there’s something about geometry + architecture

March 27, 2016

Kota Baghdad dan Kota Ideal Vitruvius

Filed under: ideal cities,Uncategorized — rizka chairunnisa @ 20:13
Tags: ,

Rizka Chairunnisa – 1206237656

Kota Baghdad, Ibukota Negara Irak dikenal dengan sebutan “rounded city” karena benntuk kotanya yang hampir berbentuk lingkaran sempurna. Bentuk kota ini mengingatkan kepada bentuk kota yang disarankan oleh Vitruvius di dalam bukunya yang berjudul Ten Books. Namun, apakah kota Baghdad ini memiliki karakteristik kota ideal yang dijabarkan oleh Vitruvius di dalam Ten Books?

Baghdad_1 (1)

Peta Kota Baghdad Masa Sekarang

Kota Baghdad menurut pendirinya pada masa lampau berada pada lokasi yang strategis. Dibangun di atas tanah wilayah yang memiliki iklim gurun, membuat air menjadi aset dan fokus utama. Kota Baghdad didirikan di dekat aliran sungai Tigris yang akan menjadi sumber air bagi kota Baghdad dari ujung utara hingga ujung selatan kota. Air juga akan terjamin walaupun musim kering sedang berlangsung.

Keadaan tanah tempat kota Baghdad dibangun cukup sesuai dengan karakteristik sebuah wilayah di dalam Ten Books, chapter IV : The Site of a City. Kota Baghdad tidak berhadapan langsung dengan laut. Persediaan air dan tanah juga terjamin sehinga akan menjamin keberlangsungan perkebunan untuk persediaan makanan. Namun, untuk karakteristik iklim, kota Baghdad termasuk di dalam kota yang memiliki iklim Panas.

slide18-144EE5EBCDF3A5FA002

Rancangan Kota Baghdad

Kota Baghdad sekarang tidak memiliki tembok besar yan mengelilinginya. Namun, pada masa lalu kota ini dirancang berbentuk lingkaran dengan tembok yang mengelilinginya. Kota Baghdad dirancang membentuk lingkaran dengan radius 1 Km. Terdapat sebuah masjid yang menjadi pusat kotanya. Lapisan pertama setelah pusat kota adalah pemukiman kelas atas serta perkebunan. Lapisan selanjutnya adalah pemukiman untuk pendudukan kelas bawah. Diantara dua jenis pemukiman ini terdapat tembok sirkular yang memisahkan. Hal ini mungkin bertujuan untuk perlindungan lebih terhadap serangan kepada pusat kota, pemukiman kelas atas dan perkebunan. Lapisan paling luar adalah tembok kota dengan empat buah gerbang utama : Kufa, Basra, Khurasan dan Syria.

Di dalam chapter V : The City Walls dan Chapter VII : The sites for Public Buildings, rancangan kota Baghdad menyanggupi karakteristik Vitruvius untk membangun tembok kota dan “menyarankan” bentuk kota yang sirkular. Kota Baghdad di masa sekarang juga berbentuk hampir menyerupai lingkaran dengan sebuah pusat kota yaitu Masjid Khulafah. Vitruvius menuliskan tempat suci berada di tengah-tengah kota dan berada di sisi tertinggi. Walaupun Masjid Khulafah tidak berada di sisi tertinggi kota.

9559_arq048-02-03

Salah satu rancangan kota ideal Vitruvius

Sedangkan di dalam chapter VI: The Directions of the Streets, kota Baghdad juga dapat dikatakan cukup sesuai dengan petunjuk yang mengatakan bahwa bentuk jalan tidak berasal langsung dari pintu utama dan menjalar hingga berpusat di pusat kota. Jalan-Jalan utama yang menghubungkan kota lain, tidak menuju langsung pusat kota, tersebar melalui jalan yang lebih kecil dan kemudian terhubung menuju pusat kota. Namun, tidak se-linier dan se-teratur gambaran kota ideal Vitruvius.

Kota-kota pada masa sekarang hampir tidak ada yang menyerupai bentuk kota ideal yang dirancang Vitruvius, termasuk juga kota Baghdad yang walaupun disebut sebagai “rounded city”. Mungkin kota-kota di masa lalu memiliki bentuk kota yang hampir seperti rancangan Vitruvius. Namun, kemajuan jaman serta masalah yang dihadapi berbeda dengan masalah yang dihadapi pada masa lalu membuat karakteristik kota ideal Vitruvius menjadi sebuah keharusan di dalam membangun sebuah kota.

Referensi :

http://www.encyclopedia.com/topic/Baghdad.aspx

http://www.visitcapitalcity.com/asia/Baghdad-Iraq

http://archnet.org/library/sites/one-site.tcl?site_id=7592

May 9, 2013

Utopia adalah Kota Ideal? Yakin?

Filed under: ideal cities — dendydm @ 20:15
Tags: , ,

Image

saya sendiri secara pribadi yakin tidak akan ada yang namanya kota ideal, bahkan dalam narasi kota ideal sendiri, Utopia by Thomas More, yang katanya tidak dapat direalisasikan saya menemukan kejanggalan yang membuat Utopia bukanlah kota ideal bagi orang tertentu.

There are several religions on the island: moon-worshiperssun-worshipersplanet-worshipersancestor-worshipers and monotheists, but each is tolerant of the others. Only atheists are despised (but allowed) in Utopia, as they are seen as representing a danger to the state: since they do not believe in any punishment or reward after this life, they have no reason to share the communistic life of Utopia, and will break the laws for their own gain.

Kalimat diatas menunjukkan bahwa seorang atheis diperbolehkan tinggal di Utopia, tetapi di waktu yang sama juga seakan dianggap sebagai bahaya. apakah seseorang layak tinggal disuatu tempat yang membuat ia dicap sebagai orang yang berbahaya? tentu Utopia bukanlah kota ideal bagi seorang atheis. Padahal seharusnya kota ideal adalah kota yang seharusnya tidak ada diskriminasi diantara penduduknya.

bagaimana menurut teman2? apakah ada yang pernah membaca buku potongan deskripsi dari Utopia? lalu apakah ada yang merasa janggal dengan beberapa deskripsi kota ideal ini?

sumber : http://www.constitution.org/tm/utopia.htm

April 4, 2011

Ideal City

Filed under: ideal cities — dewibudiyanti @ 20:28
Tags: ,

Kata Ideal sebenarnya bukan hal yang dapat dicapai. Karena pandangan seseorang akan arti kata ‘ideal’ itu berbeda satu sama yang lainnya sehingga sempurna di mata seseorang mungkin saja biasa di mata orang lain. Ideal City, sebuah kota yang ideal, memiliki pengartian yang berbeda di setiap orang.

Kebanyakan orang membandingkan ‘Ideal City’ dengan kota dimana dia hidup atau tinggal. Contohnya adalah orang di daerah pedalaman mungkin menganggap kota yang ideal adalah kota yang memiliki banyak lapangan pekerjaan sehingga dia dapat menghidupi dirinya dan keluarganya, seperti di Jakarta. Maka beberapa orang memilih untuk hidup dijakarta karena menurut mereka Jakarta lebih baik dari tempat asalnya. Namun banyak penduduk kota Jakarta yang bosan dan suntuk akan kehidupan di Jakarta dan memilih untuk tinggal di pinggir kota yang lebih tenang.

Contoh lain adalah di kota Quetta yang dianggap Ideal bagi penduduk Afghanistan karena kota ini dibangun sebagai kota militer dan terletak di antara Afghanistan dan Iran yang sedang mengalami peperangan pada masa ini. Dianggap sebagai kota yang memperjuangkan dan mempertahankan negaranya, Quetta dianggap kota yang ideal bagi beberapa orang.

Sama hal nya dengan Palmanova, kota pertahanan yang dianggap ideal pada jamannya. Namun ideal itu sebenarnya tidak kekal, seperti kota ini yang kini lebih ditujukan sebagai kota sejarah sebagai tempat pariwisata dan tidak lagi dianggap berjaya karena tidak banyak mendukung hal-hal yang dibutuhkan pada masa ini. Seperti dinding dan sungai pertahanan, lalu bangunan pencakar langit yang modern akan sulit diletakkan di dalam kota ini karena akan merusak keindahan dan keselarasan kota secara keseluruhan.

Sebenarnya sampai kapan kita akan mencari arti sebuah ‘Ideal City’? Manusia sebagai makhluk yang tidak pernah puas ini terus menggali pikiran dan idenya untuk mencapai kesempurnaan. Walaupun sempurna secara universal tidak bisa diraih, namun memiliki dan merancang kota yang sempurna bagi dirinya sendiri tetap dilakukan untuk mencapai kepuasan pribadi.

Daftar Pustaka

In the City of “Taliban Shura”—Quetta

http://www.palmanova.it

Graffiti dan Ideal City

Filed under: architecture and other arts,ideal cities — mahasiswainterior @ 20:27
Tags: , ,

Tulisan ini akan membahas mengenai graffiti yang menurut saya adalah salah satu pembentuk ideal city.

Sebelumnya, graffiti adalah coretan-coretan pada dinding yang menggunakan komposisi warna, garis, bentuk, dan volume untuk menuliskan kata, simbol, atau kalimat tertentu. Dalam perkembangannya kini, graffiti sering digunakan sebagai sarana ekspresi ketidakpuasan terhadap keadaan sosial maupun politik. Karena itu, banyak orang yang beranggapan bahwa graffiti merupakan salah satu bentuk vandalism/perusakan sarana umum yang merusak atau mengotori ruang publik.

Pandangan yang demikian menurut saya adalah pandangan yang terlalu sempit dan sebelah mata. Bagi saya, graffiti yang banyak berkembang di Jakarta belakangan ini justru merupakan sebuah alternatif untuk menciptakan Jakarta sebagai kota yang ideal bagi para penduduknya. Seperti yang disebutkan dalam kuliah sebelumnya yaitu :

ideal city : an alternative to the chaotic situation, which can be achieved through social reconstructing and ordering of the chaotic environment.

Sebagai contoh penjelas, sebut saja salah satu grafiti Popo (seorang seniman Graffiti yang cukup ternama di Jakarta) yang bertajuk “Jangan Pucat Liat Jakarta Macet” tepat di tembok sebelum gerbang tol Lenteng Agung I di Jalan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Gambar tersebut memperlihatkan Popo yang sedang kesal ketika berada di dalam kendaraan menyerupai UFO atau pesawat luar angkasa yang terjebak dalam kondisi kemacetan.

Sang seniman mengaku terinspirasi oleh masyarakat yang sering sekali mengeluh tentang kemacetan, padahal hal tersebut memang sangatlah sering terjadi di Jakarta. Melalui graffiti yang ia buat, ia ingin mengkritik pemerintah, sekaligus mengajak masyarakat untuk lebih sabar menghadapi kemacetan yang terjadi setiap hari tersebut.

Graffiti disini menjelaskan bahwa ideal city harapan masyarakat adalah kota yang tidak macet dan memiliki arus lalu lintas yang lancar. Mengingat hal tersebut tidak pernah terlaksana selama bertahun-tahun lamanya, sang seniman berusaha melakukan social reconstructing, dengan berusaha mengubah cara pandang masyarakat, dan membuat masyarakat lebih menerima hal tersebut.

Selain sebagai kalimat penenang bagi orang-orang yang dilanda kemacetan, kalimat ini juga berfungsi ganda sebagai kalimat sarkastik yang ditujukan bagi pemerintah. Dengan demikian, sang seniman telah berusaha ‘merapikan’ lingkungan yang tidak seharusnya (ordering of the chaotic environment)

Bagi saya, yang dilakukan oleh Popo sang seniman graffiti ini adalah salah satu bentuk penyuaraan diri mengenai ideal city dengan menggunakan versinya sendiri. Walaupun hingga sekarang, tidak ada tindakan langsung dari pemerintah untuk menjawab kritikan tersebut, setidaknya Popo dan seniman graffiti lainnya telah berusaha memasukkan konsep ideal city mereka ke dalam hati orang-orang yang melihat karya mereka. Ideal city disini memang bukan yang dilihat secara fisik, namun dengan dapat menerima kondisi Jakarta apa adanya sekarang, orang-orang telah membentuk ideal city baru bagi dirinya masing-masing yang terasa lebih harmonis dan menyenangkan.


Sumber :

http://id.wikipedia.org/wiki/Grafiti

http://bataviase.co.id/node/524679

March 25, 2011

Gridlock vs Speed

Filed under: ideal cities — mutiahapsari @ 17:20
Tags: , ,

“A city made for speed is made for success” -Le Corbusier

Jakarta dan kemacetan ibaratnya mie ayam dan sambal, sulit untuk dipisahkan. Hampir semua orang yang tinggal di Jakarta pasti pernah merasakan terjebak di jalanan ibukota. Hal ini bisa dikatakan salah satu masalah terbesar di Jakarta, bayangkan saja, kerugian yang ditimbulkan kemacetan di Jakarta mencapai angka 27 triliun per tahun!  Jika mengacu pada konsep ideal city Le Corbusier di atas, tentu hal ini menjadi masuk akal, begitu banyak waktu yang  bisa kita pergunakan jika Jakarta dibangun dengan memperhitungkan efisiensi dan ease of  tranportation, ketimbang untuk dihabiskan di jalanan. Saya sendiri, jika ingin mencapai daerah Sudirman yang terletak di pusat kota dari rumah saya di Cinere, perlu menyediakan spare waktu paling tidak 2 jam untuk waktu perjalanan. 2 jam yang bisa saya gunakan untuk bekerja, berkumpul dengan teman dan keluarga, atau bahkan untuk sekedar menikmati sarapan.

Tapi apakah city of speed ini merupakan suatu konsep yang ideal untuk Jakarta? Mari bayangkan, apabila jalanan yang setiap pagi dipenuhi oleh berbagai jenis kendaraan bermotor, pejalan kaki berlalu lalang, hingga pengamen berkeliling dari mobil ke mobil, sepi layaknya jalan tol. Bayangkan jalan yang menjadi akses transportasi benar-benar berfungsi hanya untuk sirkulasi penduduk kota.

Lalu bagaimana dengan pedagang asongan yang sehari-hari bersyukur atas kemacetan, karena orang yang terjebak macet pasti tergoda untuk membeli dagangannya? Bagaimana dengan pengamen jalanan yang hanya bisa bernyanyi jika kendaraan berhenti saat macet? Bagaimana dengan orang-orang yang bisa kita ajak berinteraksi ketika bus yang kita tumpangi harus berhenti dalam antrian di jalanan?

Dalam pandangan saya, Jakarta yang seperti itu adalah Jakarta yang dingin,  bagaikan mie ayam tanpa sambal. Hambar. Tetapi Jakarta dengan kemacetan yang tidak terkendali juga bagaikan menuang sebotol sambal ke dalam mie ayam, terlalu pedas hingga membuat perut sakit. Kemacetan yang tak terkendali akan membuat Jakarta lumpuh suatu saat nanti. Menurut saya, sekarang yang menjadi tantangan adalah bagaimana menciptakan Jakarta dengan speed dan ease of transportation dalam takaran yang tepat. Bagaimana mengatur jalanan Jakarta dengan prinsip-prinsip ideal city dan geometri, agar Jakarta menjadi kota yang “as close to perfection as possible” tanpa kehilangan identitas dan local content yang dimilikinya.

Sumber: 

http://humanitieslab.stanford.edu/UrbanSustainability/941

http://fathur05.wordpress.com/2009/04/03/the-city-of-tomorrow-khas-indonesia/

Hotel Sampah Madrid: Perbedaan Persepsi Baik dan Buruk

Filed under: ideal cities — ajengdwiastuti @ 17:12
Tags: , ,

Tulisan ini berawal dari ketertarikan saya tentang topic mata kuliah Geometry dan arsitektur tentang Ideal City. Namun mungkin yang saya bahas bukanlah hal yang berhubungan dengan ideal city, melainkan yang berhubungan dengan persepsi baik dan buruknya sebuah kota. Salah satu ucapan Geddes, “all of the ugly should be destroyed” memicu saya untuk bertanya, siapakah yang begitu berkuasanya untuk yang mengatur mana baik dan buruknya akan sesuatu? Apakah konsep baik dan buruk itu tetap sama dari zaman ke zaman? Topik tentang Order x disorder juga mengantar saya pada ucapan Jean Jacob tentang “the mistake of zoning is it leads to monotony and disintegration of environments”. Dunia yang semakin kompleks memaksa kita untuk meninjau ulang apakah konsep order tentang baik dan buruk masa lalu masih relevan dengan kondisi saat ini. Untuk sedikit menunjukkan hal ini, saya mengajak melihat lihat hotel sampah di Madrid.

hotel front” alt=”front” />

Beach Garbage Hotel adalah hotel yang terbuat seluruhnya dari sampah dan merupakan bagian dari kampanye Corona Save the Beach hotel. Hotel ini di desain oleh seniman Jerman bernama HA Schult. Hotel ini terdiri dari 5 buah kamar tidur, terbuat dari 12 ton sampah yang benar-benar ditemukan mengotori pantai-pantai di seluruh Eropa. Hotel ini dipamerkan di kota Madrid, Spanyol hingga 23 Januari.

Tujuan membangun hotel dari sampah ini adalah untuk meningkatkan kesadaran akan kondisi buruk pantai dan laut di seluruh dunia, yang semakin terganggu oleh sampah. Pembangunan hotel ini banyak dianggap unik dan aneh oleh sebagian orang. Beberapa orang juga tidak dapat menerimanya karena dianggap jelek (ugly). Akan tetapi mari kita lihat maksud dari pembangunan hotel tersebut. Apakah hal buruk yang ditujukan untuk sesuatu yang baik tidak bisa mengubah nilai dari sesuatu yang buruk. Sekali lagi, hal ini berujung kembali pada persepsi masing – masing orang. Ini adalah salah satu gambar interior dari hotel tersebut

interior” alt=”interior” />

Bagus/jelekkah ruang dari hotel sampah ini?

Saya menemukan berita tentang hotel ini dari situs www.kaskus.us, dimana situs tersebut terkenal dengan sebutan The Large Indonesian Community. Berbagai orang dari seluruh Indonesia dengan latar belakang berbeda pula bergabung disini. Dalam situs ini, persepsi menjadi hak merdeka tiap individu. Pikiran kita adalah milik kita sendiri, tanpa ada yang meengintervensi atau memberi instruksi tentang baik dan buruknya sesuatu.

Hotel di Madrid ini dari sampah, memang. Seluruh dinding dari hotel ini terbuat dari tumpukan sampah. Dindingnya tidak terpoles rapi. Hampir tidak ada keseragaman bentuk dalam komponen yang membentuk bangunan ini. Namun apakah hal – hal diatas menjadikan hotel ini juga ‘sampah’? hal tersebut silahkan anda jawab sendiri.

http://www.lintasberita.com/Dunia/Berita-Dunia/unik-hotel-dari-sampah

http://www.indiumglassfilm.com/serba-serbi/1342-hotel-terbuat-dari-sampah-di-madrid.html

March 23, 2011

Ideal?

Filed under: ideal cities — yolasembiring @ 15:21
Tags:

Sekarang ini, banyak dijumpai perumahan-perumahan kelas menengah ke atas yang menawarkan berbagai fasilitas-fasilitas mewah yang mendukung keamanan dan kenyamanan penghuninya.  Fasilitas tersebut mulai dari petugas keamanan 24 jam, dinding pembatas dengan daerah luar perumahan yang tinggi, pintu gerbang masuk ke tiap blok yang hanya memiliki 1 akses dan dijaga ketat oleh petugas keamanan, bahkan hingga rumah yang kedap suara sehingga suasana di dalam rumah bebas dari gangguan suara-suara yang berasal dari luar rumah. Secara tampilan fisik perumahan tersebut juga terlihat asri, banyak rerumputan hijau dan bunga-bunga hias serta pohon-pohon yang menambah apik suasana, jalanan yang rapi dan rumah-rumah yang berderet teratur.

Para pengembang berusaha menyediakan fasilitas-fasilitas yang dapat meyakinkan calon pembeli bahwa perumahan tersebut aman dan nyaman untuk dihuni. Konsep ini sebenarnya seperti konsep-konsep ideal city dan utopia yang dicetuskan oleh beberapa orang ternama.

The Island of  Utopia oleh Thomas More:

… the fine appearance and the orderlines of the streets, houses, and gardens…

Kevin Lynch

… the ideal city reflects order, precision, clear form, extended space, and perfect control

Rosenau

… an ideal city represents a religious vision of  a secular view, in which social consciousness of the needs of the population is allied with a harmonious conception of artistic unity

Eaton

… cities whose life begins (and usually ends) in the form of ideas and which are often presented as being as close to perfection as possible..

Yang ditawarkan oleh perumahan-perumahan tersebut sama seperti apa yang dikemukakan oleh konsep-konsep ideal city di atas; fine appearance, perfect control, harmonious conception of artistic unity, as close to perfection as possible.  Tanpa harus ditegaskan, semua orang yang membaca iklannya akan tahu bahwa perumahan tersebut ditujukan bagi kalangan menengah ke atas, yang mempunyai cukup uang untuk membayar fasilitas-fasilitas tersebut.  Tidak ada tempat bagi kalangan menengah ke bawah, kecuali menjadi pekerja rendahannya.

Konsep ideal city tersebut ditujukan untuk diterapkan mencakup semua bagian kota, bukan sebagian saja. Hadirnya perumahan jenis seperti ini secara tidak langsung akan membagi-bagi mana kawasan untuk kalangan menengah ke atas dan mana kawasan untuk menengah ke bawah, justru menimbulkan pengkotak-kotakan di dalam kota itu sendiri. Adanya pengkotak-kotakan ini justru akan memperjelas perbedaan yang ada dan menjadi jauh dari harmony in unity seperti salah satu konsep ideal city. Seperti yang dituliskan dalam buku Jane Jacobs, The Death and Life of Great American Cities, kaum menengah ke bawah dan kaum menengah ke atas hidup untuk saling berdampingan mengisi kota dan membuat kota menjadi hidup.

Ditambah lagi perumahan-perumahan menengah ke atas tersebut biasanya di kelilingi tembok-tembok tinggi yang membuat batas antara perumahan dan dunia nyata menjadi sangat tegas. Dalam buku Vitruvius, The Ten Books on Architecture, tembok yang tinggi dibangung sebagai pertahanan terhadap kota tersebut dari musuh. Fungsinya untuk melindungi kota secara keseluruhan, bukan sebagian dan membentuk batas-batas di dalamnya. Sudah saatnya pembangunan perumahan-perumahan sejenis itu mulai dipikirkan lagi, agar kedepannya tidak semakin banyak yang membawa konsep ideal city ke bagian kecil dari kota saja, tetapi bagaimana suatu perumahan seharusnya dapat mendukung konsep ideal city secara keseluruhan di satu kota.

Ideal City, Apakah Hanya Sebuah Persepsi?

Filed under: ideal cities — meiyogo89 @ 14:44
Tags: ,

Pada pembahasan kali ini saya ingin mengungkapkan pendapat saya tentang Ideal City. Saya mendapat ide saat hari Minggu kemarin tanggal 20 Maret 2010, saya menjadi salah satu guru sekolah minggu di gereja ,untuk anak-anak yang kira-kira berumur 7-9 tahun. Mereka mendapt tugas untuk menggambar apa itu surga? Bermacam-macam hasil gambar mereka, namun ada satu gambar yang membuat saya menarik, salah seorang anak bernama Rio menggambar sebuah kota yang semuanya dipenuhi permen dan cokelat dan bangunan-bangunannya dibuat juga dari makanan. Yang kemudian saya bertanya kepada anak itu mengapa dia menggambar sperti itu, kata dia,” kalo semua terbuat dari makanan kan kita g bakal takut lapar lagi kan kak?”. Kata- kata anak ini tadi mengingatkan saya dengan Ideal City yang saya dapatkan di Mata Kuliah Geometri. Yang kemudian memberi saya ide untuk membahas apakah ideal city itu berbeda-beda pada tiap persepsi manusia.

Kemudian saya teringat akan sebuah artikel yang saya baca di Internet.Pada era tahun 80-an Affandi, seorang pelukis Naturalisme yang amat terkenal, melukis keadaan kota Jakarta dimana saat itu ia sedang melukis bundaran HI. Namun, yang menarik adalah pada lukisan itu adalah, si “Bundaran HI” itu sendiri malah diletakkan dipinggir jalan oleh Affandi. Saat diwawancara mengapa bundaran HI itu dipindah olehnya, Affandi menjawab, ”biar tidak macet”. Secara tidak langsung Affandi mengekspresikan langsung keadaan yang sering terjadi di HI. Hal ini yang menarik menurut saya dimana peran sebuah ‘Order’ di Jakarta(bundaran HI), yang digunakan untuk mencoba merealisasikan sebuah “ideal city” dimana dalam kasus ini, Order itu berperan untuk menjawab masalah “Macet” yang ternyata masalah itu tak terselesaikan hingga saat ini. Seorang seniman seperti affandi mencoba menggambarkan “order” dalam lukisannya, dimana ia meletakkan Bundaran HI pada lukisan itu dipinggir jalan. Ia mencoba merealisasikan Ideal City secara spontan lewat lukisannya.

Dalam bukunya, Wastu Citra, 1988, Y.B. Mangunwijaya di antaranya menulis: …Arsitektur yang berasal dari kata architectoon / ahli bangunan yang utama, lebih tepat disebut vasthu / wastu (norma, tolok ukur dari hidup susila, pegangan normatif semesta, konkretisasi dari Yang Mutlak ), lebih bersifat menyeluruh / komprehensif, meliputi tata bumi (dhara), tata gedung (harsya), tata lalu lintas (yana) dan hal-hal mendetail seperti perabot rumah, dll. Total-architecture tidak hanya mengutamakan aspek fisik saja, yang bersifat rasional, teknis, berupa informasi tetapi mengutamakan pula hal-hal yang bersifat transendens, transformasi, pengubahan radikal keadaan manusia. Oleh sebab itu citra merupakan bagian yang sangat penting dalam berarsitektur. Citra menunjuk pada sesuatu yang transendens, yang memberi makna. Arti, makna, kesejatian, citra mencakup estetika, kenalaran ekologis, karena mendambakan sesuatu yang laras, suatu kosmos yang teratur dan harmonis.

Dari kedua kasus diatas, muncul beberapa pertanyaan yaitu apakah peran “Order” dalam menciptakan Ideal City itu memang realistis? sebab jika dilihat dari kasus Bundaran HI, Order didaerah tersebut belum menyelesaikan permasalahan pada daerah tersebut, ataukah sebenarnya Ideal City itu hanyalah sebuah persepsi yang berbeda-beda pada tiap orang yang memahaminya? Seperti yang terjadi antara Rio dan Affandi saat mereka mencoba menggambar ‘ideal city’ menurut pemikiran mereka. Yang menjadi kesimpulan saya adalah, semua orang baik anak-anak maupun dewasa mempunyai pengertian “ideal” yang sesuai dengan persepsi mereka masing-masing. Dimana peran order  menurut saya hanyalah sebagai faktor pendukung terciptanya ‘ideal city’ yang tidak sepenuhnya bisa mewujudkan ‘ideal city’ itu sendiri.

Sumber : Mangunwijaya, Y.B. Wastu Citra. Penerbit Eirlangga.Jakarta.1988

March 22, 2011

Utopia?

Filed under: ideal cities — Prillia Indranila @ 08:29
Tags: , ,

Ketika membahas mengenai ideal city pada kuliah geometri, yang pertama kali diperkenalkan adalah tentang “The Island of Utopia” yang dibuat oleh Thomas More. Saya tertarik pada kata ‘utopia’ ini, karena meskipun saya sering mendengar kata ini, saya tidak mengerti artinya.

The Island of Utopia

Setelah saya mencari referensi mengenai Island of Utopia ini, saya menemukan terjemahan dari penjelasan mengenai Utopia tersebut, berikut sedikit kutipan dari penjelasannya:

“The island of Utopia is in the middle just 200 miles broad, and holds almost at the same breadth over a great part of it; but it grows narrower towards both ends. Its figure is not unlike a crescent: between its horns, the sea comes in eleven miles broad, and spreads itself into a great bay, which is environed with land to the compass of about five hundred miles, and is well secured from winds.”

There are 54 cities in the island, all large and well-built: the manners, customs, and laws of which are the same…”

Every city sends three of their wisest senators once a year to Amaurot [the capital] to consult about their common concerns; for that is chief town of the island, being situated near the centre of it, so that it is the most convenient place for their assemblies.”

Dilihat dari penjelasannya, Thomas More mendeskripsikan Utopia tersebut dari kondisi fisik dan pemerintahannya. Penggambaran kondisi wilayahnya pun tampaknya menunjukkan bahwa wilayah tersebut memiliki sistem yang teratur, contohnya dari kata2 ‘well secured from winds’, berarti kota tersebut aman dari terjangan angin yang dapat membahayakan wilayahnya, kemudian di wilayah tersebut ada senator yang dapat menjadi tempat berkonsultasi yang berada di pusat sehingga memudahkan untuk pertemuan, sebuah situasi yang memudahkan interaksi antara rakyat dengan wakil rakyat. Berarti, dapat disimpulkan bahwa maksud dari Thomas More dalam Utopia ini adalah menunjukkan seperti itulah kota yang baik.

Sebenarnya, apa pengertian dari kata utopia itu sendiri? Ada beberapa pengertian mengenai utopia dari beberapa sumber:

Dari beberapa pengertian tersebut, ‘utopia’ tersebut mengacu pada dua hal yaitu ‘ideal’ dan ‘perfect’. Kota ideal, itulah yang digambarkan Thomas More dalam Utopia-nya, kota dengan segala keteraturannya. Karena kota tersebut digambarkan begitu sempurna, masyarakat yang  tinggal di dalamnya mungkin akan hidup sejahtera dan merasa aman, dengan kata lain, everybody is happy. Selain dari sumber teks, saya juga tertarik untuk mencari apa itu ‘utopia dari segi visualnya. Gambar di bawah ini adalah beberapa hasil yang saya peroleh ketika saya mencari tentang ‘utopia’ dari Google Images:

Utopia
Utopia
Utopia

Sungguh menarik dan terlihat sangat imajinatif, bukan? 🙂

Ketiga gambar di atas ternyata memiliki penggambaran yang berbeda; gambar pertama terlihat seperti kota yang keadaannya damai, berada di antara bukit, dan terlihat bangunan yang di sekelilingnya terdapat benteng, seperti kota-kota pada abad pertengahan. Pada gambar kedua digambarkan sebuah pemandangan alam yang indah, tergambar dari danau dan langit yang berwarna biru menawan serta tumbuhan dan hewan dapat dapat hidup di sana. Gambar ketiga merupakan kota yang futuristik, kota yang mungkin secara visual akan seperti ini bertahun-tahun yang akan datang. Namun dari ketiga gambar tersebut terdapat kesamaan, yaitu ketigannya sama-sama menggambarkan suasana yang indah, sempurna, dan teratur.

Dari hasil yang saya temukan dari Google Images tersebut,ternyata saya tidak melihat ‘sesuatu yang nyata’, atau sesuatu yang bisa kita lihat sehari-hari, yang sudah ada pada kenyataannya sekarang. Semua gambar tentang ‘utopia’ yang saya dapatkan hanya gambar fiksi atau imajinasi seseorang yang menggambarkan bagaimana ‘utopia’ menurut mereka. Dari sinilah, saya setuju dengan pernyataan “utopia itself means literally ‘no-place'”, atau ‘utopia’ itu merupakan ‘a form of nothingness’. Jadi, kalau sesuatu yang ‘utopis’ atau ideal tersebut tidak ada, mengapa muncul istilah ‘ideal city’? Sebenarnya, apa itu ‘ideal city’?’ Mengutip dari pernyataan Eaton, yang dimaksud dengan ‘ideal city’ menurutnya yaitu “cities whose life begins (and usually ends) in the form of ideas and which are often presented as being as close to perfection as possible. Bagian akhir dari pernyataannya itulah yang sebenarnya menyangkal mengenai keadaan yang perfect, karena yang bisa dilakukan manusia hanyalah berusaha untuk mendekati keadaan yang sempurna tersebut, maka dari itulah ‘utopia’ hanya ada dalam imajinasi manusia, dengan persepsi yang bisa berbeda-beda.

Bagi saya, utopia atau ideal city tersebut merupakan hanya sebuah visi. Visi tersebutlah yang secara tidak langsung mengungkapkan keinginan manusia akan adanya tempat tinggal bagi mereka yang sempurna; tempat yang indah, tentram, semua kebutuhannya dapat dipenuhi tanpa ada yang kurang, atau dengan kata lain, sempurna. Oleh karena itu, lahirlah usaha-usaha para perancang kota untuk mencapai keadaan tersebut, misalnya Le Corbusier dengan City of Tomorrow-nya yang kemudian menghasilkan sesuatu yang sekarang kita sebut sebagai zoning.

Referensi:

http://www.bl.uk/learning/histcitizen/21cc/utopia/more1/island1/island.html

March 16, 2011

Ideal City, is it or isn’t it?

Filed under: ideal cities — larasatisopa @ 20:13
Tags: ,

Apakah ideal city itu?

Dari apa yang saya pelajari pada kelas geometri yang saya tangkap mengenai ideal cities adalah sebuah kota yang berusaha semaksimal mungkin untuk meraih kesempurnaan. Seperti terdapatnya keharmonisan, keteraturan dan kemerataan tingkat sosial.

Dalam pembelajaran mengenai ideal cities ini muncul “Principles Of Ideal/Utopian City Design” oleh Windsor Liscombe, yaitu :

  1. Perencanaan menyeluruh sebuah lingkungan binaan
  2. Melihat fungsi sosial
  3. Anggapan adanya hubungan yang merata antara segala bidang sosial
  4. Harapan adanya kepatuhan masyarakat, servis dan komunitas
  5. Kepuasan pemenuhan harapan dan aspirasi warga secara individu
  6. Pemanfaatan sumber daya alam dan manusia yang berguna bagi kebaikan
  7. Perlindungan terhadap masyarakat yang ideal.

Pada intinya bisa dikatakan bahwa “Everybody Happy”.

Lalu untuk mencapai ini semua diperlukan sebuah kontrol yang ketat, agar keadaan ini dapat terus tercipta dan terjaga.

Pengadaan kontrol inilah yang membuat saya menjadi tidak begitu setuju dengan konsep ideal city di atas, karena dengan adanya kontrol ini, prinsip pada nomor 5 menurut saya kurang terpenuhi.

Karena saat sebuah kontrol yang ketat ditetapkan, keinginan dan aspirasi masyarakat secara sadar maupun tidak sadar akhirnya ikut terkontrol pula oleh aturan ini. Sehingga pada akhirnya, tidak semua penduduknya bisa bahagia, karena aspirasi yang sesungguhnya terkekang oleh aturan ini. Meskipun awal adanya sebuah aturan ini adalah untuk menjaga keidealan sebuah kota, namun ideal sebuah kota belum tentu sama bagi setiap penduduknya.

Ini adalah pendapat saya, bagaimana dengan anda?

May 31, 2010

Kota Kita Manusiawikah?

Filed under: ideal cities — agungsetyawan89 @ 23:26
Tags: , ,

Berikut adalah tulisan saya yang acak-acakan tentang kota Jakarta. Sudah saya coba untuk merunutkan sampai akhirnya saya jemu bahkan hampir frustasi dan ingin batal memposting tulisan ini. Masalah kota sudah terjalin sedemikian rumitnya, hingga bingung mana yang kiranya perlu dituliskan lebih dulu. Semuanya saling berhubungan maka saya jadi maklum bila pemerintah beserta pihak-pihak yang peduli tentang kota juga pusing mengurai permasalahan yang ada.
Saya mulai tulisan ini dengan pemicu awal yang membuat saya ingin menulis tulisan ini. video tentang kota batavia tahun 1941 dimana kebanyakan lalu lintas berjalan cukup lambat dan terasa ruang-ruang yang ada lebih manusiawi. (berikut link nya http://www.youtube.com/watch?v=kpHttkGF5PM)

Kecepatan tidak manusiawi.
Semua kendaraan melaju dengan kencang. Berbahaya bila berada di dekat jalan raya, dekat rel KA, takut tersambar. Bahkan di pedestrian dan jembatan penyebrangan pun berbahaya karena motor mampu melahap track offroad tersebut. Bisa dibilang ruang-ruang tersebut tidak manusiawi. karena manusia tidak bisa merasa aman dengan menjadi dirinya sendiri.
Kota semakin tidak kompak. Jarak yang berjauhan memaksa kaki untuk menginjak pedal lebih dalam agar mendapatkan kecepatan yang tinggi berharap waktu tempuh semakin singkat. Namun apa mau dikata, bukan hanya kita seorang yang melakukan hal ini. Macet menahan kita untuk bisa cepat sampai dirumah, dikantor, dimana-mana.

Macet.
Pemandangan yang jamak ditemukan di jalan raya pada pagi maupun sore hari adalah macet. Ketika lambat pun, keadaan jalan ini tetap tidak nyaman dilalui manusia(baca: pejalan kaki). terlalu tebal untuk bisa ditembus dengan nyaman. Terlalu panas, terlalu berasap, keterlaluan. Sehingga berkendara menjadi terlalu menyenangkan dibanding naik kendaraan umum atau berjalan kaki.

Sebuah anomali melihat munculnya komunitas bike to work, saya kerap tertegun melihat mereka begitu anggun melintasi padatnya jalan kota. Merayap dengan pasti melewati semua pesaing2nya yang berbadan tambun. Celah yang sedemikian kecil cukup bagi mereka untuk dapat melenggang dengan gaya seorang juara.
Berkembangannya permukiman di pinggiran kota membuat kota semakin tidak kompak. Selain harga yang lebih murah alasan lainnya adalah keinginan warga untuk dapat hidup dilingkungan yang lebih sehat dipinggir kota.

Makam.
Saya kembali ingat buku yang mengkritisi ruang terbuka hijau di jakarta, berjudul komedi lenong: satire ruang terbuka hijau. Salah satunya isinya membahas tentang potensi makam yang juga berperan sebagai ruang terbuka.
Keberadaan makam seperti menentang teori bahwa kota adalah pusat konsentrasi manusia membuat setiap jengkal lahan yang ada mesti berkepadatan tinggi.
Sehingga seperti sudah digariskan bahwa makam akan terus menerus dipinggirkan. Mesti keluar dari kota, digusur.
namun apakah demikian cara kita menghormati para pendahulu-pendahulu kita?
Mungkin suatu saat makam sebagai ruang terbuka hijau yang berkontribusi dalam perbaikan kualitas udara cuma bisa ditemui di pinggiran kota. Dengan kata lain udara dan lingkungan yang sehat cuma bisa didapat di pinggiran kota. Beruntunglah mereka yang tinggal di pinggir kota. Namun alangkah kasihan bila mereka tetap bekerja di pusat kota yang dengan kata lain mesti berdesakkan ikut arus padat para komuter tiap pagi dan sore di hari kerja.
Potensi makam sebagai ruang interaksi juga terabaikan, citra yang sedemikian angker membuat banyak dari kita sedari kecil menjauhi keberadaannya. meninggalkan noda-noda hitam di peta pikiran kita, daerah yang sebisa mungkin dihindari agar tidak dilalui.
Entah merupakan sindiran atau memang ingin menggugah pikiran kita akan potensi pemakaman sebagai ruang terbuka, dalam film garuda di dadaku pemakaman-pun akhirnya dijadikan tempat berlatih sepak bola. namun tetap saja, bumbu hantu kembali dihadirkan. Membuat kesan keterpaksaan ketika mereka bermain di pemakaman itu.
Pada masyarakat sumba, makam menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. makam ada dihalaman rumah, diruang terbuka tempat mereka kerap berkumpul dengan para tetangga, juga tempat anak-anak bermain. Kita bisa melihat bagaimana mengormati bukan dengan cara menjadi takut dengan keberadaannya.

PKL: ancaman atau kesempatan.
Saya yakin bila suatu saat area pemakaman sudah menjadi ruang yang aktif digunakan warga kota sebagai ruang berkumpul akan banyak pedagang kaki lima yang mangkal disana.
Yah mau bilang apa? Keberadaannya memang membuat kota kita terlihat semrawut. Tak heran demi menggapai adipura pemda mesti mengerahkan kekuatannya demi mensterilkan kota dari keberadaan mereka. Coba lihat muka stasiun tebet, tempat yang tadinya berupa lapak kakilima yang ramai karena memang strategis dilalui banyak orang kini berganti taman kecil yang rasanya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perbaikan kualitas udara disana. Mungkin sudah terpatri dikepala bahwa taman dan pkl tidak bisa hidup dengan harmonis.
Seakan rakyat kecil yang diwakili para pkl ini tidak pernah berdamai dengan pemerintah. Pemerintah punya visi, warga tidak terlalu peduli akan hal itu. apa musyawarah cuma jadi pelajaran disekolah. Itupun kalau masih ingat.

April 17, 2010

‘Home’-Based Formula for The Geometry of An Ideal City

Filed under: ideal cities — HeR @ 08:56
Tags: , , ,

Konsep kota ideal telah lama menjadi perdebatan; apakah sebenarnya kota yang memenuhi konsep-konsep ideal eksis atau tidak, atau bahkan apakah sebuah kota ideal mungkin eksis atau tidak. Ini mungkin pertanyaan yang akan sulit terjawab mengingat kota ideal selalu berbasis pada adanya ide terhadap kesempurnaan dalam pikiran manusia, dan kita tahu bahwa a state of perfection bukan hal yang mudah dicapai karena ide yang berbasis pada pikiran ini akan selalu berubah terhadap perkembangan zaman.

Konsep kota ideal, seperti hal lainnya dalam arsitektur, selalu terkait dengan pandangan terhadap beauty dan penolakan terhadap ugliness, di mana untuk menentukan dan menilai mana yang beautiful dan mana yang ugly ada suatu order yang diberlakukan. Kita tahu bahwa kota adalah suatu wadah bertinggal yang di dalamnya hidup berbagai golongan dan lapisan sosial. Itu sebabnya Lofland mendefinisikan kota sebagai a place for everything, karena kota sebagai ruang hidup manusia mengakomodasi ruang bertinggal bagi berbagai golongan sosial dalam jumlah jamak. Berbagai golongan masyarakat ini tentu mempunyai kepentingan dan pandangan yang berbeda-beda. Lalu dari sudut pandang mana/bagaimanakah beauty dan ugliness tadi harus dilihat? Dan untuk mencapai penilaian terhadap beauty yang memenuhi konsep ideal, bagaimanakah order yang harus diterapkan?

Ketika Thomas More muncul dengan konsep kota utopianya yang dianggap sebagai suatu konsep kota yang ideal, beauty pada kota tersebut didefinisikan sebagai  “the fine appearance and the orderliness of the streets, houses, and gardens”. Dari sini kemudian muncul tatanan kota dengan garis-garis jalan yang teratur serta tatanan rumah-rumah yang seragam dan teratur sebagai tatanan kota yang dianggap ideal.

Kelanjutan dari ini, perkembangan konsep kota ideal sampai pada sebuah pengaturan terhadap ruang-ruang kota dengan garis-garis vertikal dan horizontal yang teratur yang diproyeksikan pada suatu tampak atas (masterplan) sebuah kota, di mana garis-garis yang membentuk grid tersebut diterjemahkan ke dalam area-area sirkulasi (jalan-jalan) yang kemudian membagi area-area pemukiman dan ruang-ruang dalam kota lainnya dalam superblok-superblok. Ini kemudian menjadi suatu geometri yang dianggap memenuhi kualitas ideal bagi sebuah kota: geometri yang ‘memberikan gambaran’ keteraturan dan order yang baik. Ini seperti yang dikatakan Windsor-Liscombe: “Geometry has been used to develop the layout of ideal cities. Most often the use of geometry results in a regular pattern of streets and space in the city.” Pola regular inilah yang hingga sekarang dikenal sebagai pengaturan berdasarkan grid-grid terhadap layout sebuah kota, yang banyak diterapkan pada kota besar seperti misalnya pada New York, dalam impian untuk mencapai sebuah kota yang [dianggap] ideal. Namun penggunaan grid ini lalu menjadi ideal bagi siapa? Karena kemudian penggunaan grid ini akan memperlihatkan keteraturan jika dilihat dari atas, cara yang sama sekali tidak akan pernah kita – sebagai penduduk kota – lakukan dalam mengalami kota.

Penggunaan grid ini juga merupakan salah satu gagasan modernisme yang digambarkan Le Corbusier dalam gagasan kota ‘masa depan’ sebagai suatu bentuk kota ideal, seperti dalam pernyataan berikut: “Streets are often on a rigid grid design, or if not a grid, at least a pattern that looks very well-thought-out when observed in a scale model.” Kembali, bahkan dalam definisi Le Corbusier kita masih dapat melihat bahwa suatu kota dianggap ideal jika ia terlihat teratur ketika dilihat dari atas (“when observe in a scale model”). Ia juga memproposikan bahwa untuk mencapai suatu kota yang akan berhasil baik dan memenuhi standard ideal, maka harus ada pemisahan yang jelas dan rigid antarberbagai aktivitas dalam kota. Ini melahirkan suatu sistem penzonaan dalam kota yang membagi kota ke dalam blok-blok zona aktivitas. Kota ideal dianggap akan tercapai apabila setiap aktivitas berbeda dalam kota berjalan di dalam blok zona yang telah ditentukan, dan tidak tercampur aduk dengan aktivitas-aktivitas lainnya. Ketika suatu aktivitas yang ‘seharusnya’ terjadi dalam zona tertentu, ditemukan berlaku di zona lain yang bukan merupakan zona kegiatannya, maka ini dianggap sebagai suatu kondisi yang disorder dan tidak ideal. Namun apakah sistem zona untuk mencapai kota ideal ini benar-benar akan ideal bagi manusia yang tinggal di dalam kota sebagai citizen?

The big cities are natural generators of diversity.” (Jacobs)

Menurut Jane Jacobs, kota adalah suatu wadah bertinggal yang akan selalu mengandung pluralitas, dan memang itulah kenyataan yang selalu kita temukan dalam sebuah kota. Pluralitas ini termasuk keberagaman keinginan dan kebutuhan manusia yang tinggal di dalamnya yang diakibatkan oleh keberagaman latar belakang sosial, ekonomi dan budaya. Keinginan dan kebutuhan yang berbeda ini tentunya akan menyebabkan aktivitas yang dilakukan untuk pemenuhannya tidak akan pernah sama. Oleh karena itu, gagasan pemisahan kota berdasarkan zona-zona rigid terhadap aktivitas tentu bukan menjadi gagasan yang baik jika kita melihat kota sebagai suatu wadah hidup yang ‘seharusnya’ dapat memenuhi [berbagai] kebutuhan begitu banyak manusia yang tinggal di dalamnya. Jacobs juga mengkritisi gagasan penzonaan sebagai sesuatu yang akan menyebakan kemonotonan dalam ruang kota, dan menyebabkan adanya disintegrasi terhadap lingkungan karena apa yang ada dalam suatu zona hanya akan berkonsentrasi terhadap zona itu sendiri dan kemungkinan akan terputus hubungannya dengan zona-zona lain di sekitarnya. Lalu bagaimana dengan fungsi kota yang salah satunya juga adalah mewadahi kegiatan interaksi manusia di dalamnya? Jika kota ideal dianggap akan tercapai dengan separasi rigid yang tidak permeabel, maka kota tidak akan memberikan ruang bagi interaksi antarmanusia.

Lalu apakah gagasan penzonaan kemudian menjadi tidak relevan terhadap kemungkinan tercapainya suatu kota yang ideal?

Lofland, dalam mendefinisikan konsep kota ideal, menggunakan analogi sebuah rumah untuk memulainya: ”The ideal of the modern city is like the ideal of a well-ordered home. A place for everything and everything in its place”

Mungkin penggagasan Lofland lebih lanjut mengenai kota ideal akan berujung kurang lebih sama dengan pandangan Le Corbusier tentang kota masa depan: adanya separasi dan penzonaan untuk aktivitas-aktivitas yang berbeda dalam kehidupan kota untuk mencapai suatu kondisi yang teratur. Namun bagi saya, acuan awal Lofland mengenai kota ideal yang dipandang dari analogi sebuah rumah adalah poin yang menarik untuk dieksplorasi.

Rumah adalah suatu wadah bertinggal bagi keluarga. Sebuah keluarga dalam gambaran umum biasanya akan terdiri dari orang tua dan anak-anaknya, mungkin pada beberapa keluarga tertentu akan ada pihak-pihak lain yang tinggal di dalam rumah seperti saudara, kakek-nenek, atau pembantu. Apapun itu, intinya sama: rumah adalah wadah bertinggal beberapa orang yang berbeda usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan tentu kebutuhan dan keinginannya (dalam skala yang lebih besar, hal yang kurang lebih sama seperti pada kota).

Dalam sebuah rumah, kita bisa membayangkan bahwa tentu akan ada pembagian ruang: mana yang menjadi kamar orangtua, kamar anak, kamar pembantu, dan sebagainya. Pembagian ruang ini tentu akan memberikan label teritori bagi si pemilik ruangan, dan pembagian ini dapat kita baca sebagai penzonaan bagi masing-masing penghuni. Penzonaan ini sekaligus menentukan bahwa dalam zona yang telah diatur setiap penghuninya bebas melaksanakan apa pun aktivitasnya. Namun apa yang terjadi dalam sebuah rumah adalah penzonaan yang permeabel, di mana anggota keluarga yang lain mempunyai kemungkinan untuk masuk ke dalam teritori penghuni yang lain dan bahkan melakukan kegiatan di dalamnya – tentu saja dengan seizin pemilik ruangan. Seperti misalnya anak tentu saja tidak akan dilarang untuk tidur atau melakukan kegiatan yang memungkinkan lainnya di kamar orangtuanya. Demikian pula sebaliknya. Ini jika dilihat berdasarkan teritori/kepemilikan ruangan. Lalu bagaimana dengan konsep ”everything in its place” pada pernyataan Lofland? Ini kemudian terkait dengan apa yang juga ia sebutkan sebagai ‘well-ordered’ dan karenanya berarti hal ini terkait dengan order yang berlaku dalam rumah.

Dalam keseharian penggunaan ruang dalam rumah, kita mengenal apa yang disebut sebagai domestisitas. Domestisitas merupakan praktek keseharian dalam penggunaan/pemaknaan ruang di mana order dalam sebuah rumah bergantung pada siapa yang menjadi penghuninya. Cara kita melihat apa yang seharusnya terjadi dalam rumah kita dan apa yang seharusnya terletak di mana tentu berbeda dengan pandangan orang lain mengenai apa yang ‘seharusnya’ dalam rumahnya. Ini membedakan pemahaman order pada setiap rumah yang berbeda. Dan pelaksanaan serta penerimaan suatu order dalam rumah tentu bergantung pada apa yang menjadi latar belakang dan kebiasaan para penghuninya tersebut. Terlaksananya order ini kemudian mengantarkan para penghuninya kepada suatu perasaan nyaman dan sesuai, yang berarti rumah seperti itulah yang paling sempurna buat mereka (walaupun mungkin tidak bagi keluarga lainnya). Perbedaan siapa yang menghuni serta kebiasaannya inilah yang kemudian menjadi aspek kontekstualitas dalam upaya mencapai ideal tadi. Ketika prinsip ini direfleksikan pada konsep kota ideal, maka ini menunjukkan bahwa kontekstualitas amat penting untuk dapat mencapai kondisi ideal sebuah kota, paling tidak bagi penduduk kotanya. Dan konsep ideal pada suatu kota tertentu tentu saja tidak langsung dapat diterapkan pada kota lainnya, karena belum tentu konsep itu akan sesuai dengan penghuni kota serta kebiasaannya. Itu sebabnya jika sistem grid sebagai suatu geometri yang dianggap ideal bagi satu kota tidak dapat serta merta dipaksakan sebagai order yang dianggap ideal secara mutlak dan langsung diberlakukan secara umum di semua kota.

Selain itu, dalam rumah tidak hanya penzonaan teritorial saja yang terjadi, namun rumah juga tetap menyediakan ruang untuk semua anggota keluarga berinteraksi dan berkumpul bersama, seperti ruang duduk dan ruang makan. Bahkan kemungkinan ruang teritori yang satu dapat ditembus oleh penghuni yang lainnya memberikan kemungkinan dan ruang lain bagi terjadinya interaksi. Dari sini dapat kita lihat bahwa walaupun penzonaan telah dilakukan, namun rumah masih menyediakan banyak ruang dan kemungkinan untuk terjadinya interaksi antaranggota keluarga. Dan penzonaan yang dilakukan tidak bersifat kaku dan rigid, namun permeabel, sehingga para penghuninya tidak hidup dalam kotak-kotak zona aktivitas dan teritori yang mematikan kehidupan rumah. Bukankah rumah yang ideal adalah rumah yang dapat mempersatukan seluruh anggota keluarga, terlepas dari berbagai macam kesibukan dan kegiatan para penghuninya yang berbeda-beda? Mengacu pada hal ini, maka kota untuk mencapai suatu kondisi ideal seharusnya menerapkan prinsip yang sama. Penzonaan tentu saja masih dapat menjadi cara untuk membentuk keteraturan kota, namun seharusnya zona yang terbentuk bersifat permeabel dan tidak mengikat serta membatasi ruang gerak dan aktivitas penduduk kota hanya pada area-area pengkotakan tersebut.  Namun tentu saja ini tetap dilakukan berdasarkan kebutuhan dan kebiasaan penduduk kota (seperti halnya yang terjadi dalam sebuah rumah sesuai dengan kebutuhan para penghuninya). Dengan ini, mungkin saja kota ideal yang kontekstual akan terwujud, dan ideal bukan lagi hanya sebuah konsep untuk sebuah kota impian, tetapi sebuah realita.

Henny R. Panjaitan
(Essay berdasarkan hasil diskusi bersama Gemala Dewi dan Dinastia Gilang).

May 31, 2009

Kota Ideal: Pertanyaan tentang Pejalan Kaki dan Publik dalam Kota Jakarta

Filed under: ideal cities — saintoghien @ 22:00
Tags: ,

Belakangan membicarakan tentang ideal cities, membuat saya ingin membahas masalah yang mungkin akan sedikit melebar dari geometri disini, namun apalah salahnya…

Entah kenapa, penduduk Jakarta lebih terbiasa memilih menggunakan kendaraan pribadi dibanding kendaraan umum atau berjalan kaki. Di Jakarta, hal ini sering dianggap karena kebanyakan penduduknya hidup sebagai komuter, ditambah kesulitan menggunakan sarana transportasi masal yang nyaman, sehingga kendaraan pribadi dipilih sebagai pilihan mutlak transportasi. Kadangkala saya menganggap ini berpengaruh pada perancangan gedung di Jakarta yang terlihat lebih berorientasi pada kendaraan bermotor.

Dari pengalaman sendiri ketika berjalan di kebanyakan gedung Jakarta, saya merasakan sulitnya berjalan kaki di pelataran luar gedung-gedung berfungsi publik Jakarta. Sebagai pejalan kaki seringkali perjalanan menuju sebuah gedung menjadi sebuah ketidaknyamanan tersendiri karena kurangnya dukungan jalur berjalan kaki yang nyaman. Menurut saya, ketidaknyamanan tersebut seringkali dikarenakan perjalanan harus ditempuh cukup jauh ke dalam disebabkan kebiasaan meletakkan garis setback gedung jauh di belakang karena peraturan sempadan bangunan yang disalahkaprahkan oleh perancang dan pengelola gedung.

Salah kaprah karena dirancang tanpa orientasi pada pejalan kaki, namun lebih peduli pada kendaraan bermotor. Padahal hidup-matinya sebuah kota dilihat dari aktivitas manusia di luarannya, dan pejalan kaki adalah aktor utama kehidupan kota urban seperti Jakarta.

Bukan hal aneh bila dijumpai pejalan kaki yang dihardik oleh klakson kendaraan ketika hendak masuk sebuah gedung seakan mereka menghalangi lalu-lalang kendaraan parkir, karena hampir semua bangunan dirancang dengan orientasi pada kendaraan saja. Sehingga entah apapun tipologi bangunannya drop-off untuk mobil selalu dibuat tepat di depan pintu masuk utamanya yang menghadap jalan, dan seberapapun sempitnya garis sempadan bangunan selalu dimaksimalkan untuk lahan parkir sepenuh mungkin.

Bagi saya, hal ini mematikan potensi lahirnya aktivitas manusia yang mampu menunjukkan ekspresi publik di bangunan. Di Jakarta, hal ini adalah sebuah ironi karena bahkan bangunan yang fungsinya (atau hanya fungsi lantai dasarnya) dirancang sebagai penarik keramaian, seperti retail dan kafe, pun berpaham yang sama kesalahkaprahannya.

Bukan hal yang aneh karena kita hidup di jaman modern. Dari awal kemunculannya kendaraan bermotor telah menjadi elemen dasar yang tumbuh bersama kehidupan kota besar. Semenjak The Athens Charter (1943) ditulis oleh Le Corbusier bersama arsitek dan perancang Modern orang mulai melupakan kecuali merancang dengan untuk kendaraan bermotor. Douglas Farr, dalam salah satu esai dalam Charter of New Urbanism (2001), jurnal yang mengkritik pandangan modern tersebut, menuliskan bahwa, “Automobiles are a fact of modern life, and they are not going away. Walking, on the other hand, faces extinction in most places built since World War II – places designed for the convenient use of cars. This is nothing new, since the form of the cities and towns have always adapted to people’s dominant method of getting around. What is different is that places designed around cars are hostile to pedestrians. Try to walk across an eight-lane suburban arterial, and you understand this immediately”.

Orang yang berjalan kaki mengalami kesulitan karena keberadaan mereka terlupakan, bila tidak mau dibilang tidak dihargai. “What remains is a tragic paradox: a metropolitan region where cars can travel anywhere while pedestrian cannot. The importance of this Charter principle emerges when one understands that when places are designed exclusively for cars, fewer people will walk”.

Hal ini juga terjadi di Jakarta, orang mulai melupakan bagaimana membuat tempat publik yang ramah pada pejalan kaki, ujung-ujungnya, orang-orang lupa bagaimana menghargai ruang publik. Rasakan saja apabila anda berada di luaran Jakarta. Seberapa nyaman pejalan kaki berjalan di jalanan Jakarta? Ruang terbuka langka dan bangunan-bangunan yang berdiri kebanyakan tidak memiliki penghargaan pada manusia. Bangunan dirancang tanpa orientasi pada pejalan kaki, namun lebih peduli pada kendaraan bermotor. Padahal hidup-matinya sebuah kota dilihat dari aktivitas manusia di luarannya, bukannya ramainya kendaraan di jalanan, karena penghuni kota adalah manusia.

Farr juga menyatakan bahwa, “In the contemporary metropolis, development must adequately accommodate automobiles. It should do so in ways that respect the pedestrian and the form of public space”. Dalam konteks sekarang sebuah metropolis, kota urban seperti Jakarta haruslah memiliki penghargaan yang cukup pada pejalan kaki dan ruang publik. Seperti yang ditulis oleh Ridwan Kamil dalam artikelnya “Arsitektur Kota Anti Kota” dalam majalah I-Arch, edisi 02/2002, bahwa the city is the people, ia mencontohkan bahwa kota-kota dunia yang masuk kategori world great cities umumnya memiliki kepedulian akan pentingnya ruang-ruang sosial kota, social space sebagai bagian dari roh kehidupan sebuah kota. Menurutnya, kemajuan peradaban, teknologi, dan kompleksitas budaya tidak seharusnya merusak definisi bahwa kota adalah untuk manusia.

Ia berpendapat bahwa “bangunan hadir dan bersentuhan dengan publik”, sehingga sudah semestinya bahwa setiap gedung yang dirancang dalam kota urban seperti Jakarta haruslah menjadi “karya arsitektur pro publik yang sensitif menghidupkan kota”. Hal ini yang mungkin menjadi kekurangan di Jakarta, karena menurutnya hampir setiap bangunan yang berdiri di Jakarta ”tidak memiliki sensitivitas terhadap konteks kota, hanya fokus pada arsitekturnya tidak pada konteksnya”. Inilah yang ia sebut sebagai sebuah perancangan yang ”anti-urban”.

Sepanjang pengetahuan saya, di Jakarta lahan terbuka depan (dan bawah) bangunan ada juga beberapa yang difungsikan sebagai sebuah publik plaza alih-alih sirkulasi dan parkir kendaraan semata. Berarti ada sebuah usaha agar kehadiran bangunan tidak menjadi sebuah perancangan anti-urban. Namun, tidak semuanya berhasil menunjukkan ekspresi urbannya, karena minus kehadiran kegiatan publik yang aktif di situ. Hal ini bisa jadi disebabkan karena hal yang sebagaimana ditulis dalam sebuah artikel singkat: ”many public plazas fail as social gathering spots, usually involves a failure to understand how indispensable the public realm is to the humanization and socialization of a city’s inhabitants and, thus, the many ways in which a plaza can be enjoyed”.

Ini bisa menjadi alasan kesalahkaprahan yang terjadi karena, ”often, public spaces are designed only as an afterthought to highlight surrounding architecture”. Ada sesuatu yang maklum terjadi karena kelupaan akan pentingnya penghargaan pada pejalan kaki ketika merancang sebuah ruang publik. Di sini pejalan kaki tidak hanya berarti orang-orang yang berjalan kaki menuju bangunan, namun juga mereka yang berpotensi untuk beraktivitas di bawah bangunan (ketika mereka menunggu, atau sekadar mencari udara luar).

Ridwan Kamil dalam artikel yang sama mencirikan perancangan anti-urban di Jakarta dalam tiga bagian masalah, yaitu:

1 Fungsi non-publik di lantai dasar

Salah satu ciri kota yang aktif secara positif adalah hadirnya fungsi-fungsi publik atau retail di lantai dasar sebuah bangunan. Di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia, lantai dasar sebuah bangunan besar umumnya adalah ruang lobi formal yang tidak menyumbang apa-apa bagi kehidupan kota.

2 Kapling-kapling egois

Manusia sebagai makhluk sosial berkewajiban berperilaku sosial yang positif dan bertoleransi antar sesama. Begitu pula arsitektur kota. Seharusnya antar bangunan yang satu dengan lainnya bertoleransi dengan memberikan ruang untuk kelancaran publik bernegosiasi terhadap ruang kota. Di Jakarta, antar bangunannya dikapling-kapling dan dibentengi. Pedestrian tidak leluasa bergerak dari satu bangunan ke bangunan lain.

3 Parkir dan drop-off di halaman depan

Ruang paling berharga dalam konteks kota adalah ruang terbuka di depan bangunan, yaitu area dari batas lahan ke garis sempadan bangunan. Sayangnya dengan rasa tidak bersalah selalu menjadikannya sebagai ruang parkir dengan drop-off formal. Perilaku rancangan ini mematikan potensi lahirnya kehidupan yang beradab dan aktif. Parkir sebenarnya bisa langsung ke basemen dan drop-off bisa dari jalan samping atau di dalam kapling. Area inilah yang bisa berpotensi menjadi ruang sosial publik berupa ruang hijau, ruang duduk, atau ruang luar dari sebuah kafe di lantai dasar.

Jakarta mungkin butuh contoh untuk menciptakan kehidupan kota yang ramai oleh aktivitas manusia di permukaan tanah, dan kehadiran bangunan yang menapak di tanah adalah bagian pertama dari itu. Bangunan yang beorientasi pada pejalan kaki, dan bukannya kendaraan, yang mampu menghadirkan kenyamanan bagi pejalan kaki dan menciptakan ekspresi publik yang baik terutama di pengolahan latar depan (atau lantai dasar) bangunan tersebut. Dengan harapan bahwa bukan tidak mungkin di Jakarta ada, maka saya kira perlu dicermati kemunculan bangunan yang lebih ”menapak” tersebut di Jakarta.

Radiant City

Filed under: ideal cities — arnugo @ 20:02
Tags: , ,

Le Corbusier pernah memberikan suatu gagasan mengenai konsep kota ideal yang kemudian dikenal dengan “Radiant City”. Beberapa ciri mengenai “Radiant City” yang digagas Le Corbusier adalah

“ Very large streets, suitable for several lanes of automobile traffic. Very large buildings, typically glass-walled high rises of ten to one-hundred stories tall. Buildings are widely spaced. Buildings typically not built to the edge of the sidewalk/roadway, but rather surrounded by some sort of “landscaping,” either grass or a paved “plaza.” Streets are widely spaced, and “blocks” are large. Streets are often on a rigid grid design, or if not a grid, at least a pattern that looks very well-thought-out when observed in a scale model”. (Art : Future Cities, Time.com)

Bangunan-bangunan tinggi akan dibentuk dengan ukuran dalam skala yang begitu besar atau kini dapat kita kenal sebagai superblock. Dan sistem bangunan di dalam perkotaan lebih mengacu kepada pola vertikal dibandingkan dengan horizontal, seperti yang masih banyak dilakukan hingga saat ini. Dan pola bangunan vertikal tersebut mengakomodir segala bentuk kegiatan manusia di dalam kota ,seperti : perdagangan, pemerintahan, rekreasi hingga hunian.

Namun salah satu hal yang amat terlihat dari pola “Radiant City” adalah mengenai tata kota yang teratur dimana setiap bagian kota tersusun dalam kesatuan grid geometrical yang sama. Bagian-bagian kota terbagi atas bentuk geometris persegi dan terhubungkan melalui jalan-jalan antar blok tersebut.

Le Corbusier memperhatikan faktor efisiensi produksi akan keadaan di masa mendatang, terutama pusat kota yang terbagi sama rata. Hal ini berfungsi untuk meminimalisasi titik-titik kepadatan pada area tertentu di pusat kota. Jalan-Jalan antar blok geometris tadi juga dibuat sangat lebar dengan beberapa pemisahan lajur. Seperti lajur kendaraan produksi dan kendaraan umum dengan lajur kendaraan pribadi. Hal ini sekali lagi bertujuan untuk memberikan efesiensi waktu produksi dari keterlambatan karena kepadatan lalu lintas.

Bagaimana dengan fungsi pedestrian : Area pedestrian/pejalan kaki termasuk dalam bagian blok-blok geometris dan luasan ruang terbuka diakomodir melalui lantai dasar bangunan bertingkat yang dirancang terbuka menyatu dengan keseluruhan bagian dasar dari blok yang tersedia. Jadi area terbuka terdapat pada keseluruhan area dasar blok, antara area komunal yang terbuka dan tertutup.

Pembangunan kota melalui konsep “Radiant City” juga dimaksudkan untuk meminimalisasi penggunaan lahan secara horizontal. Dengan “Radiant City” area pinggiran kota dapat lebih difungsikan sebagai area penghijauan ataupun digunakan sebagai kawasan bercocok tanam/pertanian/perkebunan sebagai penunjang fungsi kota inti. “Radiant City” jika dilihat dari segi konsep akan dapat membentuk kota-kota yang mandiri karena setiap kota nantinya akan memiliki lahan-lahan kosong dipinggiran kota sebagai penunjang kehidupan kota inti, baik dari segi pangan maupun sirkulasi udara yang lebih baik dari kota inti sebagai kawasan produksi.

Sumber :
Art : Future Cities
Radiant city/LeCorbusier/Boozy: The Life, Death, & Subsequent Vilification of Le Corbusier

Ideal

Filed under: ideal cities — ayushekar @ 09:26
Tags: , ,

Ideal..
kata ideal dipakai untuk menunjukkan tingkat kepuasan seseorang atau sekelompok masa akan sesuatu. Ideal berarti sesuai, dan sering diartikan sesuai dengan order, tidak disorder. Entah itu bekaitan dengan keinginan, pemikiran, fungsi, estetik, dan sebagainya atau bahkan kesemua unsur tersebut. Karena ideal merupakan simbol tertinggi, maka akan sulit dicapai seseorang terlebih lagi kelompok, bahkan masyarakat untuk memenuhinya. Tulisan ini dilatarbelakangi oleh keraguan-raguan saya terhadap segala sesuatu yang mereka bilang ideal. Hal ini karena sebenarnya tentu ada unsur ataupun nilai yang telah mereka reduksi dari tujuan atau maksud sebenarnya untuk mencapai kata ideal, sehingga yag terjadi bukalah ke-ideal-an sebenarnya. Mengapa demikian? Karena sesungguhnya utopia setiap manusia terlalu tinggi untuk dijangkau. Bukankah manusia tidak pernah puas? Kata-kata ideal yang mereka gunakan adalah bentuk dari keputusasaan terhadap kondisi yang diinginkan, tetapi bagi orang lain itulah ke-ideal-an mereka. Dan ketika mereka sampai ke titik tersebut mereka tidak pernah lagi megatakan bahwa “Ini ideal untuk saya.”

Maka bagaimana manusia bisa membuat kota ideal?

Kota merupakan ekosistem yang kompleks. Kota ideal adalah kota yang dapat memenuhi segala kebutuhan hidup manusia di dalamnya, memberi keamanan, ketenangan, kenyamanan, keindahan, kesejahteraan, dan keteraturan. Tapi sebenarnya manusia golongan mana yang kebutuhannya dipenuhi? Dan siapa atau golongan mana yang memberi status ideal tersebut?

Mari kita mengambil contoh yang lebih kecil agar ke-ideal-an ini mudah dipahami. Anggap saja sebuah rumah adalah sebuah kota dan anggota keluarga yang tinggal di dalamnya adalah penduduk yang memiliki beragam umur, status sosial, aktivitas, dan kebutuhan. Ketika seseorang wartawan dari sebuah majalah rumah tinggal bertanya,
wartawan : “Apakah menurut anda rumah ini telah ideal bagi anda?”
kepala keluarga : “Oh tentu, kami telah membuat kolam renang di taman belakang, ada home
theatre, juga ada ruang fitness.setaip kamar memiliki kamar mandi didalamnya, juga televisi. Hal ini membuat keluarga saya tidak perlu kemana-mana lagi. Saya telah memenuhi semua kebutuhan keluarga saya.”

Itu adalah ungkapan ideal sang kepala keluarga, dimana ternyata definisi ideal sang ayah bukanlah definisi ideal anggota keluarga yang lain. Bagi si Ibu rumah ideal adalah rumah yang tak perlu ada kamar mandi disetiap kamar sehingga setiap paginya beliau bisa mendengar anak2nya berteriak berebutan kamar mandi, menggedor-gedor pintu, dan akhirnya belajar berbagi. Rumah yang ideal bagi si ibu adalah rumah yang televisinya hanya satu, sehingga di setap malamnya semua anggota keluarga bisa berkumpul bersama, menonton dan mengobrol.

Bagi si anak, rumah yang ideal adalah rumah yang lega sehingga iya bisa bermain sepeda di dalam saat hari hujan. Tanpa perlu takut dimarahi si ibu dan ayah barang-barang berharga mereka yang mahal itu pecah atau rusak. Rumah yang dindingnya bisa dijadikan kanvas untuk menggambar apa saja yang dia inginkan.

Keadaan diatas menunjukkan bahwa definisi ideal setiap orang belum tentu sebuah keteraturan, dimana segala sesuatu harus berjalan sesuai order, indah dan dilakukan pada tempatnya. Dengan demikian, segala sesuatu yang disorder dianggap jelek, buruk, dan tidak boleh muncul kepermukaan. padahal seperti contoh diatas bahwa ideal tentunya berurusan dengan “rasa” masing-masing orang yang nantinya membentuk definisi ideal-nya.

April 7, 2009

Geometri Sebagai Alat Visualisasi “idealisme”

Filed under: ideal cities — rannymonita @ 01:13
Tags: ,

“Ideal” adalah conception of something in its perfection. Kata perfect bersifat amat sangat subjektif pada konteks ini dikarenakan “ideal” itu sendiri masih berupa suatu keabstrakan yang ada dalam pikiran tiap orang. Oleh karena tiap orang memiliki kapasitas pengalaman dan pengetahuan yang berbeda-beda, maka bentuk abstrak akan idealism itu sendiri pastinya akan berbeda-beda pula. Tapi perbedaan idealism yang abstrak tersebut bukanlah inti dari pembahasan ini. Yang ditekankan dalam bahasan kali ini adalah idealism merupakan suatu ide akan angan-angan atas keinginan (desire) dan kebutuhan (need) yang ingin diwujudkan demi mendapatkan kehidupan yang lebih berkualitas dan lebih baik.

Contoh kasus: Kamakura House
kamakura

Kamakura House dirancang untuk kolektor Buddhism art. Bangunan ini digunakan sebagai tempat retreat (tempat untuk menyepi). Rumah ini terdiri atas paviliun memanjang, ruang besar multi fungsi, dan tempat tinggal. Arsiteknya menyatakan desain bangunan ini didasarkan atas kepercayaan orang Jepang, yaitu penyatuan antara alam dengan bangunan buatan manusia akan melahirkan keindahan. Di sini penyatuan dengan alam diwujudkan pada olahan bentukan geometri yang berkesan simple dan unite. Kesederhanaan diwujudkan melalui susunan bentuk-bentuk geometri yang berkesan simple berupa bidang persegi dan balok. Selain mudah dikenal, bentuk persegi dan balok memiliki kesan yang sederhana dan lugas. Karakter sudutnya yang tegak lurus mudah disatukan membentuk karakter yang unite.

The purpose of geometry of design is not to quantify aestheticsthrough geometry but rather to reveal visual relationships that have foundations in the essential qualities of life such as proportion and growth patterns as well as mathematics. Its purpose is to lend insight into the design process and give visual coherence to design through visual structure. It is through this insight that the artist or designer may find worth and value for themselves and their own work” (Elam, 2001: 5)

Pada kutipan di atas, dijelaskan bahwa tujuan dari geometri bukanlah untuk mengukur suatu estetika, melainkan menguak dan membeberkan hubungan antara suatu ‘visual’ melalui proporsi dan pola secara matematis (numerial indicating a number).

Crowe (1997) dalam prespektif humanismenya menyebutkan bahwa geometri arsitektur dimunculkan dari sumber alami bangunan, yaitu: menunjuk pada ketertiban atau order dari bangunan, juga proses membentuk bangunan, yaitu karakteristik struktural dari material-material konstruksi.
Pada kutipan di atas, dijelaskan bahwa suatu geometri arsitektur menunjukan suatu ketertiban/order dari suatu bangunan tertentu. Pada kasus di atas, idelisme yang ingin disampaikan oleh sang arsitek (tentang nilai kepercayaan yang dianalogikan sebagai penyatuan antara alam dan buatan manusia) diwujudkan dan dihadirkan melalui bentuk arsitektural yang berupa olahan bentuk-bentuk geometri (kesederhanaan diwujudkan dalam bentuk-bentuk yang terlihat familiar seperti bentuk balok dan persegi). Itu berarti, geometri telah dijadikan sebagai alat yang tepat mengvisualisasikan ide/makna (idealism) yang ingin disampaikan oleh sang arsitek tersebut. Geometry dapat dijadikan sebagai alat yang dapat mewujudkan/menggambarkan/mengvisualisasikan idealisme-idealisme tersebut Karena geometry terdiri dari variable angka (yang mana merupakan bahasa universal yang dapat dimengerti banyak orang) sehingga dengan bahasa yang dimengerti oleh banyak orang itulah maka makna “ideal” yang ingin disampaikan akan semakin dapat dirasakan kehadirannya.

Jika dilihat dari kasus di atas, maka hubungan antara nilai “ideal” , order, dan geometry dapat saya simpulkan melalui bagan di bawah ini:

bagan-idelisme1

Pada bagan di atas, terlihat hubungan yang jelas antara nilai “ideal” sebagai suatu makna, karakteristik, dan identitas yang ingin dicapai merupakan suatu variable-variabel yang jika diuraikan lebih dalam akan membentuk suatu rumusan-rumusan yang akan menjadi cikal bakal suatu bentuk arsitektur (order). Dari rumusan-rumusan tersebutlah maka peran seorang arsitek dituntut untuk sekreatif mungkin menemukan bentuk-bentuk ruang yang bisa “berbicara” / mengvisualisasikan nilai-nilai ideal yang dimaksud. Dan geometri sendiri berperan sebagai bahasa universal yang menjelaskan bentuk suatu ruang yang dihasilkan dari rumusan-rumusan nilai-nilai ideal tersebut. Untuk itu, suatu rangkaian nilai-nilai ideal, menurut saya, hanya tepat menghasilkan suatu order dan geometry tertentu. Jika nilai-nilai ideal tersebut berubah (bertambah/berkurang variable nilai idealnya) maka rumusan order yang dihasilkan akan berbeda pula sehingga nantinya geometry yang dihasilkan akan berbeda pula.

Sumber:
http://jurnalrona.files.wordpress.com/2008/02/06-tipologi-geometri
http://arsitekiki.blogspot.com/2008/02/kamakura-house
http://www.fosterandpartners.com/Projects/0932/Default.aspx
www.dictionary.com

April 5, 2009

Ideal vs Slum

Filed under: ideal cities — mirantimanisyah @ 21:31
Tags: ,

Setelah saya mengikuti kuliah mengenai Geometry and Ideal City, saya merasa terusik oleh adanya isu mengenai konsep ideal city yang menentang kehadiran slum area. Dari beberapa kutipan para filsuf perkotaan mengenai makna ideal city, menyatakan bahwa ideal city adalah kota yang cantik, bersih, dan berpenampilan baik. Sedangkan slum dimaknai sebagai momok yang paling menakutkan dalam mewujudkan kota yang ideal, yaitu kemiskinan, kotor, tidak sehat dan jelek.

“poverty, dirt, disease and ugliness as the evils of the city life which need to be destroyed” (Geddes)
Kemunculan slum, kadang-kadang terjadi begitu saja dan tidak bisa dihindari. Slum terjadi begitu spontan dan sporadis. Apakah slum selalu identik dengan hal yang negatif?
Saya mencoba mengkaji fenomena kawasan slum yang sempat dijuluki The Darkness City yaitu Kowloon Walled City (KWC). KWC merupakan kawasan megablok yang masih terletak di daratan Hong Kong. Saat KWC ini masih berdiri, kawasan ini mungkin menjadi kawasan terpadat di dunia, dimana menampung sekitar 50.000 penduduk dalam luasan 0.026 km². Sempat terjadi kekosongan kekuasaan dimana pemerintah China ataupun Inggris enggan untuk bertanggung jawab dalam menangani pembangunan di daerah tersebut. KWC menjadi tumbuh tak terkendali. Dalam The Convention for Extension of Hong Kong Territory pada tahun 1898, mengenai penyerahan Hong Kong ke tangan Inggris selama 99 tahun, KWC tidak termasuk di dalamnya.

Kawasan ini terus mengalami pergolakan waktu. Sempat diinvasi oleh Jepang. Setelah beberapa tahun, Jepang mengalami kekalahan dan meninggalkan KWC. Kemudian saat RRC berdiri, banyak penduduk yang berimigrasi ke wilayah ini. Tanpa campur tangan pemerintah Inggris maupun Republik China, KWC tumbuh secara organik di bawah kuasa organisasi kriminal China yang memegang kendali kawasan ini. bangunan-bangunan berdiri tanpa keterlibatan arsitek. Akibatnya pembangunan menjadi tak terkendali, kawasan terbentuk menjadi monolit yang semrawut. Bangunan tersebut dibangun tinggi, antara bangunan satu dengan yang lain berhimpitan, sehingga sinar matahari tak mampu menerobos celah-celah kecil, sehingga koridor-koridor antara bangunan menjadi gelap. Hal tersebut memunculkan istilah dark side of KWC. Bahkan terdapat rumor bahwa “sekali kita memasuki kawasan ini, kita tak akan bisa keluar”.

Pada saat itu, hanya ada dua peraturan pembangunan yang mereka pegang. Pertama adalah penyediaan listrik demi menghindari pemakaian api dalam bangunan, kemudian tinggi bangunan tidak boleh lebih dari 14 tingkat karena letaknya tidak jauh dari airport. A real band-aid architecture, itulah istilah yang dapat dikemukakan dalam menggambarkan kondisi fisik kawasan ini.

MVRDV dalam bukunya FARMAX, mengadakan research yang fokus pada density, fluid organization, dan blurred typologies of space. Namun terlepas dari permasalahan lingkungan fisik, banyak hal yang dapat kita telusuri dari kebudayaan yang terdapat di kawasan ini. Bahwa “sesuatu yang tak ideal” menjadi “hal yang ideal untuk ditelusuri kembali”, untuk dilihat kembali dari segi yang lain. Kenyataan bahwa kawasan tersebut telah dihuni oleh penduduknya selama berpuluh-puluh tahun, mengalami regenerasi hingga mereka survive di sana. Mereka memiliki cara tersendiri dalam melakukan kegiatan sehari-hari, seolah menegaskan teori tentang kemampuan adaptasi manusia yang luar biasa.


Buku City of Darkness: Life in Kowloon Walled City oleh Greg Girard dan Ian Lambot, mengangkat fenomena KWC dalam dua sisi. Lambot membahas sisi dari fenomena arsitektur, sedangkan Girard membahas sisi kebudayaan yang terjadi disana. Bagaimana seorang tukang pos sangat hafal dengan struktur kota yang begitu rumit. Kriminal yang memanfaatkan efek perbatasan, mereka merampok dan lari ke dalam KWC dan polisi Hong Kong tak dapat mengejarnya (karena di luar batas wilayah mereka). Fenomena terbentuknya komunitas yang mampu memenuhi kebutuhan mereka sendiri tanpa campur tangan pemerintah manapun. Fenomena ruang atap sebagai tempat bermain, tempat menghirup udara segar dan tempat melepas kepenatan kota. Ruang atap juga digunakan sebagian warga untuk bergerak secara horizontal.

Sisi negatif KWC juga sering menjadi inspirasi dan diangkat dalam film juga sering menginspirasi film, antara lain Bloodsport, The Killer, dan Batman Begins (dengan distrik “tha Narrows”-nya). Juga video game, seperti Kowloon’s Gate, Final Fantasy VII, Shadow Hearts (Playstation), dan Shenmue2 (SEGA Dreamcast). Fenomena yang terjadi di KWC memang merupakan realita lingkungan fisik yang negatif dilihat dari segi arsitektur dan tatanan kota. Di awal tulisan ini, terdapat pertanyaan bahwa apakah slum selalu identik dengan hal yang negatif? Menurut saya tidak, karena begitu banyak yang dapat kita pelajari dari fenomena slum yang terjadi pada suatu kawasan, yang dapat memberikan inspirasi menuju suatu yang lebih baik. Seperti halnya yang terjadi di KWC, tidak hanya dari segi arsitektur saja yang dapat kita kritisi sebenarnya. Masih ada yang lain yang dapat kita gali, yaitu sejarahnya, penyebab dan akibat kehadirannya, serta kebudayaan yang berkembang. Dan pada akhirnya, slum memberikan kontribusi dalam menciptakan sesuatu yang ideal.

Kota Membentuk Dirinya Sendiri

Filed under: ideal cities — arsnu @ 21:27
Tags: , , , ,

“The grid, the orthogonal plan with parallel streets, right angles, used frequently in ancient planning, appears to be the ideal city form..” (Eaton)

“the separation of activities as the prominent character of modern cities to avoid the ‘pile-up’ of activities.” (Lofland)

Ideal city, dianggap dapat direalisasikan dengan grid-grid, jika dilihat dari atas dapat dilihat zoningnya. Ada yang mengatakan itu agar rapih, agar teratur, namun ketika kita zoom in, apakah masih se-teratur seperti skala sebelumnya? Apakah zoning tadi masih jelas? atau justru zoning tadi sudah menjadi blur?

“the grid denies the existence of contrast, complexity and difference, which are the basic characteristic of urban ife” (Sennet)

“the greatest mistake in zoning is that it permits monotony, and leads to disintegration of environtment” (Jacobs)

Begitu juga ada yang berpendapat bahwa grid-grid itu monoton, terlalu dipisahkan, menghilangkan kompleksitas sebuah kota. Bahkan kata Jacobs, itu dapat mengakibatkan disintegrasi. Lagi-lagi ketika kita zoom in, apakah masih monoton? Apakah antara satu zona dengan zona lain benar-benar terpisah oleh dinding besar sehingga disintegrasi itu terjadi? tidak sebegitunya kan? Itu hanyalah God’s eye, seperti kata Sasaki, “the visuality of the Cartesian city was abstract, since it was addressed not to human eyes but to God’s eye”. Itu hanya dilihat dari atas saja, yang dari plan terlihat rapih dan bergrid seakan teratur sekali, ketika kita masuk didalamnya, tidak akan sebegitu rapihnya juga. Begitu juga dengan kemonotonannya, di plan kita lihat ‘ah monoton, grid-grid, zona-zona, sini bisnis, situ residential, bosan’, padahal ketika kita didalamnya tidak akan sebegitu monotonnya.

Menurut saya hal tersebut karena isi dari kota itu sendiri. Diversity yang sudah pasti ada dalam sebuah kota akan memblurkan zona-zona yang tadi telah dirancang, dan akan memvariasikan kemonotonan dari grid-grid yang ada. Urban planner yang menata sedikimian rupa hanyalah merapihkan dan mempermudah segala sesuatunya, dan lagi-lagi itu hanyalah God’s eye. Nantinya kota itu sendiri yang akan merancang dan membentuk dirinya. Kota itu sendiri yang akan menjalarkan segala yang ada didalam dirinya, menjalarkan sisi sosial, sejarah, budaya, ekonomi, masyarakat, arsitektur, geografis, order, disorder, semuanya. Semua itu akan mengisi kota dan akan saling berhubungan, sehingga bentuk-bentuk urban planning bukanlah hal terpenting lagi. Apakah ia grid, apakah ia memusat, apakah ia indah, apakah ia teratur, atau monoton. Itu hanyalah sebuah wadah, geometri yang menjadi wadah geometri yang lebih kecil lagi, yang bisa saja ditata berbeda-beda, dan tetap sah-sah saja. Tidak ada bentuk mutlak yang diTuhankan dan dianggap paling ideal. Karena ideal akan terus menjauh ketika kita berlomba-lomba untuk mengejarnya, hanyalah sebuah utopia.

The City of Tomorrow Khas Indonesia

Filed under: ideal cities — fathur05 @ 21:22
Tags: ,

Le Corbusier dalam gambaranya tentangThe City of Tomorrow mengusulkan bahwa pusat kota harus berupa banguinan tingkat tinggi yang ekslusif untuk fungsi komersial, bagian ini tidak lebih dari 5 %. Sedangkan 95% sisanya berupa taman. Di pusat kota dia juga menyebutkan dibutuhkan adanya stasiun kereta yang akan menghubungkan pusat ini dengan wilayah disekitarnya serta keberadaan bangunan untuk toko-toko mewah, restauran dan kafe. Si pusat kota kemudian akan dikelilingi oleh perumahan dalam bentuk block zigzag (1933, competition for the renewal of Stockholm’s city centre)

Sekilas dibayangkan gambaran kota masa depan ini nyaman ditempati. Banyak mungkin yang akan mengaku mempunyai pandangan yang sama tentang bagaimana kota masa depan seharusnya, saya salah satu diantaranya. Namun membayangkan Jakarta atau kota-kota di Indonesia berubah seperti bayangan Le Corbusier rasanya tidak rela.

“But we want an order that gives to each things its proper place, and we want to give each thing what is suitable to its nature.” Pernyataan diatas yang diungkapkan oleh Adrian Forty yang saya rasa sejalan dengan pemikiran Le Corbusier, tentang pemahaman order bahwa sesuatu harus ditempatkan sesuai tempatnya saya rasa perlu dikaji. Apa yang diusulkan Le Corbusier: “A city made for speed is made for succes. Therefore, nothing could be come in the way of the traffic flow, and the separation was seen as the part way to achieved on struction freemovement in the city” yang akhirnya merujuk pada zoning bukan pilihan yang bijak menurut saya. Terutama untuk Indonesia. Penempatan sesuai tempatnya bukan berati tiap elemen dipisahkan, terpisah, mempunyai tempatnya masing-masing. Akan membosankan jika memang diberlakukan demikian. Kemungkinan suatu elemen melebur dengan elemen lain dalam tempat yang sama harus dipertimbangkan. Perpaduan, tabrakan, kekacauan tidak boleh dilihat selalu sebagai hal yang ”disorder” yang perlu ditata dengan memisahkan elemen-elemennya. Saya rasa makan di pinggir jalan diiringi pengamen dan klakson mobil orang yang kejebak macet punya kualitas yang sayang untuk dihilangkan. Dan lagi uang yang beredar di area hangat seperti ini dapat menghidupi banyak kepala.

Namun tentu tidak untuk semua tempat. Pemisahan untuk beberapa konteks bisa jadi pilihan yang harus diambil. Jalan tol , salah satu contoh pengembangannya, sangat membantu efisiensi dan efektivitas dalam banyak hal. Terakhir, saya rasa pengembangan kota ala Indonesia bisa hadir sebagai hasil dari perpaduan antara pemikiran besar Le Corbusier dan Lofland yang mengatakan bahwa “city is many things.”

What is the Real Ideal City?

Filed under: ideal cities — soerjamangala @ 21:18
Tags:

Sebelum membahas mengenai kota ideal yang sebenarnya, ada baiknya kita melihat dan menyamakan persepsi terlebih dahulu mengenai apa itu ideal, dan apa itu city? Bila melihat dari akar katanya, ideal berasal dari kata idea yang berarti pemikiran atau gagasan. “An ideal is a principle or value that one actively pursues as a goal.” (http://en.wikipedia.org/wiki/ideal_(ethics)) , dari sini terlihat bahwa arti ideal itu sendiri merupakan suatu prinsip atau nilai yang dikejar sebagai tujuan. Saya berpikir bahwa apabila ideal itu adalah sesuatu yang dikejar, maka ideal itu sendiri tidak akan pernah terpenuhi. Karena apabila telah terpenuhi, maka tidak ada lagi nilai-nilai yang dikejar untuk dicapai. Oleh karena itulah, saya berpendapat bahwa selalu ada ideal di atas ideal.

Berikutnya, kita akan melihat arti dari city itu sendiri. Apabila diterjemahkan langsung ke dalam bahasa Indonesia, city berarti kota. Tapi apakah itu kota? “A city is an urban area with a high population density and a particular administrative, legal, or historical status.” (http://en.wikipedia.org/wiki/City), kota adalah area urban dengan populasi tinggi dan memiliki status administratif, keabsahan, ataupun historikal tertentu. Area urban dengan populasi tinggi mencerminkan bagaimana manusia berperan aktif dalam membentuk kota itu sendiri dan keterkaitannya dalam sebuah ‘ruang raksasa’. Lalu apa keterkaitan antara ideal dan city?

Di atas sudah dijelaskan bahwa ideal berkaitan dengan idea yang berarti pemikiran. Pemikiran itu sendiri lekat dengan manusia sebagai makhluk berakal yang menjadi komponen utama pembentuk sebuah kota. Jadi, dapat dikatakan bahwa setiap manusia sebagai individu, pasti akan membawa idealisme masing-masing guna menilai ideal tidaknya sebuah kota tempat mereka tinggal. Ironis apabila kita sebagai perancang berpikiran untuk membuat sebuah kota yang ideal bagi semua orang karena nilai ideal itu sendiri tak dapat diukur, bersifat abstrak, dan bervariasi pada tiap individu. Jadi pentingkah kota yang ideal? Untuk apa kita mengetahui tentang kota yang ideal apabila ideal itu sendiri tak mungkin diwujudkan?

Saya berpendapat bahwa penting bagi perancang untuk mengetahui tentang kota yang ideal. Walaupun tidak mungkin mewujudkan idealisme yang beragam ke dalam sebuah kota, setidaknya dengan mengenal hal yang disebut ideal, kita dapat menghindari hal-hal yang dianggap tidak ideal. Menurut Sennett, city -> both those perfect and imperfect things. Dari sini, saya berpikir bahwa mungkin telah ada nilai-nilai yang telah dianggap ideal oleh kelompok tertentu, namun tidak ideal di kelompok yang lain. Jadi segala sesuatu yang sempurna dan tidak sempurna pasti selalu ada dalam sebuah kota dengan manusia-manusia yang memiliki idealisme yang berbeda. Itulah yang dinamakan dinamika dalam sebuah kota. Tapi apa jadinya kalau segala sesuatunya dianggap tidak sempurna? Maka tidak ada minimal 1 idealisme pun yang terpenuhi yang dengan demikian, makin jauhlah dari kata ideal. Makin jauh dari kata ideal, maka kota mungkin akan kehilangan maknanya karena akan ditinggalkan oleh penghuninya.

Lalu, adakah kota ideal yang sebenarnya? Bagi saya, tidak ada kota yang ideal dan tidak akan pernah ada. Yang ada hanyalah kota yang tidak ideal atau kota yang bukan tidak ideal.

Superblok, Wujud Kota Ideal..??

Filed under: ideal cities — dyahnajjah @ 21:14
Tags:

Beberapa hari yang lalu, saya menyalakan televisi, dan tanpa sengaja menonton dengan siaran ‘iklan’ merangkap acara bincang-bincang properti di MetroTV. Tidak hanya pagi itu saja, hamper setiap minggunya acara itu disiarkan. Pembawa acara tersebut berusaha meyakinkan penonton bahwa Perusahaan property tersebut telah mendiriikan sebuah kawasan Superblok di daerah Kelapa Gading, yang katanya bakal menjadi kawasan masa depan perkotaan yang warganya menghendaki kemudahan fasilitas, aktivitas yang menyatu, lepas dari kepadatan dan kemacetan kota.

Kurang lebih, berikut promosi mereka: ”Kelapa Gading Square adalah suatu kawasan hunian dan komersiil dengan tema “One Stop Living Concept”, yaitu suatu kawasan hunian yang didukung dengan adanya kawasan komersiil yang saling terintegrasi dan melengkapi dengan mengedepankan 4 aspek yaitu living, business, shopping dan pleasure dalam satu kawasan terpadu. Sehingga penghuni dapat memenuhi segala kebutuhannya hanya dengan selangkah ke kawasan komersiil yaitu Mall of Indonesia yang dilengkapi oleh Carrefour, Italian Walk Shopping Arcade dan Rukan di bawah apartemen. Semua serba lengkap dan dapat dicapai tanpa perlu membuang-buang waktu macet di jalan. Hal ini dikarenakan jaraknya yang sangat dekat sehingga semua dapat dicapai dengan berjalan kaki. Selain itu, penghuni dapat menikmati kenyamanan 20 fasilitas bintang lima seperti swimming pool, tennis court, squash, clinic, coffee shop, day care center, club house, jacuzzi, whirl pool, laundry, post office, mini market, play group, putting green, salon, spa dan atm center. Benar-benar suatu hunian yang menawarkan kelengkapan dan kenyamanan hidup. Kelapa Gading Square merupakan super block seluas +/- 17 hektar dan mixed use terpadu yang terbesar di Kelapa Gading, sehingga memungkinkan pengembang melengkapi kawasan hunian ini dengan fasilitas bintang lima yang akan memberi kenyamanan bagi penghuni dan meningkatkan nilai investasi bagi seluruh pemilik produk di Kelapa Gading Square. Kelapa Gading Square berlokasi di bagian Barat Kelapa Gading yang cenderung lebih prestigious dan lebih tinggi market valuenya dari kawasan lain di dalam wilayah Kelapa Gading. Serta mudah diakses dan memiliki akses langsung dengan jalan Toll Inner Ring Road (Tol Lingkar Dalam) dan dekat dengan akses ke Outer Ring Road (Tol Lingkar Luar). Hal ini akan menyebabkan akses pencapaian yang mudah dari dan ke kawasan ini, sehingga pertumbuhan nilai investasi akan meningkat pesat. Terlebih lagi dengan dibangunnya akses langsung dari arah Sunter dan akan diwujudkan akses langsung dari arah Mal Artha Gading, sehingga penghuni dapat memiliki alternatif jalan selain dari jalan Yos Sudarso. Hadirnya +/- 4000 hunian apartemen yang dilengkapi fasilitas mewah didalamnya dan Mall of Indonesia serta pertokoan, menjadikan kawasan ini semakin bertumbuh dan saling mendukung. Maka, bergabunglah di Kelapa Gading Square, pilihan tepat yang mewujudkan mimpi Anda menjadi kenyataan. Kunjungi show unit kami sekarang juga di kantor pemasaran”.

Mendengar kalimat-kalimat di atas, saya kembali terpikir soal sebuah kota ideal, Sebuah kota ideal, Sebagaimana yang pernah saya pelajari, berbagai teori jelas mengatakan bahwa kota yang ideal adalah kota yang memiliki kondisi fisik yang sempurna, pemerintahan yang baik, Sesuatu yang baru, yang tidak memiliki bau yang tidak sedap, tidak bising, tidak ada gubuk, kuburan. Di sana hanya terdapat rumah-rumah “bagus”. Dikatakan pula bahwa dalam kota ideal, kemiskinan, kotoran, penyakit, dan ke”jelekkan” harus dihancurkan. Bila kita mengacu pada teori tersebut, maka Superblok (kawasan yang menggabungkan pusat hunian (apartemen), perkantoran, hotel, pusat perbelanjaan, sekolah, pusat kesehatan, tempat olahraga, bahkan juga tempat rekreasi. Pendeknya, segala fasilitas yang dibutuhkan menyatu dalam satu kawasan. dimana penghuni superblok tak bakalan kerepotan karena bisa melakukan aktivitas keseharian hanya dalam satu kawasan. Bahkan cukup berjalan kaki tanpa berkendaraan,dan seluruh kegiatan bisa dilakukan di superblok.), nampaknya merupakan solusi yang kurang lebih bisa memenuhi hasrat akan sebuah kota yang ideal. Perwujudan sebuah kota yang ideal.

Namun, Saya menyimpulkan begini, berarti, kota ideal sama dengan harus mahal. Mengapa demikian? Lihat saja, berapa uang yang harus kita kocek untuk dapat merasakan ke-ideal-an tersebut? Bayangkan untuk sebuah hunian di kawasan superblock tersebut kita harus mengeluarkan uang hingga ratusan juta rupiah. Yah, memang hal ini bukanlah sebuah kewajiban, melainkan sebuah pilihan, kalau ingin hidup enak, kalau ingin menjadi seorang yang idealis, beli saja apartemen. Bagi mereka yang beruntung, hal ini semudah membalikkan telapak tangan. Dengan demikian, teori tersebut memang dapat dirasakan kebenarannya. Kota yang ideal haruslah berisikan orang-orang elit yang berkantong tebal.

Apakah perwujudan kota ideal ini sudah ideal? Dalam artian, apakah usaha menciptakan kota yang ideal sudah memperhatikan hal-hal yang mendasar? Apakah mereka memperhatikan tata ruang?atau sekedar membangun? Atau, apakah Pembangunan superblock ini sudah memperhatikan dampak-dampak apa yang akan mereka hasilkan bila mereka tidak meneliti dengan seksama bahwa mereka sudah menggunakan lahan yang sangat Super? apakah mereka sudah menyadari bahwa tidak hanya kaum elit saja yang punya hak untuk hidup, hak untuk merasakan kesenangan, sehingga perwujudan kota ideal sudah cukup berperikemanusiaan?

Apakah Ideal City Merupakan Sesuatu yang Teratur dan Positif?

Filed under: ideal cities — f3br1ant1 @ 16:20
Tags: , ,

Setelah mengikuti kuliah dua minggu ini yang membahas “ideal city” saya menjadi bertanya-tanya seperti apa sebenarynya sebuah kota itu dapat dikatakan sebagai kota yang ideal. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa kota yang ideal itu harus terlihat sempurna dan tidak boleh terlihat satu kejelekan apapun dari nya dan tertata rapi membentuk grid-grid atau pun segala sesuatu yang bentuk dan susunannya teratur. Salah satu yang berpendapat seperti itu adalah oleh Barnet, menurutnya “The ideal city will be new…
No smell filth, danger or noise, no old houses, no cemeteries, no prisons, no slaughter houses with ugly appearance. Instead there are good houses with broad and lighted streets”. Namun ada pendapat yang lain yang membantah pernyataan-pernyataan tentang ideal city yang pada awal nya disebutkan sebagai segala sesuatu yang berada di dalam sebuah kota yang ideal hanyalah segala sesuatu yang baik-baik. Pendapat yang menentang nya mengatakan bahwa ideal city itu menyatakan bahwa kota yang ideal itu didalam terdapat order dan disorder (terdapat campuran sesuatu yang bersifat positif dan negative di dalamnya).
Hal senada juga dikatan oleh Sennett, “Disorder is actually a good thing that should happen in the cities.”

Dari dua macam pendapat di atas saya lebih setuju dengan pendpat kedua, yang mengatakan bahwa ideal city, itu di dalam nya terdapat order dan disorder. Mengapa? Karena menurut saya order dan disorder itu sangat berkaitan satu sama lain, tanpa adanya disorder tidak mungkin terbentuk order (jika semuanya sudah terusun dengan rapi dan tidak ada yang di katakan tidak baik itu maka mungkin saja sesuatu yang sudah order itu suatu saat berubah menjadi disorder, karena tidak ada yang menjadi perbandingan. Hal ini bisa saja membuat pandangan orang mengenai sesuatu yang order itu berubah menjadi sesuatu yang disorder karena terjadinya perkembangan pemikiran manusia dan kemajuan ilmu pengetahuan).

Menurut pendapat saya ideal city itu merupakan suatu keadaan kota yang seimbang (terdapat keseimbangan antara segala sesuatu). Hal-hal yang positif dan negative tersebut saling melengkapi dan saling mempengaruni dan membutuhkan satu sama lain. Menurut saya, kita tidak bisa membuat sebuah patokan seperti apa sebuah kota yang dikatakan “Ideal City” secara global, karena terdapat banyak hal yang mempengaruhinya seperti dalam hal kebudayaan dan kebiasaan yang ada di dalam suatu masyarakat (misalnya, di salah satu Negara di Kamboja wanita yang dikatakan cantik oleh mereka adalah wanita yang memiliki leher yang panjang dan mereka mulai dari anak-anak mulai memasukkan kalung-kalung di leher mereka agar semakin panjang. Namun hal itu hanya berlaku di daerah tersebut, mungkin bagi kita yang melihat hal itu tidak cantik sama sekali). Begitu juga dalam perencanaan sebuah kota, karena setiap daerah memiliki kebudayaan masing-masing dan hal tersebut mempengaruhi cara pandang mereka mengenai suatu kota yang dikatakan ideal tersebut.

Kampung Melayu: Sebuah Gambaran Rancangan Pemerintah yang Utopia-Wanna-Be

Filed under: ideal cities — annisa.seffiliya @ 00:55
Tags: ,

Kampung Melayu merupakan lokasi sasaran perancangan saya di Proyek 2 Perancangan Arsitektur 3. Begitu mendengar Kampung Melayu, orang akan langsung tertuju pada terminal: terminal yang padat manusia yang berlalu lalang di jalan tanpa mengindahkan adanya jembatan penyebrangan, macetnya angkot yang ngetem tanpa menghiraukan kendaraan di belakangnya yang terhambat, kotor dan terlihat kumuh dengan banyaknya street vendors (pedangang kaki lima) hampir 24 jam yang menjajakan dagangannya ketika menemukan sedikit space kosong di trotoar, dan para pejalan kaki yang pada akhirnya turun ke jalan karena tempatnya telah tergusur para pedagang kaki lima tadi, dan masih banyak fenomena khas Jakarta lain yang dapat diamati.

Sungguh pemandangan yang lucu dan miris, melihat Kampung Melayu dalam keadaan sebaliknya, yang tiba-tiba sepi dan terlihat ‘tertib’ tanpa adanya para pedagang kak lima yang berjualan, ketika sejurus kemudian kita mengetahui alasannya ketika melihat para Pamong Praja atau Petugas Tamtib (Ketentraman dan Ketertiban) bersiaga di beberapa sudut Kampung Melayu. Kampung Melayu tak berbeda dengan berbagai sudut kota lain di Jakarta; merupakan kota yang dirancang dengan sebegitu utopianya sehingga pada proses tumbuh kembangnya terjadi banyak tambalan yang tidak bisa dicegah atau diberantas.

Kampung Melayu, bila dipandang dari sudut pandang Barnett “The Ideal City will be new, … no smells, no cemeteries, no slaughter house, …ugliness and poverty has no place!” atau Lofland “.. a place for everything and everything in its place”, sudah tentu bukan merupakan bagian kota yang ideal, dengan tidak sesuainya segalanya pada tempatnya: pejalan kaki yang tak lagi berjalan di pedestralnya, penyeberang jalan yang tak lagi menyebrang melalui jembatan penyeberangannya, PKL yang tidak mempunyai tempatnya lalu mengambil tempat para pejalan kaki, peminta-minta dan pengamen mencari nafkah dengan mengemis pada orang yang lewat, dan lainnya. Dengan konsep mencapai ideal city inilah pemerintah mengusung penertiban pedagang kaki lima dan gepeng (gelandangan dan pengemis) dengan dibentuknya para pahlawan ketertiban yang bertitel “Pamong Praja”.

Namun demikian, mari kita amati. Di Indonesia dan Negara-negara berkembang lainnya seperti India, di sudut manapun yang menjadi titik sprawl dalam suatu kota, akan berperan sebagai magnet yang akan menarik orang untuk berkecimpung mengadu nasib di dalamnya. Dalam hal ini, terundangnya cerminan poverty, yang terwujud dengan timbulnya profesi pengamen, pengemis, pedagang kaki lima, timer angkot, pak ogah, dan sejenisnya, yang menurut pemerintah merupakan fenomena disorder yang ‘merusak’ tatanan kota yang dirancang, sebenarnya merupakan hal yang pasti akan terjadi dan bila telah terjadi tidak dapat dibasmi, seperti halnya ke-pasti-terjadi-nya jamur yang merajalela di tempat yang lembab. Mereka adalah bagian dari kota. Maka, bukankah perancangan sebuah kota juga seharusnya mempertimbangkan ke-akan-hadir-an para pencitra poverty tersebut, bukannya meniadakan tempat bagi mereka. Lalu, apakah yang terjadi di sini? Poverty has no place.

Dalam merancang Kampung Melayu, terlihat pemerintah menutup mata akan kehadiran mereka. Seperti perancangan ‘kota-kota besar’ di negara berkembang lainnya yangjuga menghadapi masalah serupa: The spaces in urban areas are dominated by urban sectors that have high economic value, and spaces for the informal sectors are marginalized…. Urban spatial planning that is not based on an understanding of the concept of urban informality will tend to ignore the demand for spaces to accommodate the informal sector, including for street vendors.

Kita sendiri mengakui, utopia, literally, means no place, a form of nothingness. Bukankah para pejalan kaki juga membutuhkan para pedagang kaki lima, seperti halnya para pedagang kaki lima membutuhkan mereka? Bukankah para supir angkot membutuhkan para timer seperti sebaliknya?Maka, seperti pendapat Sennett, “Disorder is actually a good thing that should happen in the city”, bahwa kota adalah sebuah open puzzle, pieces of mozaic, yang bagiannya bisa jadi ada, bisa jadi tidak. Sesuatu yang dianggap disorder sebenarnya bisa jadi merupakan satu hal yang esensial dalam kelengkapan kota itu sendiri.

Bukankah kita membuat kota untuk dihuni, bukan dilihat? Bukankah kita harus berhenti mengagung-agungkan konsep Utopia yang sebenarnya tidak relevan dalam realita yang ada? Bukankah sudah saatnya kita merancang kota dengan mempertimbangkan seluruh konteks dan probabilitas yang ada?

Referensi
Deden Rukmana. 2008. November 11th. “Street Vendors Also Deserve Urban Space”. http://www.thejakartapost.com/news/2008/11/08/street-vendors-also-deserve-urban-space.html

April 3, 2009

Ideal, Mungkinkah Tercapai?

Filed under: ideal cities — inicindy @ 19:10
Tags:

Ideal, inilah yang selalu dikejar-kejar oleh manusia dari zaman dulu. Yang mana dulu (pada zaman Plato)  orang beranggapan bahwa ideal itu haruslah sesuatu yang memiliki proporsi yang baik, sampai munculnya pemahaman-pemahaman lebih lanjut mengenai apa itu ideal. Konsep-konsep yang lebih lanjut muncul, terkadang bukanlah suatu perkembangan konsep yang terdahulu, ada yang malah menentang anggapan yang terdahulu. Seperti contohnya adalah pendapat dari J.L Durand sangat berbeda dari apa ideal menurut vitruvius. Menurut saya, berdasarkan teori-teori yang telah saya dapatkan dari kuliah mengenai apa yang ideal menurut anggapan para ahli, sebenarnya ideal itu bukanlah sesuatu hal yang dapat disepakati oleh seluruh manusia.

Sifat dasar manusia hanyalah ingin senang dan tidak mau mengalami kesusahan. Dan belum lagi ditambah dengan kepentingan masing-masing individu berbeda satu sama lainnya. Konsep ideal ini sebenarnya berkembang dari kepentingan-kepentingan manusia itu sendiri. Inilah sebenarnya, yang perlu kita sadari, bahwa sebetulnya kondisi yang benar-benar ideal bagi setiap orang itu tidak pernah ada. Ini maksudnya adalah, jika kita ingin memaksakan pada setiap orang mengenai satu konsep mengenai keidealan, jelas ini hal yang tidak mungkin. Yang dapat kita lakukan adalah menuju keidealan dari setiap orang.

Manusia, yang memiliki kepentingan yang hampir sama ataupun yang memiliki latar belakang yang hampir sama, ataupun kesamaan-kesamaan yang lain, cenderung memiliki konsep ideal yang sama pula. Inilah kunci darimanakah kita merancang suatu kota yang ideal. Meskipun kepentingan setiap orang berbeda, namun ada kepentingan yang sifatnya kelompok, atau bertemu satu sama lainnya. Nah, konsep ideal dari mayoritas inilah yang sebenarnya menjadi kunci bagi kita dalam menuju suatu pendekatan keidealan.

Tetapi dari sudut pandang lain, sebuah kota, terdiri dari masyarakat yang terdiri dari berbagai macam kelompok yang heterogen kepentingannya. Bagaimana caranya melakukan pendekatan mengenai kota yang ideal dari kota yang seperti ini? Nah, di sinilah saya ingin beropini.

Menurut saya, dari sudut pandang mengenai kesamarataan hak setiap orang untuk bahagia, dikarenakan oleh kepentingan yang satu dengan kepentingan yang berbeda terkadang saling bertabrakan atau dapat saling mengganggu satu sama lainnya, maka tentunya kita harus mengusahakan agar tabrakan kepentingan-kepentingan tersebut semaksimal mungkin dapat dikurangi. Di sini berarti, tabrakan kepentingan tetap ada, namun jumlah dan intensitasnya dapat dikurangi. Di sini, kita memandang bahwa setiap individu memiliki hak yang sama atas kesejahteraan dan kebahagiaan, sehingga semuanya harus sebisa mungkin tidak saling mengganggu satu sama lainnya.

Biasanya, terjadi kecenderungan yang rancangan kota hanya diperuntukan bagi kepentingan golongan masyarakat tertentu saja tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat lain. Seperti adanya pemisahan di mana tempat pengulitan hewan harus tidak boleh terlihat oleh masyarakat bangsawan. Seperti adanya penggusuran kaki lima yang tidak memperhatikan kesejahteraan dari pedagangnya, dll. Inilah sebenarnya yang harus dihindari oleh pemerintah dalam merancang kota. Selama kepentingan setiap individu terabaikan, maka tentu saja terjadi ‘pelanggaran-pelanggaran’ kecil mengenai konsep ideal city yang telah dibuat sebelumnya.

April 2, 2009

Order dan Disorder, Seberapa Penting dalam Kota Ideal?

Filed under: ideal cities — ranggaayatullah @ 20:13
Tags: , ,

Jika mewacanakan tantang sebuah kota yang ideal, mungkin hanya berujung pada sebuah utopia. Menurut asal katanya pun, kota ini hanya ada dalam angan-angan, di tempat yang mungkin tepat disebut antah berantah. Ada dua kubu yang mempertentangkan bagaimana sebenarnya kota yang ideal, yang mengambil tema besar, sempurna dan tidak sempurnanya kondisi sebuah kota.

Kevin Lynch menyatakan bahwa, ”Ideal city reflects order, precision, clear form, extended, space, and perfect control”. Dengan kata lain, isi dari sebuah kota idel adalah sesuatu yang dianggap baik, bagus, indah, sempurna dalam pandangan umum. Le Corbusier mendukung pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa “city of tomorrow” adalah separating dan zoning. Di pihak lain, Lofland, Jacobs, dan Sennett berpendapat sebaliknya bahwa dalam sebuah kota, tak mungkin hanya ada sesuatu yang baik, bagus, indah, sempurna. Lofland mengatakan bahwa “city is many things”, ada sesuatu yang sempurna dan tidak sempurna, baik dan buruk.

Kemudian pertanyaannya adalah sebenarnya yang disebut ideal yang seperti apa? Saya cenderung berada pada kubu Lofland Dkk dengan semacam propaganda bahwa mungkin kota ideal tidak akan pernah ada, bahwa mungkin tidak salah bahwa kota ideal berisi segala sesuatu yang sempurna, tapi faktanya tidak ada sesuatu yang sempurna, bukan?

Order, dianggap mewakili kesempurnaan, dimana ada keteraturan, sedangkan disorder sebaliknya. Mungkin sesuatu yang dilupakan, dalam konteks perancangan, order dan disorder ini cenderung lebih dapat dilihat secara dua dimensi, bukan dirasakan secara ruang. Dalam perancangan kota, merancang dengan zoning, pola grid-grid yang beraturan sejak lama telah dilakukan.
Namun, urbanisme adalah sesuatu yang pasti memunculkan urban sprawl yang tidak bisa dihindari. Tapi justru disinilah sesuatu yang dianggap disorder itu bersama dengan sesuatu yang order selalu berjalan berdampingan, saling melangkapi.

Ambil contoh kota Jakarta yang tidak dirancang dengan pola yang order, Jakarta berkembang dengan sendirinya, dengan orang-orang dan aktivitas masing-masing. Sebuah pertanyaan, Jakarta adalah kota yang penuh kemacetan, bagaimana sesungguhnya keadaan disorder ini terhadap kota Jakarta? Dari satu hal, macet, sessuatu yang disorder ini bisa membawa kepada sesuatu yang order, misalnya orang yang bekerja, karena dia tahu akan mengalami macet, maka dia bisa membuat semuanya menjadi lebih teratur. Lebih luas lagi, berhubungan dengan urban sprawl, sesuatu yang dibuat dengan order, lama-kelamaan akan tumbuh disorder, dan jangan-jangan sesuatu yang disorder itu justru menjadi keadaan yang order. Kemacetan di Jakarta mungkin bisa jadi salah satu contoh, hal ini sudah menjadi bagian dari kehidupan sosial. Jangan-jangan justru macet ini yang membuat Kota Jakarta menjadi “JAKARTA”. Ketika terjadi disorder dengan kondisi ini, misalnya saat Idul Fitri, Jakarta menjadi kota yang sama sekali berbeda, warga Jakarta justru menikmati keadaan ini. Jakarta dengan kemacetan dan tanpa macet juga telah menjadi sesuatu yang order, menjadi sebuah siklus tahunan.

Order dan disorder tidak selalu baik atau buruk dan sebaliknya, meraka mutlak ada dan sebenarnya keduanya menjembatani proses perjalanan sebuah kota untuk (hanya) mendekati kondisi ideal. Ya, City is both perfect and imperfect things…

March 31, 2009

Ambrogio Lorenzetti dan Ide Ideal City

Filed under: ideal cities — dilladilladilla @ 03:17
Tags: ,

Dari data yang saya dapat, Ambrogie Lorenzetti adalah seniman yang pada masanya (1314-1348) memiliki daya tarik yang dikatakan seimbang dengan pelukis-pelukis terkenal dari Italia lain yaitu Duccio dan Simone Martini. Ambrogio sendiri adalah salah satu adik dari Pietro Lorenzetti yang juga merupakan seniman lukis di Italia. Karya Ambrogio yang dapat didokumentasikan hanya 6 buah, 4 diantaranya adalah representasi dari Legenda St. Nicholas of Bari di Uffizi, Florence. Untuk karya pertama dari 4 buah karya legenda itu adalah sepasang lukisan ‘the Good and Bad Government’ (1337-1339) dekorasi pada dinding dari Sala Della Pace di Palazzo Publico, Siena. Lukisan ini menunjukan keadaan kota yang saling bertolak belakang apabila pemerintah dan pemerintahanya ‘buruk’ atau ‘baik’.

Saya jadi bertanya, pada saat itu di Italia, apa yang mempengaruhi pandangan orang-orang tentang sebuah kota yang baik semestinya. Soalnya dari kuliah, kita diharapkan bisa melihat bagaimana lukisan Ambrogio memberitahukan keadaan kota yang baik atau buruk menurut pelukisnya. Pada lukisan Good Government digambarkan kota yang sangat bersih, ramai dan bersahabat, aman, bangunannya rapat tetapi rapih, orang berlalu lalang dengan leluasa, terkesan tidak ada masalah. Pada gambar ‘Bad Government’ langsung berubah drastis, ada mayat, pekelahian, rumah rapat dan terkesan kumuh.

Berarti pada saat itu mereka sudah pernah mengalami masalah dengan perkotaan dong. Itu yang ada di pikiran saya, sambil berpikir di Indonesia saat itu sudah sampai mana ya?? Tetapi kalau mereka sudah bisa berpikir sampai disitu, berarti bibit-bibit pemikiran tentang sebuah kota ideal itu sebenarnya jangan-jangan datang dari ketidak berhasilan suatu kota (tidak idealnya kota).

Di Eropa yang pada abad itu sedang berkembang Renaissance (di bidang arsitektural) dan Agama Katholik, yang menurut The Story of Ideal City-nya Western Economic Diversification Canada (WEDC), menjadi salah satu penyebab konsep ‘ideal city’ mengacu/berpulang ke ideologi Katholik dan Renaissance. Tetapi kemudian mereka juga menemukan bahwa pada abad yang sama, berkembang satu pandangan dari filsuf berlatar belakang Islam/Muslim yang disetarakan dengan Machiavelli, Hegel dan Montesquieu. Ibn Khaldun (1332-1406), di WEDC disebutkan buku beliau yaitu The Maguaddimah (an introduction to history), mungkin maksudnya ‘Muqaddimah’ yang menurut WEDC dibuku disebutkan mengenai “City Design at Length”.

Towns should provide dwelling, shelter, security, sociability and tranquility reflective of diverse social values while answering to human need of utility and liking for luxury. Khaldun elevated the social status and cultural significance of the architect (a central agent in the Ideal City narrative) in defining the city as proof of civilization“ (WEDC-The Story of The Ideal City)

Berarti sebenarnya sudah cukup banyak orang yang pada masa itu membicarakan tentang kota yang ideal. Berarti (lagi) sudah banyak Negara atau bagian dunia yang mengalami masalah dalam perkembangan kependudukan dan perkotaannya. Bahkan Khaldun juga seperti yang lain sudah membahas soal kebisingan, kenyamanan, keamanan dan tempat berlindung. Tetapi seiring dengan perkembangannya tentu saja sudah jadi kurang relevan lagi. Hal yang menyangkut kebutuhan manusia dan berbagai macam nilai sosial yang tergantung didalamnya terus berkembang dan menjadi semakin kompleks.

Coba kita lihat pada hasil-hasil pendekatan kota-kota yang dianggap baik untuk dijadikan contoh kota ideal atau beberapa rancangan kota yang ideal. Kebanyakan menggunakan grid sebagai salah satu cara mudah merealisaikannya. Kalau untuk sekarang, kira-kira grid masih jadi favorit atau tidak ya? Jangan-jangan desain rancangan ideal city bisa diaplikasikan menggunakan pendekatan non-euclidian geometri. Tanpa bentuk-bentuk dasar, tanpa hitungan/pola tertentu tapi berdasarkan analisa kebutuhan kota tersebut.

Referensi
Western Economic Diversification Canada – The Story of The Ideal City
Encyclopedia Britanica – Ambrogio Lorenzetti
Ibn Khaldun’s Contribution to Social Thought

Mengejar Ideal

Filed under: ideal cities — mirradewi @ 03:14
Tags: , ,

Manusia sebagai makhluk yang berpikir dan mempunyai akal sepertinya tak pernah terpuaskan dengan kondisi dan keadaan yang mereka hadapi. Dengan semakin berkembangnya pemikiran manusia, maka berbanding lurus pula dengan bagaimana mereka berusaha melakukan perbaikan. Usaha perbaikan ini mereka lakukan tentunya dengan harapan mendekati apa yang mereka idamkan. Begitulah ideal sebagai idaman manusia adalah sebuah tujuan untuk mereka kejar. Dikatakan bahwa pada saat Leonardo Da Vinci tinggal di Milan, sekitar tahun 1486 sebagian Eropa dan Italia terjangkiti oleh wabah yang menyebabkan banyak warga tewas. Leonardo menganggap tingginya angka kematian itu sebagian disebabkan oleh kondisi kota saat itu—sangat kotor, dengan padatnya populasi penduduk mengakibatkan wabah menyebar begitu mudah. Sampah dibuang ke jalan, sanitasi kota sangat buruk, jalanan sempit dan gelap. Leonardo kemudian merancang sebuah ideal city dimana jalanan dibuatnya lebar, jalur air bawah tanah mengangkut sampah, bahkan terdapat sistem paddlewheel yang dapat membersihkan jalanan. Kota rancangannya terdiri dari dua tingkat, tingkat atas diperuntukkan bagi tempat tinggal sedangkan tingkat bawah diperuntukkan bagi jalur lalu lintas dan service. Leonardo berharap dengan rancangan ini kondisi kehidupan masyarakat meningkat, sehingga penyebaran wabah penyakit yang berujung pada kematian besar-besaran dapat dicegah. Rancangan kota ideal Leonardo ini tak pernah terbangun. Maka inilah utopia Leonardo. Meski begitu pemikirannya mengenai sistem drainase dan pemipaan memberikan sumbangan bagi kastil Sforza dalam versi yang lebih kecil

Mengutip Rosenau mengenai pandangannya akan ideal city: ‘ a means to amend the imperfect condition of the city and reconstruct the reality of everyday urban life into the harmonious situation’

Rekonstruksi realita.
Saya melihat usaha pengejaran ideal, seperti yang dilakukan Leonardo sebagai suatu usaha yang sesungguhnya cerminan, merupakan refleksi dari kontekstual, kondisi yang ia alami, lihat, dan rasakan. Sebagaimana subjek memberi respon terhadap objek. Hampir tidak mungkin tercetus begitu saja angan-angan atau pemikiran terhadap suatu perbaikan tanpa ada pemicu sebelumnya. Jika begitu, bukankah seiring berjalannya waktu dan berubahnya zaman maka kondisipun akan turut berubah-ubah dan akan mengarah pada turut berubah-ubahnya pula harapan akan perwujudan keidealan itu sendiri.

Ideal dimana. Ideal kapan. Ideal terhadap siapa. Se-empiris apakah rumusan ideal hingga yang dituju dari waktu ke waktu hanyalah yang itu? Atau justru se-fluid apakah pergerakan ideal yang dituju dari waktu ke waktu?

Dan selama manusia masih ada, ideal adalah pengejaran yang tak ada habisnya.

Referensi
http://www.unacittapossibile.com/en/exhibition/history-of-the-ideal-city/
http://partner.galileo.org/tips/davinci/idealcity.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Ideal

March 30, 2009

Beauty and The Beast & Ideal City

Filed under: ideal cities — dewiandhika @ 16:03
Tags: , ,

Pada kuliah awal mengenai ‘ideal city’ dalam salah satu presentasi menyebutkan bahwa dalam sebuah ideal city tidak boleh ada sesuatu yang jelek,
…no ugliness, no poverty...
no old houses, no cemeteries, no prisons, no slaughter houses with ugly appereance…
Bahkan ada pula yang menyebutkan bahwa ugliness = evils of the city

Menurut Cousin (1994) ugly dikatakan sebagai suatu objek yang ada dan dianggap sebagai suatu objek yang tidak berada di tempat seharusnya.
The ugly object is an object which is experienced both as being there and as something that not should be there. That is the ugly object is an object in the wrong place (Cousins, 1994: 64).
Sehingga pada salah satu pandangan yang berkaitan dengan ideal city, ugly adalah sesuatu yang ditolak, harus tidak terlihat, dan bahkan harus dihilangkan “need to be destroyed”.

Namun apakah benar seperti itu?, apakah semua yang ugly itu harus lenyap dari muka bumi?. Seperti dalam cerita Beauty and The Beast, dimana The Beast―makhluk yang memiliki banyak bulu, berwajah mirip binatang hidup di lorong-lorong bawah tanah, sembunyi dari manusia lainnya karena keadaannya yang berbeda. Apakah kemudian The Beast ini tidak berhak untuk hidup?, apakah lalu ia berpengaruh buruk terhadap sekitarnya?. Bila kita mencoba membalik keadaan, bahwa semua yang dianggap Beauty memiliki keadaan fisik seperti The Beast, dan ada satu The Beauty yang jauh berbeda dari The Beast. Apakah kita masih menganggap The Beast merupakan sebuah objek ugly?, ataukah The Beauty yang berbeda dari kebanyakan The Beast itu yang dianggap ugly?, sehingga kemudian yang awalnya dianggap The Beast disebut sebagai The Beauty, dan The Beauty lah yang kemudian disebut The Beast?.

Maka bukankan ugly hanyalah sebuah masalah biasa atau tidak terbiasa dalam menghadapinya?. Seperti The Beast yang tetap membutuhkan makan, minum, tidur, dan kebutuhan hidup lainnya. Bahkan ia tidak berhati jahat, bahwa ia suka menolong dan menyelamatkan orang lain. Bahkan sebenarnya ada manusia yang memiliki penampilan pada umumnya, namun sebenarnya ialah yang memiliki hati dan tindakan yang seharusnya disebut The Beast. Bukankah yang sepatutnya dikatakan evil of the city adalah si manusia berhati buruk rupa?. Sehingga sebenarnya karakter hati yang buruk rupalah yang seharusnya dihilangkan, bukan The Beast yang dilihat secara fisik oleh mata yang harus dihilangkan dari muka bumi.
…And so it is, from the point of view of desire, that ugly object should not be there. Its character as an obstacle is what makes it ugly (Cousins, 1994: 64).

Daftar pustaka
Cousins, Mark (1994). The Ugly. AA Files 28

March 29, 2009

Formula for ‘ Ideal City ‘ ????? Hmmmm……

Filed under: ideal cities — arwn @ 19:39
Tags: , ,

Permasalahan urban dalam sebuah perkotaan sering kali atau pasti disangkut pautkan dengan peran arsitek di dalamnya. Arsitek sering kali dianggap sebagai seorang yang dapat menyelesaikan segala permasalahan yang menyangkut urban. Kenyataannya… memang arsitek dibekali oleh pengetahuan-pengetahuan untuk menghadapi permasalahan seperti itu tetapi belum tentu seorang arsitek dapat menyelesaikan segala permasalahan yang menyangkut ‘urban’ yang ada dalam satu kota.<

Dari hal diatas, arsitek seakan dipandang sebagai seorang yang mempunyai sebuah ‘pandangan’ yang paling baik, sehingga ‘utopia’ dari seorang arsitek kemudian menjadi begitu penting dan banyak orang yang hidup dalam utopia, yang tercetus oleh seorang atau beberapa orang yang disebut dengan ‘arsitek’. Yang menjadi permasalahannya sekarang adalah apakah benar pandangan dan utopia yang diciptakan oleh seorang arsitek kemudian dapat menyelesaikan masalah, apalagi masalah yang sudah menjadi sindrom dalam satu kota, yang sudah menyangkut masalah urban? Atau lebih umumnya bisa dipertanyakan apakah ide-ide tentang ideal city yang selama ini sudah dikeluarkan oleh arsitek terkenal, misalnya, kemudian dapat menyelesaikan permasalahan urban di semua tempat?

“The Ideal City will be new” ( Barnett )
Ambil satu contoh misalnya, Barnett berpendapat bahwa kota ideal adalah kota yang dibuat baru, yang tidak boleh ada bau, kuburan, pejagalan, penjara, segala yang berpenampilan jelek, dll. Semua itu diciptakan seakan untuk membuat sebuah kota menjadi sangat indah, sangat sempurna. Betapa senangnya jika kita hidup di dalam kota seperti itu, sebuah kota yang sempurna, seperti hidup dalam ‘city of angel’, bisa dikatakan seperti itu. Tetapi yang menjadi sebuah pertanyaan sekarang adalah apakah kemudian hal ini benar-benar dapat tercapai, dapat dilakukan? Atau jika hal itu benar-benar terjadi apakah kemudian ‘kota’ itu akan benar-benar menjadi ’kota’? Seperti yang dipertanyakan oleh Ram Koolhas dalam bukunya s,m,l,xl bahwa apakah kota yang benar-benar steril kemudian akan benar-benar manjadi kota? Bukankah kota itu justru malah akan membuat kota itu seakan mati. Seperti contoh kota yang dijadikan contoh oleh koolhas yaitu kota Rotterdam, Belanda.

Memang tidak semua kejadiannya akan seperti itu, jika kita menapak tilas lagi pada arsitektur zaman The Empire ( 1804 – 1815 ) dalam periode ‘Urban Development in France’, dimana Napoleon menginkan untuk membuat Paris menjadi Kota yang paling indah di dunia dengan salah satu caranya yaitu memerintahkan Bernard Poyet untuk mengubah fasad bangunan di sekitar ‘The Church of Madalaine’ agar style bangunan dan garis jalan sesuai dan harmonis dengan gereja Madalaine tsb. Masih banyak lagi yang dilakukan oleh Napoleon untuk membuat Paris menjadi kota yang benar-benar indah, menjadi sesuai dengan ‘utopia’nya dan memang jejak sejarah itu menjadikan Paris menjadi salah satu kota terindah hingga sekarang, yang membuat orang yang berkunjung ke sana, pertama-tama akan merasakan keindahannya tanpa memperhatikan hal-hal yang jelek, seperti yang dikatakan oleh Barnett: “a visitor of the ideal city would be changed by it’s first aspect, it’s variety of architecture, it’s beauty of colour, it’s fressness and purity.”( Barnett )

Tetapi kemudian, apakah hal tersebut masih cocok hingga sekarang?
“ The ideal city of the modern city is like the ideal of a well ordered home: a place for everything and everything in its place. “( Lofland)
“ A city made for speed is made for succes. Therefore, nothing could be come in the way of the traffic flow, and the separation was seen as the part way to achieved on struction freemovement in the city.” ( Le Corbusier )

Banyak juga ide yang kemudian dikeluarkan mengenai bagaimana kota yang ideal pada masa modern ( ideal modern city ), yang ujung-ujungnya akan berlabuh pada ‘penzoningan’ (mengkotak-kotakan) dari jenis-jenis aktivitas, kebutuhan, benda, bangunan, dll. Dan hal itu berlangsung hingga sekarang . Seperti contoh ide yang dikemukakan oleh Le Corbusier, di mana ia memisahkan jalan untuk mobil dan jalan untuk pejalan kaki sehingga terjadi sebuah order lewat pemisahan yang berujung pada zoning. Dan ide ini juga berlangsung hingga sekarang. Lalu apakah menjadikan kota itu ideal?

Indonesia, Jakarta terutama, tanpa terkecuali, terpengaruh dengan ide kota yang dikeluarkan ole Le corbusier, lalu apakah Jakarta kemudian menjadi kota yang ideal???? TENTU TIDAK……dari hal ini bisa saya ambil kesimpulan bahwa ide itu menjadi tidak kontekstual, dan bila dipaksakan pada sebuah konteks yang berbeda….ya hasilnya dapat dilihat sendiri……ta….aa..a…..rraa…aa….. kota Jakarta yang jauh dari ideal.

Lalu Bagaimana kota yang ideal itu sebenarnya???? Yang bisa cocok di masa modern ataupun masa datang… Bagaimana ‘Formula’ tentang Ideal City yang seharusnya….apakah ‘ia’ harus menjadi kontekstual atau tidak??? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi hal yang harus dijawab oleh seorang arsitek, mengingat arsitek mampunyai / memegang kontrol dan orang lain akan hidup dalam utopia yang diciptakan oleh pemegang kontrol itu. Seperti yang dikemukakan oleh Jacobs :“Many ideal plans of the cities as garden city and radiant city bassically attempt to create harmony and order in the physical enviroment under the total absolute and unchallanged control of the arcitect ( Jacobs )

Ideal City = Utopia

Filed under: ideal cities — def1 @ 19:33
Tags: ,

According to Barnett ‘the ideal city will be new’
‘no smells, filth, danger or noice, no old houses, no cemeteries, no prisons, no slaughter houses with ugly appearance. Instead there are good houses with broad and lighted streets’

According to Geddes ‘ poverty, dirt,disease, and ugliness as the evils of city life which need to be destroyed’

Dari pernyataan tersebut timbul pertanyaan bagi saya, apakah mungkin suatu kota benar-benar memiliki kondisi yang demikian? Jika demikian adanya apakah kota yang demikian dapat dikatakan suatu kota? Karena pada suatu kota itu adalah tempat everyday urban life, seperti yang dikatakan oleh Lofland ‘A city is many things’ segala sesuatunya berkumpul di situ dan akan menjadi sangat sulit untuk ‘membersihkan’ kota dari hal-hal yang ‘mengotorinya’ seperti misalnya keberadaan pedagang kaki lima mungkin kita menganggap hal tersebut adalah pemandangan yang tidak mengenakkan, tapi coba pikirkan lagi apa yang terjadi jika pedagang kaki lima tersebut tidak ada, ya mungkin terlihat lebih rapi, bersih tapi akan menjadi kurang hidup. Area yang tadinya ramai dengan pembeli dan pedagang, akan menjadi sepi dari keramaian.

Kalaupun kita ingin menciptakan suatu kota yang ideal, menurut saya tidak akan dapat kita menciptakan kota yang ideal yang sesuai dengan apa yang ada dipikiran kita. Ideal itu hanya ada dalam pikiran, tetapi ketika direalisasikan, ideal yang kita inginkan tidak akan menjadi sesuatu yang ideal atau tidak akan sepenuhnya ideal. Mengapa demikian? karena menurut saya, ketika kita menuangkan idealnya kita ke dalam suatu kota, ideal itu akan bercampur dengan ideal-ideal yang lain(setiap orang memiliki parameter idealnya masing-masing). Oleh karena itu juga dikatakan bahwa ideal city tidak memberi tempat untuk diversity. Yang kesimpulannya berarti pada sebuah ideal city terdapat uniformity, bukankah dengan adanya uniformity akan timbul sebuah kemonotonan? Lalu menurut saya kemonotonan tersebut nantinya akan menjadi sebuah kejenuhan bagi masyarakatnya yang pada intinya timbul suatu ketidaknyamanan dan bisa saja berujung pada akhirnya mereka akan membuat sesuatu yang baru dan keuniformityan yang ada akan berubah menjadi diversity. Maka ideal city itu akhirnya tidak lagi ada.

Dari apa yang telah disebutkan di atas saya ingin menekankan bahwasanya menurut saya kota ideal itu adalah hanya sebuah sebutan yang menjadi acuan untuk menciptakan kota yang kondisinya mendekati kondisi ideal tersebut namun tidak akan pernah terwujud sepenuhnya. Dan pada intinya gambaran kota-kota ideal yang pernah ada menurut saya hanyalah utopia ‘a form of nothingness’.

Next Page »