Rumah gadang merupakan rumah tradisonal Minangkabau yang arsitekturnya cukup unik. Bangunan rumah gadang khas dengan atap gonjongnya. Tidak hanya itu, jika diperhatikan, massa bangunan rumah gadang juga terlihat besar ke atas yang memberikan kesan ‘besar kepala’.
Bukan tidak ada alasan mengapa masyarakat Minangkabau menghasilkan karya arsitektur dengan bentuk seperti ini. Sebagai arsitektur tradisional, geometri-geometri yang diterapkan pada rumah gadang tentunya mempunyai arti yang sangat penting bagi masyarakat Minangkabau sebagai simbol yang merujuk pada identitas budaya mereka. Jika geometri-geometri tersebut lahir sebagai sebuah simbol, tentu ada sesuatu yang disimbolkannya. Misalnya, simbol dari sesuatu yang berbentuk fisik seperti alam (hewan, tumbuhan ataupun kondisi alam yang dianggap ‘penting’ dalam suatu golongan masyarakat) ataupun simbol dari sesuatu yang bersifat non-fisik seperti cara hidup (way of life) dan keyakinan atau kepercayaan. Namun dibalik semua itu, bagi saya sendiri terdapat hal yang cukup menarik perhatian yaitu bagaimana cara masyarakat Minangkabau mentransformasikan apa yang ingin mereka simbolkan ke dalam bentuk geometri arsitektural. Metode desain seperti apa yang mereka terapkan hingga lahir bentuk rumah gadang seperti yang kita lihat sekarang, khususnya bentuk atap gonjongnya.
Untuk menelaah metode desain yang diterapkan pada arsitektur tradisional dibutuhkan penelitian yang cukup mendalam. Banyak faktor yang mempengaruhi cara berarsitektur dan hasil karya arsitektur yang lahir pada suatu golongan atau etnis masyarakat tertentu. Oleh karena itu dibutuhkan pula pendekatan dari berbagai sudut pandang untuk dapat menjelaskan metode seperti apa yang mereka pakai dalam mencitrakan arsitektur tradisionalnya.
Saat berbicara mengenai rumah gadang, hal yang langsung tebayang di benak kita biasanya adalah bentuk atap yang runcing menjulang tinggi ke langit. Atap ini disebut atap gonjong yang pada akhirnya menginspirasi masyarakat Minangkabau untuk menerapkannya pada bangunan modern sebagai identitas budaya mereka, walaupun sebenarnya hal seperti ini masih menjadi perdebatan mengenai layak atau tidaknya. Terlepas dari semua itu, atap gonjong merupakan hasil dari proses berarsitektur dan berbudaya masyarakat Minangkabau yang telah mengalami trial and error[1]. Seperti yang telah dituliskan sebelumnya, bentuk-bentuk geometri yang hadir dalam wujud fisik rumah gadang merupakan simbol terhadap segala sesuatu yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat Minangkabau. Segala sesuatu tersebut dapat berupa hal yang bersumber dari alam, cara hidup, sejarah dan kepercayaan. Namun saat sesuatu hadir sebagai sebuah simbol, sesuatu tersebut tidak harus serupa dengan apa yang disimbolkannya.[2]
Wujud fisik rumah gadang secara keseluruhan yang terbagi atas kaki badan dan kepala yang pada dasarnya terbentuk dari geometri-geometri sederhana. Denah rumah gadang sangat sederhana yaitu persegi panjang dengan pembagian ruang yang juga sederhana, massa badan bangunan juga sederhana dengan hanya menerapkan geometri-geometri dalam kaidah bidang planar. Denah dan massa badan bangunan pada dasarnya merupakan simbol dari hal yang lebih bersifat non-fisik seperti cara hidup dan kepercayaan. Cara hidup masyarakat Minangkabau yang dipengaruhi oleh sistem genealogis matrilineal yang mereka anut dimana posisi kaum perempuan dalam masyarakat dianggap penting, kepercayaan yang mereka anut yaitu agama Islam yang mempengaruhi batasan ruang antara perempuan dan laki-laki, yang kesemuanya mempunyai penjelasan yang amat panjang dan rumit, tergambar dalam denah yang sederhana ini.
Namun saat melihat atap gonjong, terlihat geometri yang berbeda dan seolah keluar dari kaidah yang diterapkan pada denah. Berbeda denah yang didominasi oleh garis-garis lurus yang terkesan kaku, atap gonjong terbentuk dari komposisi garis-garis lengkung yang terkesan lebih dinamis. Persamaannya, bentuk atap gonjong juga merupakan simbol serta rekaman terhadap sesuatu yang erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat Minangkabau. Namun hal yang disimbolkan oleh atap gonjong lebih bersifat pada sesuatu yang fisik, seperti sesuatu yang berasal dari alam atau benda kenangan masa lampau. Secara sederhana, bentuk dasar dari gonjong adalah segitiga sama kaki namun dengan jumlah besar sudut kurang dari 180o, segitiga yang berada pada kaidah non-Euclidean geometry.
Ada beberapa pendapat mengenai apa yang masyarakat Minangkabau simbolkan dan rekam melalui atap gonjong antara lain,
- Atap gonjong merupakan simbol dari tanduk kerbau, karena kerbau merupakan hewan yang dianggap sangat erat kaitannya dengan penamaan daerah Minangkabau.[3]
- Atap gonjong adalah simbol dari pucuk rebung (bakal bambu), karena bagi masyarakat Minangkabau rebung merupakan bahan makanan adat, olahan rebung merupakan hidangan yang selalu ada saat upacara-upacara adat. Selain itu, bambu dianggap tumbuhan yang sangat penting dalam konstruksi tradisional.[4]
- Atap gonjong menyimbolkan kapal sebagai rekaman untuk mengenang asal usul nenek moyang orang Minangkabau yang dianggap berasal dari rombongan Iskandar Zulkarnaen yang berlayar dengan kapal dari daerah asalnya yang kemudian terdampar di dataran Minangkabau sekarang.[5]
- Atap gonjong merupakan rekaman terhadap alam Minangkabau yang berbukit yang terdiri dari punggungan-punggungan dan landaian-landaian.[6]
Bagi orang Minangkabau, alam adalah sesuatu yang dinamis, kedinamisan ini secara sederhana mereka simbolkan dengan garis lengkung, seperti garis lengkung pada atap gonjong.[7]
Keseluruhan pendapat tersebut menyiratkan bahwa garis-garis lengkung yang tajam pada atap gonjong merupakan tracing/jiplakan terhadap bentuk-bentuk yang berasal dari alam atau benda yang dianggap penting oleh masyarakat Minangkabau. Proses tracing atau penjiplakan ini dilakukan dalam jangka waktu berarsitektur yang sangat panjang. Di dalam proses tersebut terdapat trial and error akibat penyesuaian terhadap alam dimana atap gonjong itu eksis (alam Minangkabau). Di dalam proses tracing ini dilakukan penyederhaaan dengan mengurangi garis-garis rumit atau detail dari kondisi nyata objek yang ingin disimbolkan, seperti dengan mengambil siluetnya ataupun hanya geometri dasarnya. Dengan demikian, walaupun geometri yang kemudian hadir tidak sama dengan apa yang disimbolkannya, tetap ada bagian yang dipertahankan seperti kedinamisan dari objek tersebut.
Dari uraian di atas, terlihat sepintas lalu metode desain yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau terkesan sangat sederhana, hanya dengan men-trace suatu objek yang dianggap penting dengan ‘mengabaikan’ detail geometri dari objek tersebut. Proses yang berlangsung sekian lama berhenti saat masyarakat Minangkabau menemukan geometri arsitektural yang tepat sebagai simbol dari pandangan hidup mereka dan sesuai dengan kondisi alam tempat mereka hidup. Dengan demikian lahirlah desain arsitektur tradisional rumah gadang seperti yang eksistensinya masih dapat kita lihat di wilayah Minangkabau. Proses tracing dalam pembentukan wujud arsitektural atap gonjong rumah gadang merupakan penjiplakan benda tiga dimensi ke dalam wujud tiga dimensi pula. Hilangnya detail-detail dari benda yang di-trace membuat wujud baru yang terbentuk dapat diartikan lain oleh orang yang berbeda karena wujud baru tersebut dapat mewakili beberapa benda yang berbeda pula. Dengan demikian tidak salah jika ada beberapa pendapat mengenai benda apa yang disimbolkan oleh atap gonjong rumah gadang.
[1] Hasil wawancara dengan St. Mahmud, tokoh ahli dalam hal sejarah rumah gadang
[2] Harries, Karsten.1997.The Ethical Function of Architecture.MIT Press (pg. 98)
[3] Ismael, Sudirman.2007. Arsitektur Tradisional Minangkabau Nilai-Nilai Budaya Dalam Arsitektur Rumah Adat. Bung Hatta University Press (hal. 52)
[4] Wawancara dengan Dt. Majo Setio, Ketua Kerapatan Adat Nagari Sungaitarap, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat
[5] Ismael, Sudirman.2007. Arsitektur Tradisional Minangkabau Nilai-Nilai Budaya Dalam Arsitektur Rumah Adat. Bung Hatta University Press (hal. 52)
[6] Wawancara dengan Dt. Atiah, salah seorang tokoh adat di Nagari Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
[7] Wawancara dengan Dt. Majo Setio, Ketua Kerapatan Adat Nagari Sungaitarap, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat