Konsep kota ideal telah lama menjadi perdebatan; apakah sebenarnya kota yang memenuhi konsep-konsep ideal eksis atau tidak, atau bahkan apakah sebuah kota ideal mungkin eksis atau tidak. Ini mungkin pertanyaan yang akan sulit terjawab mengingat kota ideal selalu berbasis pada adanya ide terhadap kesempurnaan dalam pikiran manusia, dan kita tahu bahwa a state of perfection bukan hal yang mudah dicapai karena ide yang berbasis pada pikiran ini akan selalu berubah terhadap perkembangan zaman.
Konsep kota ideal, seperti hal lainnya dalam arsitektur, selalu terkait dengan pandangan terhadap beauty dan penolakan terhadap ugliness, di mana untuk menentukan dan menilai mana yang beautiful dan mana yang ugly ada suatu order yang diberlakukan. Kita tahu bahwa kota adalah suatu wadah bertinggal yang di dalamnya hidup berbagai golongan dan lapisan sosial. Itu sebabnya Lofland mendefinisikan kota sebagai a place for everything, karena kota sebagai ruang hidup manusia mengakomodasi ruang bertinggal bagi berbagai golongan sosial dalam jumlah jamak. Berbagai golongan masyarakat ini tentu mempunyai kepentingan dan pandangan yang berbeda-beda. Lalu dari sudut pandang mana/bagaimanakah beauty dan ugliness tadi harus dilihat? Dan untuk mencapai penilaian terhadap beauty yang memenuhi konsep ideal, bagaimanakah order yang harus diterapkan?
Ketika Thomas More muncul dengan konsep kota utopianya yang dianggap sebagai suatu konsep kota yang ideal, beauty pada kota tersebut didefinisikan sebagai “the fine appearance and the orderliness of the streets, houses, and gardens”. Dari sini kemudian muncul tatanan kota dengan garis-garis jalan yang teratur serta tatanan rumah-rumah yang seragam dan teratur sebagai tatanan kota yang dianggap ideal.
Kelanjutan dari ini, perkembangan konsep kota ideal sampai pada sebuah pengaturan terhadap ruang-ruang kota dengan garis-garis vertikal dan horizontal yang teratur yang diproyeksikan pada suatu tampak atas (masterplan) sebuah kota, di mana garis-garis yang membentuk grid tersebut diterjemahkan ke dalam area-area sirkulasi (jalan-jalan) yang kemudian membagi area-area pemukiman dan ruang-ruang dalam kota lainnya dalam superblok-superblok. Ini kemudian menjadi suatu geometri yang dianggap memenuhi kualitas ideal bagi sebuah kota: geometri yang ‘memberikan gambaran’ keteraturan dan order yang baik. Ini seperti yang dikatakan Windsor-Liscombe: “Geometry has been used to develop the layout of ideal cities. Most often the use of geometry results in a regular pattern of streets and space in the city.” Pola regular inilah yang hingga sekarang dikenal sebagai pengaturan berdasarkan grid-grid terhadap layout sebuah kota, yang banyak diterapkan pada kota besar seperti misalnya pada New York, dalam impian untuk mencapai sebuah kota yang [dianggap] ideal. Namun penggunaan grid ini lalu menjadi ideal bagi siapa? Karena kemudian penggunaan grid ini akan memperlihatkan keteraturan jika dilihat dari atas, cara yang sama sekali tidak akan pernah kita – sebagai penduduk kota – lakukan dalam mengalami kota.
Penggunaan grid ini juga merupakan salah satu gagasan modernisme yang digambarkan Le Corbusier dalam gagasan kota ‘masa depan’ sebagai suatu bentuk kota ideal, seperti dalam pernyataan berikut: “Streets are often on a rigid grid design, or if not a grid, at least a pattern that looks very well-thought-out when observed in a scale model.” Kembali, bahkan dalam definisi Le Corbusier kita masih dapat melihat bahwa suatu kota dianggap ideal jika ia terlihat teratur ketika dilihat dari atas (“when observe in a scale model”). Ia juga memproposikan bahwa untuk mencapai suatu kota yang akan berhasil baik dan memenuhi standard ideal, maka harus ada pemisahan yang jelas dan rigid antarberbagai aktivitas dalam kota. Ini melahirkan suatu sistem penzonaan dalam kota yang membagi kota ke dalam blok-blok zona aktivitas. Kota ideal dianggap akan tercapai apabila setiap aktivitas berbeda dalam kota berjalan di dalam blok zona yang telah ditentukan, dan tidak tercampur aduk dengan aktivitas-aktivitas lainnya. Ketika suatu aktivitas yang ‘seharusnya’ terjadi dalam zona tertentu, ditemukan berlaku di zona lain yang bukan merupakan zona kegiatannya, maka ini dianggap sebagai suatu kondisi yang disorder dan tidak ideal. Namun apakah sistem zona untuk mencapai kota ideal ini benar-benar akan ideal bagi manusia yang tinggal di dalam kota sebagai citizen?
“The big cities are natural generators of diversity.” (Jacobs)
Menurut Jane Jacobs, kota adalah suatu wadah bertinggal yang akan selalu mengandung pluralitas, dan memang itulah kenyataan yang selalu kita temukan dalam sebuah kota. Pluralitas ini termasuk keberagaman keinginan dan kebutuhan manusia yang tinggal di dalamnya yang diakibatkan oleh keberagaman latar belakang sosial, ekonomi dan budaya. Keinginan dan kebutuhan yang berbeda ini tentunya akan menyebabkan aktivitas yang dilakukan untuk pemenuhannya tidak akan pernah sama. Oleh karena itu, gagasan pemisahan kota berdasarkan zona-zona rigid terhadap aktivitas tentu bukan menjadi gagasan yang baik jika kita melihat kota sebagai suatu wadah hidup yang ‘seharusnya’ dapat memenuhi [berbagai] kebutuhan begitu banyak manusia yang tinggal di dalamnya. Jacobs juga mengkritisi gagasan penzonaan sebagai sesuatu yang akan menyebakan kemonotonan dalam ruang kota, dan menyebabkan adanya disintegrasi terhadap lingkungan karena apa yang ada dalam suatu zona hanya akan berkonsentrasi terhadap zona itu sendiri dan kemungkinan akan terputus hubungannya dengan zona-zona lain di sekitarnya. Lalu bagaimana dengan fungsi kota yang salah satunya juga adalah mewadahi kegiatan interaksi manusia di dalamnya? Jika kota ideal dianggap akan tercapai dengan separasi rigid yang tidak permeabel, maka kota tidak akan memberikan ruang bagi interaksi antarmanusia.
Lalu apakah gagasan penzonaan kemudian menjadi tidak relevan terhadap kemungkinan tercapainya suatu kota yang ideal?
Lofland, dalam mendefinisikan konsep kota ideal, menggunakan analogi sebuah rumah untuk memulainya: ”The ideal of the modern city is like the ideal of a well-ordered home. A place for everything and everything in its place”
Mungkin penggagasan Lofland lebih lanjut mengenai kota ideal akan berujung kurang lebih sama dengan pandangan Le Corbusier tentang kota masa depan: adanya separasi dan penzonaan untuk aktivitas-aktivitas yang berbeda dalam kehidupan kota untuk mencapai suatu kondisi yang teratur. Namun bagi saya, acuan awal Lofland mengenai kota ideal yang dipandang dari analogi sebuah rumah adalah poin yang menarik untuk dieksplorasi.
Rumah adalah suatu wadah bertinggal bagi keluarga. Sebuah keluarga dalam gambaran umum biasanya akan terdiri dari orang tua dan anak-anaknya, mungkin pada beberapa keluarga tertentu akan ada pihak-pihak lain yang tinggal di dalam rumah seperti saudara, kakek-nenek, atau pembantu. Apapun itu, intinya sama: rumah adalah wadah bertinggal beberapa orang yang berbeda usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan tentu kebutuhan dan keinginannya (dalam skala yang lebih besar, hal yang kurang lebih sama seperti pada kota).
Dalam sebuah rumah, kita bisa membayangkan bahwa tentu akan ada pembagian ruang: mana yang menjadi kamar orangtua, kamar anak, kamar pembantu, dan sebagainya. Pembagian ruang ini tentu akan memberikan label teritori bagi si pemilik ruangan, dan pembagian ini dapat kita baca sebagai penzonaan bagi masing-masing penghuni. Penzonaan ini sekaligus menentukan bahwa dalam zona yang telah diatur setiap penghuninya bebas melaksanakan apa pun aktivitasnya. Namun apa yang terjadi dalam sebuah rumah adalah penzonaan yang permeabel, di mana anggota keluarga yang lain mempunyai kemungkinan untuk masuk ke dalam teritori penghuni yang lain dan bahkan melakukan kegiatan di dalamnya – tentu saja dengan seizin pemilik ruangan. Seperti misalnya anak tentu saja tidak akan dilarang untuk tidur atau melakukan kegiatan yang memungkinkan lainnya di kamar orangtuanya. Demikian pula sebaliknya. Ini jika dilihat berdasarkan teritori/kepemilikan ruangan. Lalu bagaimana dengan konsep ”everything in its place” pada pernyataan Lofland? Ini kemudian terkait dengan apa yang juga ia sebutkan sebagai ‘well-ordered’ dan karenanya berarti hal ini terkait dengan order yang berlaku dalam rumah.
Dalam keseharian penggunaan ruang dalam rumah, kita mengenal apa yang disebut sebagai domestisitas. Domestisitas merupakan praktek keseharian dalam penggunaan/pemaknaan ruang di mana order dalam sebuah rumah bergantung pada siapa yang menjadi penghuninya. Cara kita melihat apa yang seharusnya terjadi dalam rumah kita dan apa yang seharusnya terletak di mana tentu berbeda dengan pandangan orang lain mengenai apa yang ‘seharusnya’ dalam rumahnya. Ini membedakan pemahaman order pada setiap rumah yang berbeda. Dan pelaksanaan serta penerimaan suatu order dalam rumah tentu bergantung pada apa yang menjadi latar belakang dan kebiasaan para penghuninya tersebut. Terlaksananya order ini kemudian mengantarkan para penghuninya kepada suatu perasaan nyaman dan sesuai, yang berarti rumah seperti itulah yang paling sempurna buat mereka (walaupun mungkin tidak bagi keluarga lainnya). Perbedaan siapa yang menghuni serta kebiasaannya inilah yang kemudian menjadi aspek kontekstualitas dalam upaya mencapai ideal tadi. Ketika prinsip ini direfleksikan pada konsep kota ideal, maka ini menunjukkan bahwa kontekstualitas amat penting untuk dapat mencapai kondisi ideal sebuah kota, paling tidak bagi penduduk kotanya. Dan konsep ideal pada suatu kota tertentu tentu saja tidak langsung dapat diterapkan pada kota lainnya, karena belum tentu konsep itu akan sesuai dengan penghuni kota serta kebiasaannya. Itu sebabnya jika sistem grid sebagai suatu geometri yang dianggap ideal bagi satu kota tidak dapat serta merta dipaksakan sebagai order yang dianggap ideal secara mutlak dan langsung diberlakukan secara umum di semua kota.
Selain itu, dalam rumah tidak hanya penzonaan teritorial saja yang terjadi, namun rumah juga tetap menyediakan ruang untuk semua anggota keluarga berinteraksi dan berkumpul bersama, seperti ruang duduk dan ruang makan. Bahkan kemungkinan ruang teritori yang satu dapat ditembus oleh penghuni yang lainnya memberikan kemungkinan dan ruang lain bagi terjadinya interaksi. Dari sini dapat kita lihat bahwa walaupun penzonaan telah dilakukan, namun rumah masih menyediakan banyak ruang dan kemungkinan untuk terjadinya interaksi antaranggota keluarga. Dan penzonaan yang dilakukan tidak bersifat kaku dan rigid, namun permeabel, sehingga para penghuninya tidak hidup dalam kotak-kotak zona aktivitas dan teritori yang mematikan kehidupan rumah. Bukankah rumah yang ideal adalah rumah yang dapat mempersatukan seluruh anggota keluarga, terlepas dari berbagai macam kesibukan dan kegiatan para penghuninya yang berbeda-beda? Mengacu pada hal ini, maka kota untuk mencapai suatu kondisi ideal seharusnya menerapkan prinsip yang sama. Penzonaan tentu saja masih dapat menjadi cara untuk membentuk keteraturan kota, namun seharusnya zona yang terbentuk bersifat permeabel dan tidak mengikat serta membatasi ruang gerak dan aktivitas penduduk kota hanya pada area-area pengkotakan tersebut. Namun tentu saja ini tetap dilakukan berdasarkan kebutuhan dan kebiasaan penduduk kota (seperti halnya yang terjadi dalam sebuah rumah sesuai dengan kebutuhan para penghuninya). Dengan ini, mungkin saja kota ideal yang kontekstual akan terwujud, dan ideal bukan lagi hanya sebuah konsep untuk sebuah kota impian, tetapi sebuah realita.
Henny R. Panjaitan
(Essay berdasarkan hasil diskusi bersama Gemala Dewi dan Dinastia Gilang).