yang padat manusia yang berlalu lalang di jalan tanpa mengindahkan adanya jembatan penyebrangan, macetnya angkot yang ngetem tanpa menghiraukan kendaraan di belakangnya yang terhambat, kotor dan terlihat kumuh dengan banyaknya street vendors (pedangang kaki lima) hampir 24 jam yang menjajakan dagangannya ketika menemukan sedikit space kosong di trotoar, dan para pejalan kaki yang pada akhirnya turun ke jalan karena tempatnya telah tergusur para pedagang kaki lima tadi, dan masih banyak fenomena khas Jakarta lain yang dapat diamati.

Sungguh pemandangan yang lucu dan miris, melihat Kampung Melayu dalam keadaan sebaliknya, yang tiba-tiba sepi dan terlihat ‘tertib’ tanpa adanya para pedagang kak lima yang berjualan, ketika sejurus kemudian kita mengetahui alasannya ketika melihat para Pamong Praja atau Petugas Tamtib (Ketentraman dan Ketertiban) bersiaga di beberapa sudut Kampung Melayu. Kampung Melayu tak berbeda dengan berbagai sudut kota lain di Jakarta; merupakan kota yang dirancang dengan sebegitu utopianya sehingga pada proses tumbuh kembangnya terjadi banyak tambalan yang tidak bisa dicegah atau diberantas.

Kampung Melayu, bila dipandang dari sudut pandang Barnett “The Ideal City will be new, … no smells, no cemeteries, no slaughter house, …ugliness and poverty has no place!” atau Lofland “.. a place for everything and everything in its place”, sudah tentu bukan merupakan bagian kota yang ideal, dengan tidak sesuainya segalanya pada tempatnya: pejalan kaki yang tak lagi berjalan di pedestralnya, penyeberang jalan yang tak lagi menyebrang melalui jembatan penyeberangannya, PKL yang tidak mempunyai tempatnya lalu mengambil tempat para pejalan kaki, peminta-minta dan pengamen mencari nafkah dengan mengemis pada orang yang lewat, dan lainnya. Dengan konsep mencapai ideal city inilah pemerintah mengusung penertiban pedagang kaki lima dan gepeng (gelandangan dan pengemis) dengan dibentuknya para pahlawan ketertiban yang bertitel “Pamong Praja”.

Namun demikian, mari kita amati. Di Indonesia dan Negara-negara berkembang lainnya seperti India, di sudut manapun yang menjadi titik sprawl dalam suatu kota, akan berperan sebagai magnet yang akan menarik orang untuk berkecimpung mengadu nasib di dalamnya. Dalam hal ini, terundangnya cerminan poverty, yang terwujud dengan timbulnya profesi pengamen, pengemis, pedagang kaki lima, timer angkot, pak ogah, dan sejenisnya, yang menurut pemerintah merupakan fenomena disorder yang ‘merusak’ tatanan kota yang dirancang, sebenarnya merupakan hal yang pasti akan terjadi dan bila telah terjadi tidak dapat dibasmi, seperti halnya ke-pasti-terjadi-nya jamur yang merajalela di tempat yang lembab. Mereka adalah bagian dari kota. Maka, bukankah perancangan sebuah kota juga seharusnya mempertimbangkan ke-akan-hadir-an para pencitra poverty tersebut, bukannya meniadakan tempat bagi mereka. Lalu, apakah yang terjadi di sini? Poverty has no place.

Dalam merancang Kampung Melayu, terlihat pemerintah menutup mata akan kehadiran mereka. Seperti perancangan ‘kota-kota besar’ di negara berkembang lainnya yangjuga menghadapi masalah serupa: The spaces in urban areas are dominated by urban sectors that have high economic value, and spaces for the informal sectors are marginalized…. Urban spatial planning that is not based on an understanding of the concept of urban informality will tend to ignore the demand for spaces to accommodate the informal sector, including for street vendors.

Kita sendiri mengakui, utopia, literally, means no place, a form of nothingness. Bukankah para pejalan kaki juga membutuhkan para pedagang kaki lima, seperti halnya para pedagang kaki lima membutuhkan mereka? Bukankah para supir angkot membutuhkan para timer seperti sebaliknya?Maka, seperti pendapat Sennett, “Disorder is actually a good thing that should happen in the city”, bahwa kota adalah sebuah open puzzle, pieces of mozaic, yang bagiannya bisa jadi ada, bisa jadi tidak. Sesuatu yang dianggap disorder sebenarnya bisa jadi merupakan satu hal yang esensial dalam kelengkapan kota itu sendiri.

Bukankah kita membuat kota untuk dihuni, bukan dilihat? Bukankah kita harus berhenti mengagung-agungkan konsep Utopia yang sebenarnya tidak relevan dalam realita yang ada? Bukankah sudah saatnya kita merancang kota dengan mempertimbangkan seluruh konteks dan probabilitas yang ada?

Referensi
Deden Rukmana. 2008. November 11th. “Street Vendors Also Deserve Urban Space”. http://www.thejakartapost.com/news/2008/11/08/street-vendors-also-deserve-urban-space.html

March 31, 2009

Mengejar Ideal

Filed under: ideal cities — mirradewi @ 03:14
Tags: , ,

Manusia sebagai makhluk yang berpikir dan mempunyai akal sepertinya tak pernah terpuaskan dengan kondisi dan keadaan yang mereka hadapi. Dengan semakin berkembangnya pemikiran manusia, maka berbanding lurus pula dengan bagaimana mereka berusaha melakukan perbaikan. Usaha perbaikan ini mereka lakukan tentunya dengan harapan mendekati apa yang mereka idamkan. Begitulah ideal sebagai idaman manusia adalah sebuah tujuan untuk mereka kejar. Dikatakan bahwa pada saat Leonardo Da Vinci tinggal di Milan, sekitar tahun 1486 sebagian Eropa dan Italia terjangkiti oleh wabah yang menyebabkan banyak warga tewas. Leonardo menganggap tingginya angka kematian itu sebagian disebabkan oleh kondisi kota saat itu—sangat kotor, dengan padatnya populasi penduduk mengakibatkan wabah menyebar begitu mudah. Sampah dibuang ke jalan, sanitasi kota sangat buruk, jalanan sempit dan gelap. Leonardo kemudian merancang sebuah ideal city dimana jalanan dibuatnya lebar, jalur air bawah tanah mengangkut sampah, bahkan terdapat sistem paddlewheel yang dapat membersihkan jalanan. Kota rancangannya terdiri dari dua tingkat, tingkat atas diperuntukkan bagi tempat tinggal sedangkan tingkat bawah diperuntukkan bagi jalur lalu lintas dan service. Leonardo berharap dengan rancangan ini kondisi kehidupan masyarakat meningkat, sehingga penyebaran wabah penyakit yang berujung pada kematian besar-besaran dapat dicegah. Rancangan kota ideal Leonardo ini tak pernah terbangun. Maka inilah utopia Leonardo. Meski begitu pemikirannya mengenai sistem drainase dan pemipaan memberikan sumbangan bagi kastil Sforza dalam versi yang lebih kecil

Mengutip Rosenau mengenai pandangannya akan ideal city: ‘ a means to amend the imperfect condition of the city and reconstruct the reality of everyday urban life into the harmonious situation’

Rekonstruksi realita.
Saya melihat usaha pengejaran ideal, seperti yang dilakukan Leonardo sebagai suatu usaha yang sesungguhnya cerminan, merupakan refleksi dari kontekstual, kondisi yang ia alami, lihat, dan rasakan. Sebagaimana subjek memberi respon terhadap objek. Hampir tidak mungkin tercetus begitu saja angan-angan atau pemikiran terhadap suatu perbaikan tanpa ada pemicu sebelumnya. Jika begitu, bukankah seiring berjalannya waktu dan berubahnya zaman maka kondisipun akan turut berubah-ubah dan akan mengarah pada turut berubah-ubahnya pula harapan akan perwujudan keidealan itu sendiri.

Ideal dimana. Ideal kapan. Ideal terhadap siapa. Se-empiris apakah rumusan ideal hingga yang dituju dari waktu ke waktu hanyalah yang itu? Atau justru se-fluid apakah pergerakan ideal yang dituju dari waktu ke waktu?

Dan selama manusia masih ada, ideal adalah pengejaran yang tak ada habisnya.

Referensi
http://www.unacittapossibile.com/en/exhibition/history-of-the-ideal-city/
http://partner.galileo.org/tips/davinci/idealcity.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Ideal

March 29, 2009

Formula for ‘ Ideal City ‘ ????? Hmmmm……

Filed under: ideal cities — arwn @ 19:39
Tags: , ,

Permasalahan urban dalam sebuah perkotaan sering kali atau pasti disangkut pautkan dengan peran arsitek di dalamnya. Arsitek sering kali dianggap sebagai seorang yang dapat menyelesaikan segala permasalahan yang menyangkut urban. Kenyataannya… memang arsitek dibekali oleh pengetahuan-pengetahuan untuk menghadapi permasalahan seperti itu tetapi belum tentu seorang arsitek dapat menyelesaikan segala permasalahan yang menyangkut ‘urban’ yang ada dalam satu kota.<

Dari hal diatas, arsitek seakan dipandang sebagai seorang yang mempunyai sebuah ‘pandangan’ yang paling baik, sehingga ‘utopia’ dari seorang arsitek kemudian menjadi begitu penting dan banyak orang yang hidup dalam utopia, yang tercetus oleh seorang atau beberapa orang yang disebut dengan ‘arsitek’. Yang menjadi permasalahannya sekarang adalah apakah benar pandangan dan utopia yang diciptakan oleh seorang arsitek kemudian dapat menyelesaikan masalah, apalagi masalah yang sudah menjadi sindrom dalam satu kota, yang sudah menyangkut masalah urban? Atau lebih umumnya bisa dipertanyakan apakah ide-ide tentang ideal city yang selama ini sudah dikeluarkan oleh arsitek terkenal, misalnya, kemudian dapat menyelesaikan permasalahan urban di semua tempat?

“The Ideal City will be new” ( Barnett )
Ambil satu contoh misalnya, Barnett berpendapat bahwa kota ideal adalah kota yang dibuat baru, yang tidak boleh ada bau, kuburan, pejagalan, penjara, segala yang berpenampilan jelek, dll. Semua itu diciptakan seakan untuk membuat sebuah kota menjadi sangat indah, sangat sempurna. Betapa senangnya jika kita hidup di dalam kota seperti itu, sebuah kota yang sempurna, seperti hidup dalam ‘city of angel’, bisa dikatakan seperti itu. Tetapi yang menjadi sebuah pertanyaan sekarang adalah apakah kemudian hal ini benar-benar dapat tercapai, dapat dilakukan? Atau jika hal itu benar-benar terjadi apakah kemudian ‘kota’ itu akan benar-benar menjadi ’kota’? Seperti yang dipertanyakan oleh Ram Koolhas dalam bukunya s,m,l,xl bahwa apakah kota yang benar-benar steril kemudian akan benar-benar manjadi kota? Bukankah kota itu justru malah akan membuat kota itu seakan mati. Seperti contoh kota yang dijadikan contoh oleh koolhas yaitu kota Rotterdam, Belanda.

Memang tidak semua kejadiannya akan seperti itu, jika kita menapak tilas lagi pada arsitektur zaman The Empire ( 1804 – 1815 ) dalam periode ‘Urban Development in France’, dimana Napoleon menginkan untuk membuat Paris menjadi Kota yang paling indah di dunia dengan salah satu caranya yaitu memerintahkan Bernard Poyet untuk mengubah fasad bangunan di sekitar ‘The Church of Madalaine’ agar style bangunan dan garis jalan sesuai dan harmonis dengan gereja Madalaine tsb. Masih banyak lagi yang dilakukan oleh Napoleon untuk membuat Paris menjadi kota yang benar-benar indah, menjadi sesuai dengan ‘utopia’nya dan memang jejak sejarah itu menjadikan Paris menjadi salah satu kota terindah hingga sekarang, yang membuat orang yang berkunjung ke sana, pertama-tama akan merasakan keindahannya tanpa memperhatikan hal-hal yang jelek, seperti yang dikatakan oleh Barnett: “a visitor of the ideal city would be changed by it’s first aspect, it’s variety of architecture, it’s beauty of colour, it’s fressness and purity.”( Barnett )

Tetapi kemudian, apakah hal tersebut masih cocok hingga sekarang?
“ The ideal city of the modern city is like the ideal of a well ordered home: a place for everything and everything in its place. “( Lofland)
“ A city made for speed is made for succes. Therefore, nothing could be come in the way of the traffic flow, and the separation was seen as the part way to achieved on struction freemovement in the city.” ( Le Corbusier )

Banyak juga ide yang kemudian dikeluarkan mengenai bagaimana kota yang ideal pada masa modern ( ideal modern city ), yang ujung-ujungnya akan berlabuh pada ‘penzoningan’ (mengkotak-kotakan) dari jenis-jenis aktivitas, kebutuhan, benda, bangunan, dll. Dan hal itu berlangsung hingga sekarang . Seperti contoh ide yang dikemukakan oleh Le Corbusier, di mana ia memisahkan jalan untuk mobil dan jalan untuk pejalan kaki sehingga terjadi sebuah order lewat pemisahan yang berujung pada zoning. Dan ide ini juga berlangsung hingga sekarang. Lalu apakah menjadikan kota itu ideal?

Indonesia, Jakarta terutama, tanpa terkecuali, terpengaruh dengan ide kota yang dikeluarkan ole Le corbusier, lalu apakah Jakarta kemudian menjadi kota yang ideal???? TENTU TIDAK……dari hal ini bisa saya ambil kesimpulan bahwa ide itu menjadi tidak kontekstual, dan bila dipaksakan pada sebuah konteks yang berbeda….ya hasilnya dapat dilihat sendiri……ta….aa..a…..rraa…aa….. kota Jakarta yang jauh dari ideal.

Lalu Bagaimana kota yang ideal itu sebenarnya???? Yang bisa cocok di masa modern ataupun masa datang… Bagaimana ‘Formula’ tentang Ideal City yang seharusnya….apakah ‘ia’ harus menjadi kontekstual atau tidak??? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi hal yang harus dijawab oleh seorang arsitek, mengingat arsitek mampunyai / memegang kontrol dan orang lain akan hidup dalam utopia yang diciptakan oleh pemegang kontrol itu. Seperti yang dikemukakan oleh Jacobs :“Many ideal plans of the cities as garden city and radiant city bassically attempt to create harmony and order in the physical enviroment under the total absolute and unchallanged control of the arcitect ( Jacobs )

Ideal City = Utopia

Filed under: ideal cities — def1 @ 19:33
Tags: ,

According to Barnett ‘the ideal city will be new’
‘no smells, filth, danger or noice, no old houses, no cemeteries, no prisons, no slaughter houses with ugly appearance. Instead there are good houses with broad and lighted streets’

According to Geddes ‘ poverty, dirt,disease, and ugliness as the evils of city life which need to be destroyed’

Dari pernyataan tersebut timbul pertanyaan bagi saya, apakah mungkin suatu kota benar-benar memiliki kondisi yang demikian? Jika demikian adanya apakah kota yang demikian dapat dikatakan suatu kota? Karena pada suatu kota itu adalah tempat everyday urban life, seperti yang dikatakan oleh Lofland ‘A city is many things’ segala sesuatunya berkumpul di situ dan akan menjadi sangat sulit untuk ‘membersihkan’ kota dari hal-hal yang ‘mengotorinya’ seperti misalnya keberadaan pedagang kaki lima mungkin kita menganggap hal tersebut adalah pemandangan yang tidak mengenakkan, tapi coba pikirkan lagi apa yang terjadi jika pedagang kaki lima tersebut tidak ada, ya mungkin terlihat lebih rapi, bersih tapi akan menjadi kurang hidup. Area yang tadinya ramai dengan pembeli dan pedagang, akan menjadi sepi dari keramaian.

Kalaupun kita ingin menciptakan suatu kota yang ideal, menurut saya tidak akan dapat kita menciptakan kota yang ideal yang sesuai dengan apa yang ada dipikiran kita. Ideal itu hanya ada dalam pikiran, tetapi ketika direalisasikan, ideal yang kita inginkan tidak akan menjadi sesuatu yang ideal atau tidak akan sepenuhnya ideal. Mengapa demikian? karena menurut saya, ketika kita menuangkan idealnya kita ke dalam suatu kota, ideal itu akan bercampur dengan ideal-ideal yang lain(setiap orang memiliki parameter idealnya masing-masing). Oleh karena itu juga dikatakan bahwa ideal city tidak memberi tempat untuk diversity. Yang kesimpulannya berarti pada sebuah ideal city terdapat uniformity, bukankah dengan adanya uniformity akan timbul sebuah kemonotonan? Lalu menurut saya kemonotonan tersebut nantinya akan menjadi sebuah kejenuhan bagi masyarakatnya yang pada intinya timbul suatu ketidaknyamanan dan bisa saja berujung pada akhirnya mereka akan membuat sesuatu yang baru dan keuniformityan yang ada akan berubah menjadi diversity. Maka ideal city itu akhirnya tidak lagi ada.

Dari apa yang telah disebutkan di atas saya ingin menekankan bahwasanya menurut saya kota ideal itu adalah hanya sebuah sebutan yang menjadi acuan untuk menciptakan kota yang kondisinya mendekati kondisi ideal tersebut namun tidak akan pernah terwujud sepenuhnya. Dan pada intinya gambaran kota-kota ideal yang pernah ada menurut saya hanyalah utopia ‘a form of nothingness’.

Kota adalah untuk manusia

Filed under: ideal cities — snayoe @ 19:31
Tags: , ,

Salah satu dari pesan Peter Eisenman yang saya kutip dari blog Ridwan Kamil:

Eisenman melihat banyaknya karya arsitektur kontemporer yang sibuk dengan geometri yang semakin rumit, namun seringkali tidak memiliki kualitas yang mampu menghadirkan makna mendalam. “Just a piece of meaningless form,” kritiknya. Selain itu, banyak pula arsitektur yang tidak mampu memperkuat konteks kota dan budaya tempat ia berdiri. Karenanya Eisenman membenci Dubai. Baginya Dubai adalah sirkus arsitektur, segala bentuk bisa hadir tanpa korelasi, tanpa preferensi dan tanpa didahului oleh esensi `livability’ atau roh berkehidupan dari sebuah kota. Kota adalah untuk manusia dan Dubai tidak memilikinya

Pernyataan ini amat berhubungan dengan kebimbangan saya minggu lalu akan sebuah konteks kota ideal dimana dikatakan salah satunya adalah uniformity, penyeragaman tatanan, rumah harus seperti ini, jalan harus ada ini tidak ada itu dsb, sampai penyeragaman arsitektur – dimana yang paling ekstrim dikatakan harus dimusnakannya kejelekan (ugliness) dan kemiskinan (poorness), “orang miskin pergi aje lo ke laut”, Akan dikemanakannya kultur Indonesia yang kaya akan bentuk-bentuk geometri (termasuk disini adalah rumah-rumah gubug tradisionil yang -mungkin akan- masuk dalam kategori poorness) dan tentu saja sangat mampu memperkuat konteks kota dan budaya Indonesia itu sendiri, jika ternyata tidak masuk kedalam kategori Uniformity of Ideal City.

Untungnya, senin kemarin secepatnya dibahas bahwa konsep ideal city ternyata juga banyak membawa kritik pedas, terutama kritik yang membahas apakah konsep UTOPIA, kota surga negeri impian dapat relevan dengan keadaan kota negeri kenyataan, terutama jika menyangkut konteks budaya setempat dan lain sebagainya, sampai pada intinya mengutip pesan selanjutnya dari Peter Eisenman. Eisenman berpesan bagi para arsitek di Negara-negara berkembang untuk tetap optimis dan selalu merasa beruntung. Beruntung karena pada umumnya Negara berkembang seperti kebanyakan negara di Asia masih memiliki referensi eksotisme budaya. Budaya yang masih memiliki tradisikultural sebagai sumber konsep, legenda yang emosional sebagai sumber makna dan ritual referensional sebagai sumber cerita. Kekayaan-kekayaan kultural inilah yang tidak dimiliki di negara Barat seperti halnya Amerika Serikat tempatnya bermukim dan berpraktek.

Sependapat dengan pernyataan Eisenman bahwa segala bentuk yang hadir mewarnai suatu kota harus hadir dengan korelasi, preferensi dan dengan didahului oleh esensi `livability’ atau roh berkehidupan dari sebuah kota, karena Kota adalah untuk manusia. Bagaimana dengan Anda ???