there’s something about geometry + architecture

April 17, 2010

‘Home’-Based Formula for The Geometry of An Ideal City

Filed under: ideal cities — HeR @ 08:56
Tags: , , ,

Konsep kota ideal telah lama menjadi perdebatan; apakah sebenarnya kota yang memenuhi konsep-konsep ideal eksis atau tidak, atau bahkan apakah sebuah kota ideal mungkin eksis atau tidak. Ini mungkin pertanyaan yang akan sulit terjawab mengingat kota ideal selalu berbasis pada adanya ide terhadap kesempurnaan dalam pikiran manusia, dan kita tahu bahwa a state of perfection bukan hal yang mudah dicapai karena ide yang berbasis pada pikiran ini akan selalu berubah terhadap perkembangan zaman.

Konsep kota ideal, seperti hal lainnya dalam arsitektur, selalu terkait dengan pandangan terhadap beauty dan penolakan terhadap ugliness, di mana untuk menentukan dan menilai mana yang beautiful dan mana yang ugly ada suatu order yang diberlakukan. Kita tahu bahwa kota adalah suatu wadah bertinggal yang di dalamnya hidup berbagai golongan dan lapisan sosial. Itu sebabnya Lofland mendefinisikan kota sebagai a place for everything, karena kota sebagai ruang hidup manusia mengakomodasi ruang bertinggal bagi berbagai golongan sosial dalam jumlah jamak. Berbagai golongan masyarakat ini tentu mempunyai kepentingan dan pandangan yang berbeda-beda. Lalu dari sudut pandang mana/bagaimanakah beauty dan ugliness tadi harus dilihat? Dan untuk mencapai penilaian terhadap beauty yang memenuhi konsep ideal, bagaimanakah order yang harus diterapkan?

Ketika Thomas More muncul dengan konsep kota utopianya yang dianggap sebagai suatu konsep kota yang ideal, beauty pada kota tersebut didefinisikan sebagai  “the fine appearance and the orderliness of the streets, houses, and gardens”. Dari sini kemudian muncul tatanan kota dengan garis-garis jalan yang teratur serta tatanan rumah-rumah yang seragam dan teratur sebagai tatanan kota yang dianggap ideal.

Kelanjutan dari ini, perkembangan konsep kota ideal sampai pada sebuah pengaturan terhadap ruang-ruang kota dengan garis-garis vertikal dan horizontal yang teratur yang diproyeksikan pada suatu tampak atas (masterplan) sebuah kota, di mana garis-garis yang membentuk grid tersebut diterjemahkan ke dalam area-area sirkulasi (jalan-jalan) yang kemudian membagi area-area pemukiman dan ruang-ruang dalam kota lainnya dalam superblok-superblok. Ini kemudian menjadi suatu geometri yang dianggap memenuhi kualitas ideal bagi sebuah kota: geometri yang ‘memberikan gambaran’ keteraturan dan order yang baik. Ini seperti yang dikatakan Windsor-Liscombe: “Geometry has been used to develop the layout of ideal cities. Most often the use of geometry results in a regular pattern of streets and space in the city.” Pola regular inilah yang hingga sekarang dikenal sebagai pengaturan berdasarkan grid-grid terhadap layout sebuah kota, yang banyak diterapkan pada kota besar seperti misalnya pada New York, dalam impian untuk mencapai sebuah kota yang [dianggap] ideal. Namun penggunaan grid ini lalu menjadi ideal bagi siapa? Karena kemudian penggunaan grid ini akan memperlihatkan keteraturan jika dilihat dari atas, cara yang sama sekali tidak akan pernah kita – sebagai penduduk kota – lakukan dalam mengalami kota.

Penggunaan grid ini juga merupakan salah satu gagasan modernisme yang digambarkan Le Corbusier dalam gagasan kota ‘masa depan’ sebagai suatu bentuk kota ideal, seperti dalam pernyataan berikut: “Streets are often on a rigid grid design, or if not a grid, at least a pattern that looks very well-thought-out when observed in a scale model.” Kembali, bahkan dalam definisi Le Corbusier kita masih dapat melihat bahwa suatu kota dianggap ideal jika ia terlihat teratur ketika dilihat dari atas (“when observe in a scale model”). Ia juga memproposikan bahwa untuk mencapai suatu kota yang akan berhasil baik dan memenuhi standard ideal, maka harus ada pemisahan yang jelas dan rigid antarberbagai aktivitas dalam kota. Ini melahirkan suatu sistem penzonaan dalam kota yang membagi kota ke dalam blok-blok zona aktivitas. Kota ideal dianggap akan tercapai apabila setiap aktivitas berbeda dalam kota berjalan di dalam blok zona yang telah ditentukan, dan tidak tercampur aduk dengan aktivitas-aktivitas lainnya. Ketika suatu aktivitas yang ‘seharusnya’ terjadi dalam zona tertentu, ditemukan berlaku di zona lain yang bukan merupakan zona kegiatannya, maka ini dianggap sebagai suatu kondisi yang disorder dan tidak ideal. Namun apakah sistem zona untuk mencapai kota ideal ini benar-benar akan ideal bagi manusia yang tinggal di dalam kota sebagai citizen?

The big cities are natural generators of diversity.” (Jacobs)

Menurut Jane Jacobs, kota adalah suatu wadah bertinggal yang akan selalu mengandung pluralitas, dan memang itulah kenyataan yang selalu kita temukan dalam sebuah kota. Pluralitas ini termasuk keberagaman keinginan dan kebutuhan manusia yang tinggal di dalamnya yang diakibatkan oleh keberagaman latar belakang sosial, ekonomi dan budaya. Keinginan dan kebutuhan yang berbeda ini tentunya akan menyebabkan aktivitas yang dilakukan untuk pemenuhannya tidak akan pernah sama. Oleh karena itu, gagasan pemisahan kota berdasarkan zona-zona rigid terhadap aktivitas tentu bukan menjadi gagasan yang baik jika kita melihat kota sebagai suatu wadah hidup yang ‘seharusnya’ dapat memenuhi [berbagai] kebutuhan begitu banyak manusia yang tinggal di dalamnya. Jacobs juga mengkritisi gagasan penzonaan sebagai sesuatu yang akan menyebakan kemonotonan dalam ruang kota, dan menyebabkan adanya disintegrasi terhadap lingkungan karena apa yang ada dalam suatu zona hanya akan berkonsentrasi terhadap zona itu sendiri dan kemungkinan akan terputus hubungannya dengan zona-zona lain di sekitarnya. Lalu bagaimana dengan fungsi kota yang salah satunya juga adalah mewadahi kegiatan interaksi manusia di dalamnya? Jika kota ideal dianggap akan tercapai dengan separasi rigid yang tidak permeabel, maka kota tidak akan memberikan ruang bagi interaksi antarmanusia.

Lalu apakah gagasan penzonaan kemudian menjadi tidak relevan terhadap kemungkinan tercapainya suatu kota yang ideal?

Lofland, dalam mendefinisikan konsep kota ideal, menggunakan analogi sebuah rumah untuk memulainya: ”The ideal of the modern city is like the ideal of a well-ordered home. A place for everything and everything in its place”

Mungkin penggagasan Lofland lebih lanjut mengenai kota ideal akan berujung kurang lebih sama dengan pandangan Le Corbusier tentang kota masa depan: adanya separasi dan penzonaan untuk aktivitas-aktivitas yang berbeda dalam kehidupan kota untuk mencapai suatu kondisi yang teratur. Namun bagi saya, acuan awal Lofland mengenai kota ideal yang dipandang dari analogi sebuah rumah adalah poin yang menarik untuk dieksplorasi.

Rumah adalah suatu wadah bertinggal bagi keluarga. Sebuah keluarga dalam gambaran umum biasanya akan terdiri dari orang tua dan anak-anaknya, mungkin pada beberapa keluarga tertentu akan ada pihak-pihak lain yang tinggal di dalam rumah seperti saudara, kakek-nenek, atau pembantu. Apapun itu, intinya sama: rumah adalah wadah bertinggal beberapa orang yang berbeda usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan tentu kebutuhan dan keinginannya (dalam skala yang lebih besar, hal yang kurang lebih sama seperti pada kota).

Dalam sebuah rumah, kita bisa membayangkan bahwa tentu akan ada pembagian ruang: mana yang menjadi kamar orangtua, kamar anak, kamar pembantu, dan sebagainya. Pembagian ruang ini tentu akan memberikan label teritori bagi si pemilik ruangan, dan pembagian ini dapat kita baca sebagai penzonaan bagi masing-masing penghuni. Penzonaan ini sekaligus menentukan bahwa dalam zona yang telah diatur setiap penghuninya bebas melaksanakan apa pun aktivitasnya. Namun apa yang terjadi dalam sebuah rumah adalah penzonaan yang permeabel, di mana anggota keluarga yang lain mempunyai kemungkinan untuk masuk ke dalam teritori penghuni yang lain dan bahkan melakukan kegiatan di dalamnya – tentu saja dengan seizin pemilik ruangan. Seperti misalnya anak tentu saja tidak akan dilarang untuk tidur atau melakukan kegiatan yang memungkinkan lainnya di kamar orangtuanya. Demikian pula sebaliknya. Ini jika dilihat berdasarkan teritori/kepemilikan ruangan. Lalu bagaimana dengan konsep ”everything in its place” pada pernyataan Lofland? Ini kemudian terkait dengan apa yang juga ia sebutkan sebagai ‘well-ordered’ dan karenanya berarti hal ini terkait dengan order yang berlaku dalam rumah.

Dalam keseharian penggunaan ruang dalam rumah, kita mengenal apa yang disebut sebagai domestisitas. Domestisitas merupakan praktek keseharian dalam penggunaan/pemaknaan ruang di mana order dalam sebuah rumah bergantung pada siapa yang menjadi penghuninya. Cara kita melihat apa yang seharusnya terjadi dalam rumah kita dan apa yang seharusnya terletak di mana tentu berbeda dengan pandangan orang lain mengenai apa yang ‘seharusnya’ dalam rumahnya. Ini membedakan pemahaman order pada setiap rumah yang berbeda. Dan pelaksanaan serta penerimaan suatu order dalam rumah tentu bergantung pada apa yang menjadi latar belakang dan kebiasaan para penghuninya tersebut. Terlaksananya order ini kemudian mengantarkan para penghuninya kepada suatu perasaan nyaman dan sesuai, yang berarti rumah seperti itulah yang paling sempurna buat mereka (walaupun mungkin tidak bagi keluarga lainnya). Perbedaan siapa yang menghuni serta kebiasaannya inilah yang kemudian menjadi aspek kontekstualitas dalam upaya mencapai ideal tadi. Ketika prinsip ini direfleksikan pada konsep kota ideal, maka ini menunjukkan bahwa kontekstualitas amat penting untuk dapat mencapai kondisi ideal sebuah kota, paling tidak bagi penduduk kotanya. Dan konsep ideal pada suatu kota tertentu tentu saja tidak langsung dapat diterapkan pada kota lainnya, karena belum tentu konsep itu akan sesuai dengan penghuni kota serta kebiasaannya. Itu sebabnya jika sistem grid sebagai suatu geometri yang dianggap ideal bagi satu kota tidak dapat serta merta dipaksakan sebagai order yang dianggap ideal secara mutlak dan langsung diberlakukan secara umum di semua kota.

Selain itu, dalam rumah tidak hanya penzonaan teritorial saja yang terjadi, namun rumah juga tetap menyediakan ruang untuk semua anggota keluarga berinteraksi dan berkumpul bersama, seperti ruang duduk dan ruang makan. Bahkan kemungkinan ruang teritori yang satu dapat ditembus oleh penghuni yang lainnya memberikan kemungkinan dan ruang lain bagi terjadinya interaksi. Dari sini dapat kita lihat bahwa walaupun penzonaan telah dilakukan, namun rumah masih menyediakan banyak ruang dan kemungkinan untuk terjadinya interaksi antaranggota keluarga. Dan penzonaan yang dilakukan tidak bersifat kaku dan rigid, namun permeabel, sehingga para penghuninya tidak hidup dalam kotak-kotak zona aktivitas dan teritori yang mematikan kehidupan rumah. Bukankah rumah yang ideal adalah rumah yang dapat mempersatukan seluruh anggota keluarga, terlepas dari berbagai macam kesibukan dan kegiatan para penghuninya yang berbeda-beda? Mengacu pada hal ini, maka kota untuk mencapai suatu kondisi ideal seharusnya menerapkan prinsip yang sama. Penzonaan tentu saja masih dapat menjadi cara untuk membentuk keteraturan kota, namun seharusnya zona yang terbentuk bersifat permeabel dan tidak mengikat serta membatasi ruang gerak dan aktivitas penduduk kota hanya pada area-area pengkotakan tersebut.  Namun tentu saja ini tetap dilakukan berdasarkan kebutuhan dan kebiasaan penduduk kota (seperti halnya yang terjadi dalam sebuah rumah sesuai dengan kebutuhan para penghuninya). Dengan ini, mungkin saja kota ideal yang kontekstual akan terwujud, dan ideal bukan lagi hanya sebuah konsep untuk sebuah kota impian, tetapi sebuah realita.

Henny R. Panjaitan
(Essay berdasarkan hasil diskusi bersama Gemala Dewi dan Dinastia Gilang).

April 6, 2010

Good Framing Good Cinema?

Filed under: architecture and other arts,contemporary theories — datunpaksi @ 00:02
Tags: , ,

Menikmati film apapun bentuknya sepertinya dahulu tidak begitu memperhatikan apa yang biasa disebut dengan framing dalam bahasa sinematografi. Framing adalah aspek yang bisa jadi tidak cukup akrab untuk dicermati. Karena kita memperhatikan aspek lain yang bisa jadi, bisa kita kaji secara lebih mudah dalam sebuah film, tema, pewarnaan dan setting, isu yang dominan, cukup baguskah casting para pemainnya, fotografinya sampai pada skenario cerita. Ketika kita cukup mengenal terdapat pula unsur geometri dalam proses kelahiran sebuah frame dalam film, kita jadi sejenak merenungkan dan membayangkan film-film yang pernah kita nikmati.

Ketika kita berbicara tentang frame pada sebuah gambar , kita berhadapan pada sebuah pola yaitu pola dua dimensi, untuk identifikasi pola tersebut dan berbagai elemen didalamnya yang di atur diatas permukaan dua dimensi tersebut, dimana di dalam pola tersebut kita mengenali dan menata bentuk grafis, warna dan berbagi bentuk lain yang berhubungan dengan frame, untuk menciptakan sebuah komposisi. Struktur ini tidak terbentuk begitu saja dengan sendirinya , tetapi disusun berdasarkan tujuan tertentu yang akan dicapai , dalam hal ini sebuah frame komposisi sebisa mungkin merupakan media penyampaian sebuah ide, pesan dan makna tersirat ataupun tersurat.

Sutradara film Kala, Joko Anwar juga menyajikan konsep pembabakan dalam scene dalam penyajian sebuah film, didalamnya terdapat unsur pergerakan dan komposisi secara lengkap. Bagaimana pada saat figure manusia berhadapan dengan figure lain  yang berlawanan dan tetap harus menjadi point of interest dari semua keseluruhan adegan. Apakah adegan tersebut menjadi sebuah horizontal-composition, macam ilustrasi komposisi yang ditampilkan dalam lukisan Wheatfield atau Stormy Wheater karya Ruisdael.  Sebaliknya berbicara tentang vertical-composition seperti yang diilustrasikan dalam lukisan Friedrich. Komposisi lingkaran circular-composition biasanya digunakan untuk menggambarkan kebajikan , keabadian ataupun sesuatu yang dinamis, penggunaan komposisi circular/lengkung sebagai komposisi utama akan menghasilkan kesan yang harmoni. Seniman Renaissance seperti pelukis Raphael The Betrothal of the Virgin  ( Sposalizio) dan Arsitek Brunelleschi biasa menggunakan sesuatu yang berbentuk circular untuk menggabungkan sesuatu yang statis dengan garis lengkung yang harmonis , dalam dunia iklan , lingkaran selalu digunakan untuk menggambarkan dan memberi kesan pada produk awet dan tahan lama. Diagonal-composition secara khas menekankan suatu drama pergerakan atau kedalaman yang berarti bahwa diagonal bekerja pada 2 dan 3 dimensi.seperti untuk mengilustrasikan perbedaan penggunaan efek yang  dramatis.

Dari sedikit ilustrasi tentang metode pengolahan frame tadi, dalam takaran yang sangat ideal setiap frame dalam film selalu melalui proses penyusunan story-board yang terukur letak komposisi dan arahan adegan apa yang akan menjadi titik penting dalam satu scene. Story-board yang baik akan merangkum semua detail penting yang akan ditampilkan tanpa terkecuali. Dimana sang tokoh akan berdiri, gesture tubuhnya, pola interaksi dan dialog yang harus terjadi.

Membayangkan kita menikmati adegan dalam Trainspotting arahan sutradara Danny Boyle. Sebuah film satir tentang sekumpulan pemuda Scottish yang berada dalam lapisan masyarakat paling rendah karena pengaruh obat bius dan pergaulan bebas. Dalam salah satu scenenya, terdapat adegan yang meleburkan kondisi realitas dan unrealitas para pelakunya dikarenakan pengaruh obat bius yang sedemikian hebat. Dalam beberapa menit penonton dibawa dalam kondisi nyata, tapi dalam beberapa menit kemudian semuanya hancur berantakan karena semuanya ternyata hanya ilusi. Penonton tentu sudah tidak akan berpikir akan seperti apakah komposisi yang baik itu akan berlangsung, karena ritme dan klimaks berlangsung demikian cepat. Sangat jauh berbeda pada saat kita menikmati Bulan Tertusuk Ilalang karya Garin Nugroho semisal. Tempo yang sangat lambat dan masif sepertinya memberikan kita cukup waktu untuk menemukan komposisi apa yang akan dihadirkan. Meskipun pada akhirnya, proses kesadaran akan pola framing ini kadangkala berjalan sendiri-sendiri dan mungkin kita tidak perlu framing yang sempurna untuk menilai sebuah film bagus atau tidak. Framing yang sempurna adalah nilai tambah yang sempurna sejatinya, tapi unsur lain akan tetap berada dalam porsinya untuk dijadikan sebagai parameter penilaian juga.

Ninadwihandajani.

 

Referensi.

Materi Kuliah Sinematografi oleh Arif Pribadi

Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta
2007

Layout, content, graphics v. Lise Mark ©2005

Public-Lecture Joko Anwar, The Cinematic story Telling, November 2009

http://www.imdb.com/title/tt0117951 : Trainspotting 1996

 

False Memories dalam Penciptaan Geometri

Filed under: perception — nurulislami @ 00:01
Tags: ,

Dalam bahasan Persepsi dan Arsitektur kita mengetahui dua teori yang mempengaruhi perwujudan geometri. Gestalt, merupakan kecenderungan manusia yang menyederhanakan sesuatu (secara visual) berdasarkan pemahaman yang dibawa oleh manusia tersebut. Dalam prosesnya manusia bersinggungan dengan ingatan akan kejadian dan objek yang dilaluinya kemudian di persepsikan kembali dalam bentuk dengan mengorganisasikan komponen-komponen sensasi yang memiliki hubungan, pola atau kemiripan. Dalam perkembangan persepsi visual Gibson menjelaskan bahwa manusia mempelajari apa yang ada di lingkungan, lebih dari hanya sekedar masukan visual atau sensori. Lebih jauh lagi Gibson menjelaskan informasi yang kita dapat (berupa objek atau kejadian) kemudian dipahami bergantung pada bagaimana dan siapa yang melihat informasi tersebut.

Dalam prosesnya, persepsi yang tertangkap pertama kali (oleh indera) akan menjadi sebuah memori dalam pikiran. Dan dalam jangka waktu tertentu ingatan kita akan objek atau kejadian ini dapat mengalami distorsi dari informasi atau pengalaman yang sesungguhnya yang menyebabkan terjadinya False Memory. False Memory ini secara sadar atau tidak dapat mempengaruhi hasil persepsi kita terhadap informasi yang didapat. False memory terjadi disebabkan oleh intervensi terhadap informasi yang kita dapat yang kita visualkan kembali sehingga menciptakan gambaran mental dalam pikiran. False memory yang terjadi secara langsung dapat berpengaruh pada proses persepsi kita. Hasilnya yaitu perubahan/distorsi pengungkapan memori dari informasi yang sebenarnya. Dikembangkan oleh psikolog Elizabeth F. Loftus seorang profesor psikologi dan dosen hukum di University of Washington. Intervensi disini menurut Elizabeth F. Lotus terjadi akibat kita yang melupakan sumber informasi dan dominasi “saran” yang bersumber dari orang lain (faktor eksternal).

Proses persepsi visual yang di bawa oleh Gestalt dan Gibson memiliki kecenderungan rentan akan adanya intervensi. Kekuatan sumber informasi kita dalam melahirkan persepsi menjadi penekanan dalam penciptaan geometri (dalam hal ini bentuk atau form). Faktor eksternal dalam hal ini dapat berupa force yang dengan sangat kuat mempengaruhi memori kita. Hasilnya yaitu kekeliruan memori yang dibenarkan kemudian menghasilkan pembenaran dari bentuk yang seharusnya tidak seperti itu. Sebagai seorang arsitek yang menghadirkan representasi yang bergantung oleh pengetahuan dan pengalaman besar kemungkinan kita akan menghadapi intervensi (force) dari luar. Pemahaman atas sebuah informasi (objek atau kejadian) yang sebenarnya menjadi semakin samar dengan adanya intervensi faktor eksternal. Konteks lingkungan, manusia, kegiatan/event, pengalaman, penngetahuan proporsi, komposisi, dll, merupakan informasi yang dikumpulkan untuk diolah menjadi sebuah representasi (geometri atau arsitektur). Pemahaman dan monitoring dalam proses representasi (design) seharusnya dapat membedakan antara sumber internal dan eksternal, sehingga pada akhirnya desain dapat hadir secara proporsional terhadap informasi konteksnya.

Referensi

Gibson, J. J. (1986). An ecological approach to visual perception. Hillsdale, N.J.: Lawrence Erlbaum.

http://faculty.washington.edu/eloftus/Articles/sciam.htm

The making of false memories

http://findarticles.com/p/articles/mi_g2699/is_0001/ai_2699000153

Golden Section = Sidik Jari Tuhan

Filed under: classical aesthetics — tyahernindyasti @ 00:00
Tags:

Kata Golden Section pertama kali saya temui pada saat saya memasuki tahun kedua berkuliah di Departemen Arsitektur Universitas Indonesia yaitu pada mata kuliah Pengantar Arsitektur. Pada saat itu saya dan teman-teman mendapat tugas menganalisis proporsi bagian tubuh dan tumbuhan. Dua tahun berlalu, saya temui lagi istilah ini pada mata kuliah Geometri dan Arsitektur. Cukup linglung rasanya ketika istilah ini muncul dalam mata kuliah ini. Apalagi ketika kami, para peserta mata kuliah ini dimohon untuk mengingat kembali apa yang telah dipelajari mengenai Golden Section. Suasana kelas hening. Tak ada yang dapat menjelaskan. Usut punya usut, rupanya memang kami tidak tahu benar apa itu Golden Section.

Saya cukup tercengang bahwa ternyata Golden Section itu muncul dalam berbagai objek seperti arsitektur, objek alam, musik, lukisan. Entah kebetulan atau apa. Awalnya saya merasa ini semua rada maksa. Pikiran saya sempat melayang ke film yang diperankan Jim Carrey yang berjudul The Number 23. Dalam film tersebut, tokoh yang dimainkan Jim Carrey selalu terobsesi dengan angka 23. Semua hal dihubungkan dengan angka 23. Itulah kesan awal saya mendapatkan fakta tentang Golden Section. Masa iya sih semua objek di alam ini mengandung Golden Section? Masih terlalu aneh saja bagi saya kalau semua objek di alam ini dijelaskan dengan angka yang (bagi saya) irrasional.

Perumusan Golden Section berdasarkan deret Fibonacci yang pernah kita pelajari ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

Deret Fibonacci
1, 1, 2, 3, 5, 8, 13, 21, 34, 55, 89,….

Dalam deret Fibonacci, penjumlahan dua bilangan berurutan akan menghasilkan bilangan berikutnya.
1 + 2 = 3
2 + 3 = 5
3 + 5 = 8, begitu seterusnya

Perbandingan antara bilangan setelah dengan bilangan sebelum itulah yang menghasilkan phi (Φ) atau Golden Section.
1/1 = 1
2/1 = 2
3/2 = 1.5
5/3 = 1.666…
8/5 = 1.6
13/8 = 1.625
21/13 = 1.61538…
34/21 = 1.61905…
55/34 = 1.61764…
89/55 = 1.61861…

Bila diteruskan akan menghasilkan bilangan yang menarik yaitu

Φ = 1.618 033 988 7…

Inilah Golden Section!

Dalam mata kuliah ini, kami sempat menyaksikan video mengenai fakta-fakta terdapatnya Golden Section. Ternyata banyak sekali hal yang selalu kembali lagi ke Golden Section. Saya pun melakukan browsing mengenai ini dan kemudian saya menemukan sebuah video menarik dari http://www.youtube.com/watch?v=PjrK96wasDk.

Dalam video tersebut dijelaskan semua benda di alam ini mengandung phi (Φ). Wajah, kerangka, telapak tangan bahkan hingga sidik jari kita pun mengandung phi (Φ). Golden Section bukanlah suatu kebetulan rupanya. Golden Section ada di setiap bagian hidup kita. Phi (Φ) merupakan sidik jari Tuhan. Bilangan yang irrasional memang. Sulit dijelaskan bukan bahwa ini hanyalah suatu kebetulan? Terlalu banyak fakta yang mengungkapkan hal itu. Piramid di Mesir, Lukisan Monalisa, Kuil Parthenon di Yunani dan masih banyak lainnya. Semua itu tidak mungkin jika bukan karena kuasa Tuhan. Mengutip judul dari video yang saya dapatkan Phi – The Fingerprint of God – 1,618 … Golden Ratio, Fibonacci Numbers, saya sangat setuju bahwa phi (Φ) adalah sidik jari Tuhan. Tuhan meninggalkan angka 1,618 pada setiap bagian hidup kita. Golden Section adalah sidik jari Tuhan.

sumber:

http://www.intmath.com/Numbers/mathOfBeauty.php

http://www.youtube.com/watch?v=PjrK96wasDk

Kontekstualitas Dalam Berkarya

Filed under: classical aesthetics — agungsetyawan89 @ 00:00
Tags: , ,

Perbedaan aturan dalam dunia barat dan timur dapat terlihat pada cara pandang terhadap sang seniman terhadap objek dan penerapan terhadap suatu karya. Penggambaran alam melalui sebuah karya dilakukan dengan cara yang berbeda.

Pada masa klasik, terdapat segenap aturan dalam berkarya. Ditinjau dari asal bahasanya maka kata klasik akan berkaitan pada golongan atau status ekonomi pada masyarakat, dalam hal ini golongan paling atas atau yang golongan yang mampu-lah yang menciptakan tata atau aturan dalam seni.

Pada masyarakat Jawa didapat pula hal yang kurang lebih serupa dengan terbentuknya seni klasik. Pada masyarakat jawa terdapat banyak motif batik, dari motif-motif tersebut dapat menggambarkan siapa pemiliknya dari golongan mana dia berasal. Misalnya motif parang yang hanya dapat dipakai pada kalangan keraton, bahkan motif tersebut tidak boleh keluar dari lingkungan keraton. Hal ini menandakan karya tersebut memiliki sifat eksklusif, dimana tidak sembarang orang dapat menggunakannya.

Pengalaman saya ketika mengikuti kelas batik membuat saya sadar bahwa dalam batik tidak ditemukan garis-garis yang lurus. Bila ditinjau dari proses berkarya hal ini disebabkan oleh proses pembuatan motif gambarnya yang tidak menggunakan alat bantu untuk membuat garis lurus seperti penggaris. Pada proses memblok motif dengan malam(lilin) atau proses men-canthing, pembatik menggunakan tangannya langsung tanpa bantuan penggaris untuk mengikuti pola yang telah ia buat sebelumnya (biasanya menggunakan pensil).

Sebelumnya dosen pembimbing saya menerangkan perihal nilai yang terkandung pada garis tidak lurus pada motif batik memiliki makna bahwa di alam tidak ada garis yang lurus. Cabang pohon, ranting, garis pantai, maupun bentuk-bentuk yang ada di alam tidak ada yang lurus.

Sedangkan yang terjadi di dunia barat, dalam membuat sebuah karya aturan-aturan yang harus digunakan adalah komposisi renaissance dan golden section dengan menggunakan garis-garis tertentu. Semua bentuk alam digambarkan ulang berdasarkan garis-garis yang membuat suatu komposisi.

Terlihat bahwa, meski memiliki maksud yang sama yakni penggambaran benda alam pada suatu media, sang pembuat karya memiliki penerapan yang berbeda berkaitan pada cara pandang terhadap alam itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan budaya mereka masing-masing, sedangkan budaya tiap bangsa berkaitan dengan lingkungan alam sekitar tempat mereka hidup. Pemaknaan manusia terhadap alam juga dipengaruhi oleh cara pandang mereka, salah satunya adalah alasan kepercayaan yang mereka anut.

Dikaitkan pada persoalan geometri, kata geo juga memiliki makna yang berhubungan dengan tempat atau konteks yang mempengaruhi wujud suatu benda. Pada suatu karya, konteks tidak hanya mengenai tempat atau lingkungan dimana benda tersebut berada, pola pikir yang mempengaruhi sang seniman, waktu, teknologi dan mungkin masih banyak lagi yang mempengaruhi bentuk suatu benda itu hadir.

April 5, 2010

Metafora Sebagai Pendekatan dalam Mencapai Geometri

Filed under: contemporary theories — HeR @ 23:58
Tags: , ,

“Architecture, in other words, is a form of communication, and this communication is conditioned to take place without common rules because it takes place with the other.” (Karatani, 1995, p.127)

Metafora berasal dari bahasa Yunani metapherein, berasal dari kata ‘meta’ yang berarti memindahkan atau menurunkan, dan ‘pherein’ yang berarti mengandung atau memuat. Jadi secara etimologi, metafora dapat diartikan sebagai pemindahan makna yang dikandungnya kepada obyek atau konsep lain sehingga makna tersebut terkandung pada obyek yang dikenakan baik melalui perbandingan langsung maupun analogi. Penggunaan metafora ini pada umumnya terdapat dalam suatu tata bahasa, di mana kemudian suatu kalimat tertentu jika dimaknai secara denotatif maka akan terlihat mengandung makna yang tidak sesuai tetapi jika dipahami secara konotatif akan menyampaikan makna lain yang sesuai dengan konteks yang sedang dibicarakan. Namun tentu saja, tanpa konteks terkait, kalimat yang sama tetap dapat dipahami sebagai sesuatu yang bermakna denotatif. Namun dengan demikian, ia tidak memegang peranan sebagai sebuah metafora.

Seperti yang dinyatakan Karatani, arsitektur dapat dipahami sebagai suatu bentuk komunikasi yang selalu terkait dengan hal-hal lain di luar dirinya. Sebagai suatu bentuk komunikasi, arsitektur sering dikaitkan dengan suatu sistem bahasa. Dengan pemahaman bahwa arsitektur sering sekali dipahami sebagai suatu sistem  bahasa yang menyampaikan makna tertentu, maka metafora juga menjadi suatu hal yang sering dipakai sebagai pendekatan mendisain arsitektur, terutama dalam proses menemukan bentuk geometrinya.

Pendekatan metafora dalam mendisain biasanya dilakukan dengan analogi. Dalam mencari bentuk arsitektur ketika merancang, tidak jarang kita akan menggunakan analogi dari sebuah benda untuk diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk arsitektur. Dengan melakukan ini, kita seolah memindahkan karakter pada benda yang sebelumnya ke dalam arsitektur, sehingga bentuk arsitektur yang muncul adalah penggambaran dari karakteristik tersebut. Metode ini dilakukan dengan mengambil suatu makna tertentu yang akan ‘dibawa’ oleh suatu bentuk arsitektur. Seringkali kemudian, bentuk arsitektural yang muncul melambangkan makna yang dikenakan padanya tersebut.

Dalam studio perancangan dulu, seringkali ada yang mengambil suatu obyek tertentu untuk dijadikan dasar dalam pencarian dan pengolahan bentuk arsitektural. Obyek tersebut direfleksikan karakternya ke dalam bentuk arsitektur yang akan dihasilkan nantinya. Misalnya bunga dengan karakternya yang sedang mekar (blossoming) dan lalu hal itu diterjemahkan ke dalam sebuah bentuk geometri dengan menampilkan geometri yang seolah-olah menggambarkan setangkai bunga yang mekar, atau karakter perempuan yang anggun diterjemahkan ke dalam bentuk yang meliuk-liuk yang dianggap elegan dan menggambarkan karakter feminin. Metafora seperti inilah yang kemudian sering disebut ekspresi dalam arsitektur. Bentuk-bentuk arsitektur tertentu mengekspresikan suatu makna yang sengaja dilekatkan padanya melalui analogi dengan obyek lain.

Seringkali, dalam menghasilkan bentuk arsitektur, metafora ini digunakan secara literal. Ini menyebabkan arsitektur yang dihasilkan tidak lagi sebuah ‘ekspresi’, tetapi benar-benar penggambaran dari obyek yang dianalogikan dengannya. Ini dapat dilihat dari beberapa bangunan yang memiliki bentuk-bentuk iconic sebagai berikut:

a .)     Home Office of The Longaberger Company, Amerika Serikat

b.)     Gedung Piano, An Hui, China

c.)     Kansas City Library, Amerika Serikat

Obyek yang dijadikan sebagai awal penggalian ide bentuk benar-benar dihadirkan secara literal dalam bentuk bangunannya. Lalu apakah ini, sebenarnya, bernilai metafora?

Jika melihat dalam konteks bahasa, suatu kalimat yang bermakna metaforikal biasanya akan membuka kemungkinan terhadap interpretasi dan pengekpresian lainnya di samping jika ia dicoba untuk dipahami secara denotatif (literal). Misalnya jika sebuah kalimat menyatakan ‘kakek tua itu banyak makan garam’, tentu saja ia dapat bermakna baik secara literal maupun metaforikal. Secara literal, ia dipahami sebagaimana kalimat itu hadir, seorang kakek tua benar-benar mengkonsumsi garam dalam jumlah banyak, namun secara metaforikal, ia akan dipahami sebagai suatu ekspresi yang menyatakan bahwa kakek tua yang dimaksud memiliki banyak pengalaman hidup (‘banyak makan garam’).

Jika ini direfleksikan dalam arsitektur, maka jika kita melihat contoh-contoh bangunan di atas, kita akan langsung dapat memahaminya sebagai ekspresi yang literal. Misalnya pada bangunan ketiga, bangunan tersebut adalah sebuah gedung perpustakaan di Connecticut, dan lalu untuk menyatakan bahwa fungsi tersebutlah yang ditampungnya dalam gedung itu, kita akan langsung dapat membacanya dari tampak bangunan tersebut. Tidak ada lagi ruang tersisa untuk interpretasi dan pemaknaan lainnya dari bentuk yang ia tampilkan.

Arsitek seperti Frank Gehry juga kerap menggunakan metafora dalam proses pencapaian bentuk geometrinya. Salah satu contohnya adalah Guggenheim di Bilbao. Bentuk bangunan ini sering diinterpretasikan  sebagai seekor ikan, walaupun ia tidak secara eksplisit tergambar seperti itu. Namun konteks kota Bilbao yang berada di antara dua sungai dan tapak Guggenheim sendiri yang berada di tepi air menjadi salah satu faktor yang mengundang orang-orang untuk berinterpretasi mengenai gambaran ‘ikan’ tersebut.

Guggenheim Museum, Bilbao

Sejauh ini, metafora kemudian hanya sebatas digunakan untuk menemukan bentuk luar (shape). Apakah hanya sedemikian jauh metafora dapat digunakan dalam mendisain, untuk mencari bentuk fisik?

Mungkin kita harus melihat bagaimana arsitek Jepang Tadao Ando memanfaatkan metafora dalam menggagas tidak hanya shape tetapi form secara keseluruhan. Ia menggunakan analogi metaforikal untuk mengolah suasana dan kualitas ruang dalam bangunannya. Analogi yang digunakan berasal dari upacara minum teh Jepang yang disebut ‘sukiya’, di mana orang yang mengikuti upacara tersebut akan duduk dalam keheningan yang memungkinkan untuk mengantarkannya pada sebuah kontemplasi. Di sini kualitas silent dan contemplative adalah dua hal yang paling utama yang digarisbawahi Ando. Oleh karena itu, Ando merefleksikan kualitas ini ke dalam ruang-ruang yang dirancangnya. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karya arsitektural Ando yang banyak mengesankan keheningan (silence), sehingga arsitektur Ando sering disebut sebagai architecture of silence. Kesan hening tersebut diwujudkan Ando dalam form arsitektural dengan menggunakan material beton ekspos yang berkesan diam, dan memanfaatkan pencahayaan natural yang memperkuat kesan hening tersebut dengan hanya memasukkan beberapa berkas cahaya saja ke ruang dalamnya. Ini dapat dilihat pada karya Ando seperti Church of the Light.

Church of Light.JPG Church of the Light, Osaka.

Dari sini kita dapat melihat analogi metaforikal kemudian tdak hanya dapat digunakan untuk membentuk shape, tetapi lebih jauh ke dalam, untuk menghasilkan kualitas ruang dan form yang membentuknya.

Selain Ando, arsitek yang banyak menggunakan metode metafora ini adalah arsitek Spanyol Santiago Calatrava. Calatrava sering menggunakan metafora tubuh makhluk hidup sebagai basis perancangannya. Ini kemudian ia terapkan dalam sistem struktur yang sering menjadi karakter rancangan arsitektural Calatrava.

Dari sini kita dapat melihat bagaimana metafora juga dapat digunakan untuk mempelajari suatu sistem yang kemudian diterapkan dalam disain arsitektur. Analogi yang dilakukan Calatrava berdasar pada  sistem tubuh makhluk hidup dapat ia manfaatkan untuk menghasilkan tidak hanya sebatas shape tetapi sistem yang membentuknya, dalam hal ini yang Calatrava wujudkan dalam sistem struktur.

Karya arsitektural Calatrava:

a.)     Milwaukee Art Museum

b.)   Chords Bridge

Dari contoh-contoh di atas, kita dapat melihat bagaimana metafora dapat digunakan dalam menemukan dan menghasilkan geometri sebuah arsitektur. Penggunaan metafora sering direduksi hingga hanya berupa analogi langsung yang kadang lebih bersifat literal dan bahkan simbolisasi langsung dari obyek yang digunakan sebagai pemicu gagasan, yang kemudian menghasilkan bentuk-bentuk yang langsung terlihat sebagai obyek yang dimetaforakan. Padahal, pendekatan metafora ini seharusnya dapat digunakan untuk menghasilkan arsitektur yang lebih kaya dari pada hanya di permukaan seperti itu. Metafora, sebagai sebuah pendekatan mendisain, akan lebih baik jika dipahami sebagai sebuah penggalian yang dalam terhadap sebuah konsep yang akan digunakan sebagai basis dalam merancang, sehingga arsitektur yang dihasilkan nantinya tidak sebatas di permukaan, tetapi lebih dalam, metafora tersebut juga membentuk ruang-ruangnya.

Daftar Pustaka :

Karatani, Kojin. (1995). Architecture as Metaphor. Cambridge: MIT Press

Francesco Dal Co, Ed. (1995). Tadao Ando: Complete Works. London: Phaidon Press

http://en.wikipedia.org/wiki/Church_of_the_Light

http://en.wikipedia.org/wiki/Santiago_Calatrava

http://en.wikipedia.org/wiki/Guggenheim_Museum_Bilbao

http://en.wikipedia.org/wiki/Bilbao

http://secret-architecture.blogspot.com/2008/12/arsitektur-terunik-di-dunia.html

Proporsi pada Daun

Filed under: nature and architecture — reniafriani07 @ 10:41
Tags:

Ternyata alam memang sangat bisa dijadikan sebagai suatu objek untuk membandingkan dengan objek lain, menjadi indikator perbandingan proporsi yang baik, karena alam itu sendiri memiliki proporsi yang baik pada dirinya sendiri, seperti adanya suatu pohon yang memiliki perbandingan batang dengan daunnya 1:2, dan pada gambar diatas terdapat sebuah daun yang memiliki perbandingan ruas tulang daun yaitu 1:2:3.

Ukuran a = 3 cm, panjang daun = 6a (6×3=18), lebar daun = 3a (3×3=9), jadi daun ini mempunayi bentuk dasar adalah persegi panjang, dan yang jauh lebih menarik lagi adalah daun memiliki jarak antara ruas tulang satu dengan lainnya adalah kelipatannya (yang bergaris putus-putus, 0,3 cm; 0,6 cm; 1,2 cm).

Geometry + Architecture = Spatiology ?

Filed under: classical aesthetics — andisuryakurnia @ 10:33
Tags: ,

Geometri setahuku berhubungan dengan matematika, sudah benarkah pengetahuanku?
Arsitektur setahuku berhubungan dengan ruang, sudah benarkah pengetahuanku?
Lalu apa hubungan antara geometri dengan arsitektur?

Melalui beberapa pertanyaan awal ini saya mencoba menemukan jawabannya..

Penelusuran cepat memberikan saya gambaran awal;

Geometry dalam bahasa Yunani γεωμετρία; terdiri dari kata geo– yang berarti bumi (dalam bahasa Inggris “earth“), dan –metria yang berarti ukuran (dalam bahasa Inggris “measurement“), sehingga diperoleh pengertian sebagai berikut:

EarthMeasuring is a part of mathematics concerned with questions of size, shape, relative position of figures, and the properties of space.”

http://en.wikipedia.org/wiki/Geometry

Architecture dalam bahasa Latin architectura, dan dari bahasa Yunani ἀρχιτέκτων – arkhitekton; terdiri dari kata ἀρχι- yang berarti kepala (dalam bahasa Inggris “chief“), dan τέκτων yang berarti tukang (dalam bahasa Inggris “builder, carpenter“), sehingga pengertiannya menjadi sebagai berikut:

Architecture is the art and science of designing buildings and other physical structures.”

http://en.wikipedia.org/wiki/Architecture

Dengan demikian pengetahuan awalku mungkin ada benarnya, namun disadari ternyata pengertian awal tersebut ada yang kurang lengkap seperti saat memahami geometri terdapat hal yang terkait dengan ruang dan saat memahami arsitektur terdapat hal yang terkait dengan struktur.

Lebih jauh untuk mencari jawaban atas pertanyaan lanjutan yang menghubungkan antara geometri dan arsitektur saya memperoleh pelajaran berharga dari buah pikir seorang arsitek kelahiran Florence, Italia yang kemudian menetap di Amerika Vittorio Giorgini (1926-19 Februari 2010). Giorgini dikenal sebagai arsitek yang menaruh perhatian besar pada hubungan arsitektur dan sistem biologi. Karya yang mengangkat namanya yaitu Saldarini House (1962) di Baratti, Italia yang memiliki tampilan seperti siput. Struktur membran yang diterapkan pada rumah tersebut kemudian hari menjadikannya turut ambil bagian pada pelaksanaan pembangunan Guggenheim Museum di Bilbao, Italia dimana Giorgini bekerjasama dengan Frank Gehry.

Dari tampilan karya yang dihasilkannya saya berasumsi bahwa proses berarsitektur Giorgini sangat erat berhubungan dengan insting, tetapi ternyata asumsi saya tersebut mulai terbantahkan setelah membaca bukunya “Spatiology, The Morphology of The Natural Science in Architecture and Design” (1995). Dalam bukunya, Giorgini memperkenalkan istilah baru spatiology yaitu sebuah studi tentang geometri sebagai aturan dasar untuk semua ilmu statistik dan struktur.

Giorgini melakukan proses berkarya dengan mengkaitkan secara erat tiga bagian pokok yaitu geometri, statistika, dan sistem. Setiap bagian dari proses yang dilaluinya dengan mudah dipahami perkembangan pemikirannya dari tingkat yang sederhana sampai pada tingkat yang sangat rumit. Berikut ketiga bagian tersebut:

Geometry is the basic order which models are developed so that analysis, quantification and verification are made possible.”

Geometri klasik yang dimulai dari sebuah titik (point) mempunyai tekanan (forces) sehingga menjadikannya memiliki peran (magnitude). Geometri selalu diletakkan pada bidang cartesius dengan 3 sumbu (X, Y, Z) sehingga selalu ada pada ‘ruang’ (space).

In statics Giorgini speaks of the behaviour of forces, the response of forces to outsides destabilizing conditions and also of forces acting on curved line and plane.”

Tekanan (forces) yang ada diperlakukan berdasarkan perpindahan dan perputaran.

On the subject of systems Giorgini explains the space frame with its structural members performing in patterns which are interrelated and interacting.”

Sebagai sebuah sistem, hubungan timbal-balik atau sebab-akibat antar bagian menjadi sangat penting untuk dapat menjadikannya ‘utuh’ baik secara simetri maupun asimetri.

Dalam bukunya, Giogini lebih jauh memaparkan perkembangan metoda perancangan yang dilakukannya pada masing-masing bagian (geometry, statics, systems) – yang tersaji pada tulisan ini hanya proses awal – yang kemudian mempengaruhi proses berarsitektur beliau sampai pada penciptaan karya yang erat berhubungan dengan sistem biologis mahluk hidup dan penggunaan teknologi tingkat tinggi pada masanya. Jika pada awal tulisan ini sudah diungkapkan karya Giorgini yang bersifat biologis, maka berikut ini saya mengangkat salah satu karyanya yang sangat erat berhubungan dengan teknologi canggih yaitu MonoBeam System.

Mono-Beam System (1993) ialah sebuah diagram jaringan transportasi massal yang mewadahi aktivitas pergerakan ‘lambat’ dengan berjalan kaki dan aktivitas pergerakan ‘cepat’ dengan menggunakan kereta kecepatan tinggi. Struktur utama berupa baja dengan profil ‘Y’ yang dipadukan dengan beton cetak. Karya inovatif ini dihasilkan Giorgini saat berkolaborasi dengan Eric Nelson, Chris Pfaeffel, Ji Won Kim. Hal ini menunjukkan bahwa Giorgini tidak segan-segan bekerjasama dengan pihak lain khususnya dari sisi teknis (engineering) untuk mewujudkan idenya yang sarat dengan proses analisa dan sintesa.

Dengan berbekal geometri inilah, Giorgini dianggap ‘kebal’ terhadap berbagai terpaan trend dalam sejarah perkembangan arsitektur (formism, utopianism, stylism, postmodernism) karena proses yang dilaluinya selalu memiliki dasar pijakan yang dapat dimengerti secara umum sehingga mampu menjelaskan ‘makna’ dari setiap tampilan yang hadir. Hal ini sesuai dengan jawaban Giorgini saat ditanyakan oleh rekan sejawatnya, John M. Johansen mengenai usaha kerasnya melakukan riset, analisis, verifikasi, dan proses desain yaitu karena kepedulian beliau yang sangat dalam terhadap pengungkapan makna (the meaning) dari sebuah tampilan (the image).

Dari pembalajaran ini saya tertantang untuk mengupas hubungan geometri dengan arsitektur secara lebih mendalam, bagaimana dengan Anda?

Referensi:

Giorgini, Vittorio, Spatiology, The Morphology of the Natural Sciences in Architecture and Design, Italy: I’Arca Edizioni, 1995

http://en.wikipedia.org/wiki/Geometry

http://en.wikipedia.org/wiki/Architecture

http://it.wikipedia.org/wiki/Vittorio_Giorgini

http://www.archpaper.com/e-board_rev.asp?News_ID=4350

http://rogallery.com/Giorgini_Vittorio/giorgini-biography.html

The Sixth Sense

Filed under: perception — arumthequeen @ 10:29
Tags: , ,

First of all, before you go further reading this, I remind you this is just unconstructed thought of mine. Excuse my English, and excuse the scattered non ordering thought that I will lay it in front of your eyes after this opening.

I chose ‘The Sixth Sense’ title consciously. That might trigger a question, why sixth sense? And how can it related to geometry? Something pops up in my mind when we have discussion about music and architecture, and how, through some kind of research and measurement, in music, we can also find the perfection of Fibonacci numbers.

The Fibonacci numbers are Nature’s numbering system. They appear everywhere in Nature, from the leaf arrangement in plants, to the pattern of the florets of a flower, the bracts of a pinecone, or the scales of a pineapple. The Fibonacci numbers are therefore applicable to the growth of every living thing, including a single cell, a grain of wheat, a hive of bees, and even all of mankind.

Stan Grist

http://www.stangrist.com/fibonacci.htm

Through vision and hearing senses that man have, scientifically proven we can find a nature’s numbering system. Isn’t that odd? A composition we usually see, now we find it in sounds. But after a few moment of thinking (when I said a few moment, actually it take days) I see that possible, and that possibility might go further in so many aspect of our life.

Vision and hearing senses, I understand it as a tool, our personal nature tool to recognizese distance, to predict some measures. Well, that so easy to explain, through our vision we can easily tell a distance between one object to other object. How about the hearing? In a rainy thunder, you can know how further the thunder from where you stand, by counting the time different between the lightning and the sound of thunder strikes the earth.

By Vitruvius description, we know how sounds can be related to measure the distance. For example, how the catapult can work accurately by listen to the right tune of the string. But so far we just talk about two senses, what happen with the other three?.

I believe all of our senses works together as a system. All of our senses works mysteriously, mostly for our own pleasures. We can find the nature mapping of visions and sounds by studying it with numbers, I don’t know if anyone ever study this yet, but maybe we can also find that in taste, touch and smell senses too.

For someone with different ability, if they have disfunction on one of their senses, they trained the other senses to replaced it and give them a balance for doing their everyday life. As sounds work based on the waves principles, we can calculate distance by touch, and counting the period between one move to another. By that, we can learn to measure as well.

And, if the quote that I put above about nature’s numbering systems is right, I think we can find ‘nature perfections’ everywhere. Then, according to, once again, my unconstructed thought, all part of our body is familiar, sensitive, and responsive to certain way to measure, measure our world and measure how we interact within it. That’s why I think man should have more than five senses, and coincidently I found out that some, thinks man have one, two, or five more senses.

Some said our sixth sense is proprioception, the unconscious perception of movement and spatial orientation arising from stimuli within the body itself and some other said our sixth sense is kinesthetics, the ability to understand and interact with dimensional shapes such that we are able to navigate successfully through a room and as a sense of timing and coordination, fine-motor control and the manner in which both the whole body and its parts move, its deportment or dynamics.

So, when I start talking about sixth sense, from the very beginning I know it has nothing to do with supernatural things, but more to a question, when we learn about geometry and make our body responsive to it, perhaps we develop something in our own body, in our own brain. And I think it’s an interesting view to see the relation between man and geometry, between man and the world surrounding.

April 1, 2010

Geometry: Between Religion and Facing the Nature?

Filed under: classical aesthetics — datunpaksi @ 20:00
Tags: ,

Geometri sebagai salah satu turunan langsung dari matematika sudah membuktikan dirinya sedemikian rupa mempengaruhi hampir dari seluruh aspek dalam kehidupan kita. Dalam konteks bahasan arsitektur, tidak terbantahkan lagi. Bentukan-bentukan yang kita hasilkan adalah berawal dari studi tentang garis, titik, garis, bidang, sudut, bentuk dua dimensi dan tiga dimensi dasar yang hampir selalu digunakan dalam arsitektur. Dalam perkembangannya, dapat kita sebut satu persatu keterkaitan hal lain diluar arsitektur yang bersentuhan kuat dengan geometri, seni rupa, lukis, patung, seni musik, film dan sinematografi sampai penerapannya dalam bentuk mental-geometric dalam dunia advertising dan mode. Merunut dokumentasi tertua dalam geometri ditemukan di Mesopotamia, Mesir dan Lembah Indus sekitar 3000 tahun sebelum Masehi berisikan tentang konsep panjang, sudut, luasan dan volume yang pada saat itu dikembangkan untuk keperluan praktis dalam konstruksi, survei dan astronomi. Lalu barulah pada tahun 300 sebelum Masehi buku teks terpenting dalam geometri ditulis oleh Euclid yang memuat definisi dasar elemen-elemen dalam geometri.

Pada awalnya, tulisan ini hanya akan mencoba merangkai pertanyaan tentang jejak geometri yang dibakukan di Yunani, diklaimnya Golden Section sebagai suatu ketentuan baku kesempurnaan sebuah komposisi. Adakah bisa dirunut lebih jauh lagi dari itu. Bahwa ternyata seperti kita ketahui, konsep geometri, angka dan bentuk-bentuk yang kita pahami sekarang dibaca dan mengalami dialog sedemikian rupa dengan manusia sebagai penterjemah utamanya. Kesadaran manusia dengan proporsi tubuh yang dimilikinya, mungkin adalah sebuah pijakan awal berpikir tentang proporsi pada bidang-bidang yang lain. Telaah geometri yang berkaitan dengan religi dan kepercayaan dipercaya juga telah hadir jauh sebelum geometri terpetakan secara keilmuan. Dalam Islam misalnya, konsep geometri hadir pada awal abad 9 SM, dengan keterlibatan Al-Khawarizmi, yang memberikan cukup banyak kontribusi dalam dunia aljabar, algoritma dan geometri di dunia. Tradisi Yunani pun tidak bisa lepas dari perkembangan tradisi filsafat Timur. Secara historis pasti akan terjadi saling keterkaitan di dunia ini, bagaimana sebuah kawasan dan kelompok cendekiawan akan bersama-sama mengadaptasi sebuah penemuan dan pemikiran.

Dalam arsitektur cukup banyak terdapat bentuk-bentuk geometri yang erat berhubungan dengan upaya memaknai hubungan yang terjalin antara manusia dan Tuhannya. Ajaran Tauhid atau Maha Tunggal dalam Islam menghilangkan penggambaran Tuhan dengan menggunakan simbol maupun ikon. Pasalnya, Allah SWT itu sangat Agung, sehingga keAgungan-Nya tak mungkin bisa digambarkan oleh manusia secerdas dan sehebat apapun. Pola arabes yang tak terbatas juga menggambarkan kehadiran Tuhan yang ada di mana-mana tak terbatas oleh ruang dan waktu. Arabes dianggap sebagai karya seni terindah di dunia Islam. Selain karena tidak menggambarkan kefanaan seperti binatang dan manusia, karya tersebut juga sesuai ajaran Islam yang melarang penggambaran mahkluk bernyawa. Terlebih lagi arabes merupakan sebuah penggambaran dari sifat Ilahiyah, yang tanpa batas baik oleh ruang maupun waktu. Sehingga arabes pantas menghiasi masjid-masjid yang merupakan representasi rumah Allah SWT. Termasuk fenomena Piramida yang diklaim memiliki banyak hal-hal yang belum terpecahkan, bahwa mereka adalah model bumi, bahwa mereka merupakan bagian dari bagan bintang besar, bahwa poros mereka selaras dengan bintang tertentu, bahwa mereka adalah bagian dari nominal sistem navigasi untuk membantu musafir di padang pasir menemukan jalan mereka, dan seterusnya. Mungkin dalam perkembangan secara sudut pandang yang luas melihat geometri, semua hal di luar manusia, apakah itu agama dan kepercayaan kita kepada Tuhan, ciptaan Tuhan berupa alam semesta dan bahkan diri kita sendiri akan menjadi titik-titik penting yang dijadikan tolak ukur berpikir. Akan seperti itukah? Perkembangan geometri bergerak maju, mungkin bisa mundur untuk mengambil poin penting di masa lalu sebagai pijakan sejarah, tetapi pada intinya geometri bisa tampil dengan wajah apapun.

Ninadwihandajani.

Referensi.

http://www.parapemikir.com/indo/filsafat-islam-dalam-bingkai-sejarah.html http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_works_designed_with_the_golden_ratio http://www.dartmouth.edu/~matc/math5.geometry/unit2/unit2.html

Musik & Arsitektur = Ide

Filed under: architecture and other arts — caesarch @ 19:58
Tags: ,

Musik adalah bunyi yang dikeluarkan oleh satu atau beberapa alat musik yang dihasilkan oleh individu yang berbeda-beda berdasarkan sejarah, budaya, lokasi dan selera seseorang. Musik merupakan sebuah bentuk seni dengan menggunakan medium suara. Biasanya unsur musik terdiri dari pitch (yang mengatur melodi dan harmoni), rhythm (berkaitan dengan konsep tempo, meter, dan artikulasi), dinamika, dan kualitas sonik timbre dan tekstur.

Bagaimana dengan musik yang dimainkan oleh John Cage (seorang composer Avant Garde) yang berjudul “Four Minutes Thirty Three Second of Silent” (4’33”) yang terbagi dalam 3 bagian, dimana dia menginstruksikan para pemainnya untuk tidak memainkan satu pun alat musik pada sebuah konser. Yang ternyata ini menjadi karya John Cage yang sangat kontroversial dan terkenal

“Architecture is both the process and product of planning, designing and constructing space that reflects functional, social, and aesthetic considerations. Architecture also encompasses the pragmatic aspects of realizing designed spaces, such as project planning, cost estimating and construction administration”. (http://en.wikipedia.org/wiki/Architecture)

Yang selama ini kita (saya) tahu, arsitektur adalah sesuatu yang terlihat kasat mata, bangunan yang berdiri karena desain yang diwujudkan, jadi kita bisa melihat bahwa itu adalah arsitektur. Tetapi apa yang dikatakan Louis Kahn bahwa arsitektur tidak ada merupakan wacana tersendiri. Dia berkata bahwa yang ada adalah sebuah realitas yang dibangun dari perwujudan ide arsitektur.

Seperti yang dimainkan oleh John Cage dalam “Four Minutes Thirty Three Second of Silent”. Musik adalah ide, jadi bunyi yang kita dengar adalah perwujudan dari ide itu sendiri. Jadi menurut saya musik dan arsitektur mempunyai benang merah yang sama yaitu musik dan arsitektur adalah sebuah ide yang jika diwujudkan akan menjadi lagu dan juga bangunan seperti yang selama ini kita lihat.

Arsitektur dan Sejarah

Filed under: locality and tradition — reniafriani07 @ 19:56
Tags: ,

Dari kuliah geometri, satu mata kuliah dari sekian banyak mata kuliah bisa menyebutkan kalau arsitektur itu sebenarnya bukan hanya apa saja yang sudah didapat selama ini, dan yang lebih mengejutkan lagi satu bahasan tentang geometri saja bisa menguak banyak hal. Contohnya : dari pengertiannya sendiri geo adalah bentuk sedangkan metri adalah ukuran, yang mana bentuk bukan hanya berhenti disitu saja, begitu juga dengan ukuran yang pada akhirnya kita juga bisa mengenal yang namanya golden section. Arsitektur itu bukan hanya membicarakan bentuk, ukuran, keindahan, dan lain-lain. Tetapi arsitektur itu juga terkait erat dengan sejarah, dan satu bahasan sejarah dibawah ini kemudian menimbulkan pertanyaan buat saya, yaitu tentang istana negara.

Kawasan tersebut mula-mula terletak di sisi luar batas kota Batavia dan ditetapkan sebagai lokasi baru untuk pusat pemerintahan oleh Gubernur Jenderal Hermann Wilhelm Daendels untuk menggantikan lokasi lama yang sekarang disebut Taman Fatahillah. Bangunan gedung pertama yang ketika itu didirikan di Weltevreden sebetulnya bukan Istana Negara melainkan gedung Kantor Gubernur Jenderal (sekarang Departemen Keuangan), gedung Pengadilan (pernah menjadi Gedung Mahkamah Agung), Katedral, Markas Besar Militer (sekarang Masjid Istiqlal) dan tangsi militer (sekarang Hotel Borobudur dan kompleks Marinir). Bangunan-bangunan gedung tersebut mengitari sebuah lapangan yang ketika itu diberi nama Koeningsplein (sekarang Lapangan Banteng). Tidak jauh dari lapangan tersebut selanjutnya dibangun tempat tinggal Panglima Militer (sekarang Departemen Luar Negri) dan rumah sakit militer (sekarang Rumah Sakit Gatot Subroto). Semua bangunan-bangunan gedung tersebut milik Kerajaan Belanda sedangkan Istana Merdeka, juga Istana Negara yang terletak di sebelah belakangnya adalah milik perseorangan. Seperti lazimnya di Eropa, juga di pusat-pusat kekuasaan pribumi ketika itu, bangunan-bangunan gedung milik perseorangan selalu meniru gaya bangunan gedung pemerintahan atau penguasa. Pola lengkung pada bidang kiri dan kanan bangunan yang dibuat simetris antara bagian depan dan belakang bangunan Istana Merdeka.

Ketika itu Kerajaan Belanda berikut seluruh wilayah jajahannya menjadi milik Kemaharajaan Prancis sehingga gaya bangunan-bangunan gedung pemerintahan di Weltevreden juga meniru gaya istana-istana di Prancis abad ke-18, yaitu yang disebut Gaya Kemaharajaan (Empire Style). Bangunannya berbentuk empat persegi panjang dan sisi memanjangnya memisahkan dua lapangan. Lapangan pertama terletak di depan istana sebagai tempat parade sedangkan lapangan kedua terletak di belakang istana sebagai tempat rekreasi keluarga kerajaan. Bangunannya sendiri terbagi tiga secara simetris. Bagian tengah lebih panjang karena merupakan bangunan induk sedangkan dua bagian lainnya mengapit di sisi kiri dan kanan. Kedua bagian tersebut lebih pendek dan berfungsi sebagai fasilitas penunjang terhadap bagian utama tadi. Empire style adalah salah satu dari berbagai gaya bangunan yang dihasilkan oleh sejenis arsitektur baru yang marak di Eropa sejak pertengahan abad ke-18, yaitu arsitektur Neo-klasik. Gaya-gaya bangunan tersebut seringkali juga disebut gaya revival karena meniru gaya-gaya bangunan lama di Eropa seperti gaya bangunan Yunani-purba, Romawi atau Gothic.

Gedung Putih adalah rumah kepresidenan Presiden Amerika Serikat. Gedung yang terletak di 1600 Pennsylvania Avenue di Washington, DC ini merupakan tempat tinggal resmi presiden dan keluarganya selama masa jabatannya. Saat seorang presiden baru terpilih, presiden yang lama segera pindah. Juga memiliki kantor di mana presiden menjalankan pemerintahan.

Gedung Putih atau dalam bahasa Inggris disebut the White House adalah istana atau tempat kediaman resmi dan kantor Presiden Amerika Serikat. Arsitek yang semula mendisain Gedung Putih adalah James Hoban, seorang kelahiran Irlandia. Lokasi tempat dimana istana itu akan dibangun dipilih oleh presiden pertama George Washington dan sahabatnya seorang insinyur dan arsitek Prancis bernama Pierre Charles L’Enfant, yang juga merupakan arsitek pembangunan ibukota Amerika Serikat, Washington DC.

Istana merdeka ataupun istana negara tersebut merupakan suatu identitas menurut saya dan itu identitas sebuah negara, mengapa istana tersebut yang tetap menjadi sebagai istana negara kita yang arsiteknya sendiri adalah Drossares dan istana tersebut juga bergayakan eropa yang tentu saja tidak mencerminkan Indonesia itu sendiri. Sedangkan pada gedung putih Amerika terdapat kesinkronan antara keduanya. walaupun dalam kenyataannya (sejarahnya) perjuangan dalam mempertahankannya yang kemudian dianggap sebagai identitas negara.