Di sini saya mencoba mengangkat beberapa hal yang membuat saya tertarik dari salah satu bahasan pada kuliah Geometri, Senin 16 Maret lalu. Dalam kuliah dikatakan, menurut Le Corbusier, sebuah kota akan mati atau menurun kualitasnya karena tidak dibangun secara geometris. Sehingga untuk memperbaiki kota tersebut, perlu dibersihkan terlebih dahulu, baru dibangun kembali menjadi kota yang terencana. Dibersihkan di sini diartikan dengan menghilangkan kondisi eksisting yang ada sehingga menjadi sebuah ‘site yang bersih’, barulah kemudian [arsitek yang kemudian bekerja] kembali. Hal ini diibaratkan ’menggambar di atas kanvas bersih’. ‘Pembersihan’ ini dimaksudkan untuk mempermudah kerja urban designer, termasuk arsitek di dalamnya, dalam membangun kembali kota tersebut.Hal ini tidak berbeda jauh dengan apa yang disebutkan dalam salah satu artikel yang terdapat pada Kompas edisi 7 Maret 2004. Atikel itu menyebutkan, Phillip Kotler dalam bukunya, Marketing Places: Attracting Investment, Industry, and Tourism to Cities, States and Nations, mengetengahkan konsep city growth dynamics dan city decay dynamics sebagai ilustrasi dari fluktuasi perkembangan kota yang disebabkan globalisasi. Diungkapakan dalam atikel ini, Kotler membahas perkembangan suatu kota, juga kondisi keterpurukan kota yang ia sebut sebagai kondisi city decay dynamics. Sebagia salah satu jalan keluar dari kondisi ’keterpurukan sebuah kota’ ini, Kotler mengacu pada restrukturisasi dengan beberapa contoh yang ia berikan. Pada saat sebuah kota berada dalam kondisi city decay dynamics, sudah saatnya bagi kota tersebut untuk melaksanakan restrukturasi.Salah satu langkah restrukturasi yang ampuh adalah dengan mengubah citra dan identitas kota yang pada umumnya melibatkan pembaruan seluruh aspek kota dan urban. Pada akhirnya citra baru tersebut dapat digunakan untuk memasarkan dan meningkatkan nilai sebuah kota. (Kompas, 7 Maret 2004)
Selanjutnya, di dalam artikel juga dikatakan bahwa kota Jakarta dapat dikatakan termasuk dalam kondisi decay dynamics ini. Dengan merujuk pada buku Philip Kotler, salah satu cara untuk mengatasi kondisi decay dynamics ini adalah dengan pembangunan ulang kota secara besar-besaran. Tidak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan Le Corbusier di atas, Kotler juga menyatakan restrukturisasi sebuah kota merupakan jalan terbaik untuk mengatasi kondisi decay dynamics ini. Artikel ini kemudian memberikan contoh pada kota Bilbao di Spanyol.Bilbao pada mulanya dikenal sebagai salah satu kota terbesar di Spanyol dan memiliki industri besi dan manufaktur kapal. Citra kota tersebut menurun setelah terjadinya serangan teroris dan teror penculikan antara kedua pihak yang bertentangan saat itu, yaitu Pemerintah Spanyol dan kaum Basque. Akhirnya Pemerintah Kota Bilbao memutuskan mengambil langkah drastis dengan melakukan revolusi besar-besaran.Didukung Uni Eropa, Pemerintah Spanyol dan Basque, pemerintah kota dan pihak swasta, berbagai macam kebijakan dalam bidang kebudayaan dan upaya pembaruan kota diluncurkan untuk mengubah citra Bilbao dari kota industri menjadi kota budaya dan jasa dengan bantuan arsitek internasional.Dalam sekejap Bilbao menjadi kota kontemporer dan menarik, dihiasi jembatan dan bandara oleh Santiago Calatrava, jaringan kereta api dan stasiun oleh Norman Foster, kawasan komersial oleh Cesar Pelli, dan klimaksnya adalah Museum Guggenheim oleh Frank O Gehry. Sebagai tambahan, pemerintah kota juga memperbaiki fasad kota, merenovasi fasilitas pelabuhan, pembangunan jalur transportasi, dan revitalisasi Sungai Nervion yang mengalir ke pusat kota.Kunci transformasi Bilbao tak lain tak bukan adalah Museum Guggenheim yang dibuka pada akhir tahun 1997. Museum tersebut terkenal dengan desain yang revolusioner dan ditutupi titanium dan mungkin menjadikannya sebagai salah satu bangunan paling populer pada abad ke-20 bersama-sama dengan Opera House di Sydney.Pada tahun pertama pembukaan museum ternyata menarik 1,37 juta pengunjung dan memberi imbas pada ekonomi lokal sebesar 147 juta dollar AS pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 170 juta dollar AS pada tahun berikutnya. Dalam jangka waktu tiga tahun, pemerintah kota berhasil mencapai break even point untuk investasi pembangunan museum. (Kompas, 7 Maret 2004)
Dilihat dari contoh yang diberikan di atas, kotler sebagai orang yang ahli dalam bidang marketing, menitik-beratkan perbaikan sebuah kota terutama dari segi ekonomi. Seorang calon arsitek sepertinya perlu mempertanyakan kembali apakah memang cara ini yang terbaik untuk memperbaiki keadaan sebuh kota, yang dapat kita katakan dalam keadaan yang chaos? Lalu bagaimana dengan nilai-nilai sejarah serta budaya yang berada di dalamnya? Bukankah warisan budaya justru lebih berharga dari sebuah egoisme untuk mengganti segala sesuatunya dengan yang baru? Bukankah dengan menghilangkan bangunan serta kondisi eksisting yang ada, justru akan muncul masalah baru yang mungkin tidak kalah besarnya: hilangnya identitas serta nilai sejarah kota? Lalu bagaimana dengan manusia yang ada di dalamnya?
Kita juga dapat belajar dari kota Bandung serta Yogyakarta, yang dapat memajukan kotanya dengan menjadikan budaya sebagai daya tarik tersendiri bagi kotanya. Unsur-unsur budaya yang ada di dalamnya tetap dapat berjalan beringan dengan pembangunan yang ada, seperti yang dapat kita lihat pada Jalan Braga di Bandung.
Referensi:
Sutanudjaja, Elisa. Arsitektur & Ekonomi, Kompas 7 Maret 2004. http://www.kompas.com