there’s something about geometry + architecture

June 2, 2010

Geometry in Traditional Architecture ‘Rumah Gadang’ (Part 2)

Filed under: locality and tradition — gemala @ 14:32
Tags: ,

Rumah gadang merupakan rumah tradisonal Minangkabau yang arsitekturnya cukup unik. Bangunan rumah gadang khas dengan atap gonjongnya. Tidak hanya itu, jika diperhatikan,  massa bangunan rumah gadang juga terlihat besar ke atas yang memberikan kesan ‘besar kepala’.

Bukan tidak ada alasan mengapa masyarakat Minangkabau menghasilkan karya arsitektur dengan bentuk seperti ini. Sebagai arsitektur tradisional, geometri-geometri yang diterapkan pada rumah gadang tentunya mempunyai arti yang sangat penting bagi masyarakat Minangkabau sebagai simbol yang merujuk pada identitas budaya mereka. Jika geometri-geometri tersebut lahir sebagai sebuah simbol, tentu ada sesuatu yang disimbolkannya. Misalnya, simbol dari sesuatu yang berbentuk fisik seperti alam (hewan, tumbuhan ataupun kondisi alam yang dianggap ‘penting’ dalam suatu golongan masyarakat) ataupun simbol dari sesuatu yang bersifat non-fisik seperti cara hidup (way of life) dan keyakinan atau kepercayaan. Namun dibalik semua itu, bagi saya sendiri terdapat hal yang cukup menarik perhatian yaitu bagaimana cara masyarakat Minangkabau mentransformasikan apa yang ingin mereka simbolkan ke dalam bentuk geometri arsitektural. Metode desain seperti apa yang mereka terapkan hingga lahir bentuk rumah gadang seperti yang kita lihat sekarang, khususnya bentuk atap gonjongnya.

Untuk menelaah metode desain yang diterapkan pada arsitektur tradisional dibutuhkan penelitian yang cukup mendalam. Banyak faktor yang mempengaruhi cara berarsitektur dan hasil karya arsitektur yang lahir pada suatu golongan atau etnis masyarakat tertentu. Oleh karena itu dibutuhkan pula pendekatan dari berbagai sudut pandang untuk dapat menjelaskan metode seperti apa yang mereka pakai dalam mencitrakan arsitektur tradisionalnya.

Saat berbicara mengenai rumah gadang, hal yang langsung tebayang di benak kita biasanya adalah bentuk atap yang runcing menjulang tinggi ke langit. Atap ini disebut atap gonjong yang pada akhirnya menginspirasi masyarakat Minangkabau untuk menerapkannya pada bangunan modern sebagai identitas budaya mereka, walaupun sebenarnya hal seperti ini masih menjadi perdebatan mengenai layak atau tidaknya. Terlepas dari semua itu, atap gonjong merupakan hasil dari proses berarsitektur dan berbudaya masyarakat Minangkabau yang telah mengalami trial and error[1]. Seperti yang telah dituliskan sebelumnya, bentuk-bentuk geometri yang hadir dalam wujud fisik rumah gadang merupakan simbol terhadap segala sesuatu yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat Minangkabau. Segala sesuatu tersebut dapat berupa hal yang bersumber dari alam, cara hidup, sejarah dan kepercayaan. Namun saat sesuatu hadir sebagai sebuah simbol, sesuatu tersebut tidak harus serupa dengan apa yang disimbolkannya.[2]

Wujud fisik rumah gadang secara keseluruhan yang terbagi atas kaki badan dan kepala  yang pada dasarnya terbentuk dari geometri-geometri sederhana. Denah rumah gadang sangat sederhana yaitu persegi panjang dengan pembagian ruang yang juga sederhana, massa badan bangunan juga sederhana dengan hanya menerapkan geometri-geometri dalam kaidah bidang planar. Denah dan massa badan bangunan pada dasarnya merupakan simbol dari hal yang lebih bersifat non-fisik seperti cara hidup dan kepercayaan. Cara hidup masyarakat Minangkabau yang dipengaruhi oleh sistem genealogis matrilineal yang mereka anut dimana posisi kaum perempuan dalam masyarakat dianggap penting, kepercayaan yang mereka anut yaitu agama Islam yang mempengaruhi batasan ruang antara perempuan dan laki-laki, yang kesemuanya mempunyai penjelasan yang amat panjang dan rumit, tergambar dalam denah yang sederhana ini.

Namun saat melihat atap gonjong, terlihat geometri yang berbeda dan seolah keluar dari kaidah yang diterapkan pada denah. Berbeda denah yang didominasi oleh garis-garis lurus yang terkesan kaku, atap gonjong terbentuk dari komposisi garis-garis lengkung yang terkesan lebih dinamis. Persamaannya, bentuk atap gonjong juga merupakan simbol serta rekaman terhadap sesuatu yang erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat Minangkabau. Namun hal yang disimbolkan oleh atap gonjong lebih bersifat pada sesuatu yang fisik, seperti sesuatu yang berasal dari alam atau benda kenangan masa lampau. Secara sederhana, bentuk dasar dari gonjong adalah segitiga sama kaki namun dengan jumlah besar sudut kurang dari 180o, segitiga yang berada pada kaidah non-Euclidean geometry.

Ada beberapa pendapat mengenai apa yang masyarakat Minangkabau simbolkan dan rekam melalui atap gonjong antara lain,

  • Atap gonjong merupakan simbol dari tanduk kerbau, karena kerbau merupakan hewan yang dianggap sangat erat kaitannya dengan penamaan daerah Minangkabau.[3]
  • Atap gonjong adalah simbol dari pucuk rebung (bakal bambu), karena bagi masyarakat Minangkabau rebung merupakan bahan makanan adat, olahan rebung merupakan hidangan yang selalu ada saat upacara-upacara adat. Selain itu, bambu dianggap tumbuhan yang sangat penting dalam konstruksi tradisional.[4]

  • Atap gonjong menyimbolkan kapal sebagai rekaman untuk mengenang asal usul nenek moyang orang Minangkabau yang dianggap berasal dari rombongan Iskandar Zulkarnaen yang berlayar dengan kapal dari daerah asalnya yang kemudian terdampar di dataran Minangkabau sekarang.[5]

  • Atap gonjong merupakan rekaman terhadap alam Minangkabau yang berbukit yang terdiri dari punggungan-punggungan dan landaian-landaian.[6]

Bagi orang Minangkabau, alam adalah sesuatu yang dinamis, kedinamisan ini secara sederhana mereka simbolkan dengan garis lengkung, seperti garis lengkung pada atap gonjong.[7]

Keseluruhan pendapat tersebut menyiratkan bahwa garis-garis lengkung yang tajam pada atap gonjong merupakan tracing/jiplakan terhadap bentuk-bentuk yang berasal dari alam atau benda yang dianggap penting oleh masyarakat Minangkabau. Proses tracing atau penjiplakan ini dilakukan dalam jangka waktu berarsitektur yang sangat panjang. Di dalam proses tersebut terdapat trial and error akibat penyesuaian terhadap alam dimana atap gonjong itu eksis (alam Minangkabau). Di dalam proses tracing ini dilakukan penyederhaaan dengan mengurangi garis-garis rumit atau detail dari kondisi nyata objek yang ingin disimbolkan, seperti dengan mengambil siluetnya ataupun hanya geometri dasarnya. Dengan demikian, walaupun geometri yang kemudian hadir tidak sama dengan apa yang disimbolkannya, tetap ada bagian yang dipertahankan seperti kedinamisan dari objek tersebut.

Dari uraian di atas, terlihat sepintas lalu metode desain yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau terkesan sangat sederhana, hanya dengan men-trace suatu objek yang dianggap penting dengan ‘mengabaikan’ detail geometri dari objek tersebut. Proses yang berlangsung sekian lama berhenti saat masyarakat Minangkabau menemukan geometri arsitektural yang tepat sebagai simbol dari pandangan hidup mereka dan sesuai dengan kondisi alam tempat mereka hidup. Dengan demikian lahirlah desain arsitektur tradisional rumah gadang seperti yang eksistensinya masih dapat kita lihat di wilayah Minangkabau. Proses tracing dalam pembentukan wujud arsitektural atap gonjong rumah gadang merupakan penjiplakan benda tiga dimensi ke dalam wujud tiga dimensi pula. Hilangnya detail-detail dari benda yang di-trace membuat wujud baru yang terbentuk dapat diartikan lain oleh orang yang berbeda karena wujud baru tersebut dapat mewakili beberapa benda yang berbeda pula. Dengan demikian tidak salah jika ada beberapa pendapat mengenai benda apa yang disimbolkan oleh atap gonjong rumah gadang.


[1] Hasil wawancara dengan St. Mahmud, tokoh ahli dalam hal sejarah rumah gadang

[2] Harries, Karsten.1997.The Ethical Function of Architecture.MIT Press (pg. 98)

[3] Ismael, Sudirman.2007. Arsitektur Tradisional Minangkabau Nilai-Nilai Budaya Dalam Arsitektur Rumah Adat. Bung Hatta University Press (hal. 52)

[4] Wawancara dengan Dt. Majo Setio, Ketua Kerapatan Adat Nagari Sungaitarap, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat

[5] Ismael, Sudirman.2007. Arsitektur Tradisional Minangkabau Nilai-Nilai Budaya Dalam Arsitektur Rumah Adat. Bung Hatta University Press (hal. 52)

[6] Wawancara dengan Dt. Atiah, salah seorang tokoh adat di Nagari Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.

[7] Wawancara dengan Dt. Majo Setio, Ketua Kerapatan Adat Nagari Sungaitarap, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat

Falling Water, Frank Lloyd Wright

Filed under: nature and architecture — meitha28 @ 14:31
Tags: ,

Geometri blog
Falling water merupakan salah satu karya dari Frank Lloyd wright yang memadukan unsur alam dengan arsitektur berdasarkan pengakuan Frank Llyod Wright menyatakan mengenai karyanya falling water:

Frank Lloyd Wright,
‘ the visit to the water falling in the woods stays with me, and a domicile has taken vague shape in my mind to the music of stream. When contours come you will see it’
(Frank Lloyd Wright, The Master Works p.152).
Berdasarkan pernyataan Frank Llyod Wright maka saya berpendapat adanya faktor yakni adanya unsure air merupakan unsure utama dari ide Frank Llyod Wright .
Saya akan mencoba menguraikan perlakuan air yang pertama bagaimana sifat air yakni air mengalir memiliki debit sehingga baimana jika air terhadap debit yang mengalir, yang kedua bagaimana jika adanya kaitan antara air dengan gravitasi (secara natural yang terjadi) sertayang ketiga bagaimana jika air diberlakukan beda dengan adanya gaya sentripetalatau kaitan antara air dengan gaya snetripetal (hal yang mungkin terjadi pada falling water).
Yang pertama adalah kaitan antara air dengan debit:
Hal ini yang mungkin terjadi antara air dengan debit secara natural bagaimana jika debit air diberlakukan secara cepat atau debit air diberlakukan secara lambat hal ini mungkin terjadi pada aliran air falling water dan hal ini juga mempegaruhi ‘the music of stream’.
Karya frank llyod wright berdasarkan debit air juga dapat dibuktikan secara fisika mengenai debit air:
P = ᵨ x g x h
Yang kedua adalah kaitan antara air dengan gravitasi:
Hal yang mungkin terjadi antara air dengan gravitasi Gravitasi merupakan gaya tarik yang dialami object (air) tehadap bumi. Gravitasi yang biasa terjadi dibumi ± 10 m/s². gravitasi yang terjadi dibumi tidak berubah yakni ±10 m/s² tidak mengalami penambahan dan terjadi merata diseluruh bumi. Maka jika gravitasi bertambah besar atau dinolkan (tiadakan) hal tersebut hamper tidak mungkin kecuali hal ini akan terjadi diluar bumi atau ruang kedap udara dengan peniadaan gravitasi.
Keterkaitan antara gravitasi dengan falling water, Frank Lloyd Wright terjadi gravitasi pada jatuhnya air, namun jatuhnya air yang terjadi pada air falling water konstan dan dipengaruhi oleh gravitasi ± 10 m/s², sehingga untuk terjadinya gravitasi lebih besar ±10 m/s² atau ditiadakan hampir tidak mungkin.

Keterkaitan antara air dengan kontur:
Kontur yang terjadi bermacam-macam dapat terjadi secara vertical dan dapat terjadi secara horizontal. Saya akan membuat lebih spesifik yakni secara horizontal, suatu aliran air jika terhalang suatu batu atau kontur yang tidak rata maka akan membuat aliran air yang berbeda yakni berlakunya air jika terkena batu (misalkan) maka air akan tertahan namun karna ir memiliki daya dorong (debit) maka air akan tetap melewati batu yakni dengan cara bebrbelok dan dengan cara berputar dahulu baru berbelok. Hal yang berputar pada air ini tanpa disadari partikel air mengalami gaya secara fisika yakni sentripetal. Fs=(m x v²) /r
                                                                   

Masing-masing kemungkinan akan terjadi dan dapat mempengaruhi ‘the music of stream’ falling water.

Geometri Bukan Mengenai Benar atau Salah, Melainkan Mengenai Bagaimana Memilih

Filed under: process — gemala @ 14:28
Tags: ,

Setelah mengenal berbagai teori yang terkait dengan geometri dan arsitektur, sangat jelas bagi saya bahwa terdapat banyak pilihan untuk mengekspresikan citra dari sebuah bangunan atau wujud arsitektural melalui geometri yang diterapkan. Pertanyaannya adalah cara mana yang akan dipilih dan diterapan. Order, beauty, rigid, ugly, Euclidean, non-Euclidean, dan persepsi lainnya yang mewakili geometri yang diterapkan pada sebuah desain arsitektur merupakan sesuatu yang diterjemahkan berbeda oleh pemikiran-pemikiran yang berbeda pula. Namun perbedaan tersebut tidak dapat menyalahkan satu sama lain (sewajarnya).

“One geometry cannot be more true than another; it can only be more convenient”. [Poincaré]

Bagi arsitek sebagai perancang, semua persepsi dan teori tersebut sangat membantu dalam penciptaan suatu wujud arsitektural. Dengan demikian, hasil karya arsitektur yang terbentuk menjadi logis dan dapat dijelaskan secara geometrikal sehingga tidak terbentuk suatu karya yang ‘tidak pada tempatnya’. Bagi pengguna dan penikmat hasil karya arsitektur, persepsi dan teori tersebut menjadi penting saat mereka menuntut suatu karya yang benar-benar tepat guna dari berbagai sudut pandang.

Dari sini dapat dilihat bahwa tanggung jawab seorang arsitek sebagai perancang ternyata tidak hanya sebatas memenuhi tuntutan kebutuhan ruang kliennya namun juga terhadap setiap unsur geometrikal yang mereka terapkan pada desain termasuk hal sederhana seperti garis dan bidang. Hal ini mungkin dapat disamakan dengan apa yang Y. B. Mangunwijaya sebut dengan berarsitektur secara budayawan; dengan nurani dan tanggung jawab penggunaan bahasa arsitektural yang baik, karena berarsitektur berarti berbahasa dengan garis dan bidang, ruang dan gatra, bahan material dan suasana tempat.[1] Di sinilah dituntut kemampuan seorang perancang untuk memilih geometri seperti apa yang akan ia terapkan pada desainnya.


[1] Y. B. Mangunwijaya. 1995. Wastu Citra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama (hal. 7)

Transformasi Permainan Domino

Filed under: contemporary theories,everyday geometry — andisuryakurnia @ 14:24
Tags: , ,

Pada dasarnya manusia suka bermain, yang disebut “Homo Ludens” (Man The Player) oleh ahli sejarah Johan Huizinga. Permainan yang mem-’bumi’ ialah permainan kartu, ’domino’ adalah salah satu jenis permainan yang paling populer di kalangan anak-anak maupun orang dewasa. Kartu domino ialah kartu yang memiliki ’dot’ berbentuk lingkaran penuh berwarna sebagai penunjuk ’muatan’ kartu.

Permainannya ialah dengan menyambung salah satu ujung dari kartu tersebut sesuai dengan muatan yang tertera pada ujung kartu tersebut. Pemenang didasarkan pada pemain yang berhasil melengkapi sambungan kartu tersebut dengan sempurna, dan jika belum sempurna maka pemain yang memiliki jumlah muatan terbanyak dari kartu ’sisa’ dianggap sebagai pemain yang kalah.

Muatan dari kartu berupa ’dot’ ini menjadi penanda dalam pikiran untuk menyelesaikan permainan. Pada bidang yang lain (baca: psikologi), kartu domino juga dapat digunakan untuk mengasah kemampuan otak anak-anak dalam mengingat dan membaca kata-kata yang terucap dalam bahasa Inggris.

Dalam permainan domino ini, pikiran kita sudah ter-’doktrin’ untuk melihat salah satu sisi dari satu kartu (yang dipisahkan oleh garis tengah berwarna yang sama). Permainan di alam pikiran ini kemudian menggerakkan saya untuk melakukan intervensi terhadap permainan domino secara utuh dengan memasukkan konsep pembuatan kemasan (baca: 3 prinsip dasar) yang bertujuan untuk memberikan tantangan baru dalam membaca dot-dot yang tertera dalam sebuah kartu. Kebiasaan umum permainan yang hanya menyambung kartu berdasarkan salah satu sisi kartu coba saya kaji lebih jauh. Ternyata jika diselipkan prinsip dasar kemasan maka saya dapat memperoleh muatan lain dari dot yang hadir pada kedua sisi dalam satu kartu domino. Hal ini saya angkat untuk memberikan alternatif penyambungan kartu pada saat kartu yang kita miliki tidak berjumlah dot yang sama dengan jumlah dot pada salah satu sisi kartu domino ini, selain itu juga untuk memberikan alternatif strategi baru dalam menyelesaikan permainan dengan bantuan ’lipatan’ dalam pikiran (tidak nampak nyata).

Tiga prinsip dasar kemasan saya aplikasikan dalam penentuan ’muatan’ baru yang ditampilkan oleh jumlah dot-dot kartu sebagai berikut:

Struktur Dasar ]Domino]

Sebagai kumpulan kartu permainan, domino memiliki struktur dasar berupa dot-dot (bisa juga kosong) pada kedua sisi dalam satu kartu yang dipisahkan oleh sebuah garis tengah. Garis tengah yang pada umumnya dilihat sebagai garis pemisah kedua sisi kemudian saya asumsikan sebagai garis ’lipat’ yang juga hadir pada pola pembuatan kemasan. Dengan melipat kartu ini maka kedua sisi pada kartu tersebut dapat dipertemukan. Proses pelipatan ini kemudian memberikan ’jejak’ pada kedua sisi yang baru saja bertemu. Jejak yang membekas ini kemudian menjadi komponen dot pada kedua sisi tersebut. Dan dari semua struktur dasar kartu domino, terditeksi enam buah kartu yang dapat memiliki muatan yang berbeda dari tampilan yang terlihat (1-2, 2-2, 2-3, 3-3, 3-4, 4-1). Keenam kartu ini kemudian di’lipat’ untuk memberikan muatan baru.

Metode Kunci ]Dot]

Hasil dari proses pelipatan ini kemudian dikembalikan pada struktur dasar kartu, seperti metode kunci pada kemasan, sehingga didapatkan kartu dengan struktur yang menyerupai hasil pelipatan. Hal ini juga berlaku pada proses kelima kartu lainnya sehingga seakan-akan didapatkan beberapa kartu ’tambahan’ untuk dapat menyambung kartu domino yang ada dalam permainan ini.

Proses Penyusunan [Kartu]

Setelah didapat ’kartu tambahan’ ini maka permainan mendapatkan alternatif baru dalam proses penyusunan kartu domino. Dengan ’bentuk’ baru ini, permainan domino mampu menstimulus otak untuk berpikir ’melipat’ dalam mencari penyelesaian dan memunculkan alternatif strategi untuk memenangkan permainan. Jadi permainan yang kasat mata dapat dikembangkan menjadi permainan di alam pikiran dan tetap asyik untuk dimainkan.

Dari percobaan kecil yang diintervensi ini saya belajar bagaimana koneksi menjadi penting dalam proses (penyusunan) baik dalam permainan maupun bidang serius (tidak main-main) lainnya yang lebih luas dan kompleks. Sekali lagi hal ini menunjukkan pula peran geometri dalam sebuah proses, tak terkecuali proses berarsitektur untuk menghasilkan alternatif-alternatif baru sebagai tanggapan atas perkembangan dunia arsitektur itu sendiri.

Bagaimana tanggapan anda?

Sumber:

http://teachingkinders.com/pages%20for%20samples/left.html

Axis in Geometry

Filed under: classical aesthetics — datunpaksi @ 14:23

Axis

Oxford Dictionary of Architecture James Stevens Curl

Straight line laid down as a guide on either side of which elements of the plan are symmetrically or systematically disposed. In a sphere it would run through the centre.

http://www.thefreedictionary.com/axis

An imaginary line to which elements of a work of art, such as a picture, are referred for measurement or symmetry.

A straight line about which a body or geometric object rotates or may be conceived to rotate.

Mathematics

a. An unlimited line, half-line, or line segment serving to orient a space or a geometric object, especially a line about which the object is symmetric.

b. A reference line from which distances or angles are measured in a coordinate system.

Axes that Reach / Path that Wander

Donlyn Lyndon dan  Charles W. Moore

An axis is a relationship across space. not simply a path. At best it is a thing of the mind, not just  of the feet.

    Axes reach across space to draw together the important points in a place. They are mental constructs that help us to position ourselves and make alliance with things, buildings or space. Paths are where your feet actually trod, so that what happens along the way becomes the important thing. In some of the most interesting places, axes and paths interweave, with the axis allowing the mind to do connecting, and the path allowing the feet to wander, explore, make choices, and put things in sequence.

Axis. Sikap simetri adalah sebuah kondisi yang sempurna. Hal ini terwacanakan disebut solemnitas ( M.A.W. Brouwer, 1984) yaitu sikap yang secara fisik ditangkap sebagai posisi simetris. Solemnitas mengungkapkan adanya sikap yang tidak kritis, sikap menyerahkan diri tanpa perlawanan (pasrah), dan tanpa pikiran belakang. Sebuah sikap tubuh yang dikondisikan dalam keadaan yang erat berhubungan dengan Ke-Ilahi-an. Hubungan antara ruang geometris, sumbu orientasi, dan titik pusat orientasi merupakan satu kesatuan sistem pandangan dunia yang bersifat universal. Manusia mendiami alam yang dipersepsikan sebagai berbentuk geometri. Konsep ini sudah lama dipahami oleh manusia dengan pertimbangan manusia hidup dan bergerak tidak terlepas dari alam. Dengan memahami orientasi dan posisi di mana kita berada, kita meminjam istilah Romo Mangun telah melalui sebuah proses pengkiblatan diri.

 

Dalam geometri kita mempelajari axis atau metode sumbu sebagai suatu petunjuk yang akan membagi bidang dua sisi sama simetris atau mendekati. Kondisi dalam arsitektur ternyata dalam pandangan Charles W Moore dan Donlyn Lyndon memiliki makna yang sangat berbeda, karena mereka melihat dari sudut pandang yang berbeda pula.

Dalam bukunya Chambers for a Memory Palace yang menjadi sangat penting adalah sebuah perjalanan menuju sebuah titik utama yang dijadikan sebagai pusat. Perjalanan yang terjadi karena adanya pembagian dari sumbu atau axis tersebut, melahirkan path atau sebuah petunjuk akan kemana kita melangkah. Perjalanan melalui path inilah yang disebut Charles W Moore dan Donlyn Lyndon sebagai sebuah proses pengembaraan dan sebuah pilihan-pilihan karena pada hakekatnya path tadi adalah pengarah kita akan kemana kita menuju dan apakah yang akan kita temui selama dalam perjalanan.

Dicontohkan pengalaman perjalanan menuju sebuah makam indah Mumtaz Mahal yang berada di Istana Taj Mahal, Agra, India memiliki banyak pilihan-pilihan yang harus diputuskan, karena path yang dia ciptakan akan membawa kita pada perjalanan yang berbeda, pada saat kita memilih jalur kanan dan kiri, meskipun pada akhirnya semuanya tidak menimbulkan perbedaan, yang pada akhirnya akan sangat berbeda apabila kemudian dibanding dengan yang terjadi di Cranbrook Academy of Art, Bloomfield Hills, Michigan.

The symmetrical four-square approach garden with axial reflecting pools is one side, the river flows crosswise on the other. A red sand stone domed mosque across the platform to the east is balanced by a mirror image structure sheltering empty space at the opposite end on the west, each centeres on the tomb’s cross axis. With the resources and authority available to a cultured sixteenth century despot, nothing was to be left undetermined.

                                                                         Mumtaz Mahal, Taj Mahal Palace, Agra 

At Cranbrook, however, that choice does make a difference. The axis creates abroad artful passage that mediates between the elegantly contrived neatness of the domestically scaled residences and studios of the academy on the left and a small valley that moves off diagonally behind trees to the right, the latter an only slightly tamed version of the unruly rolling landscape that preceded the Academy’s presence here.

Cranbrook Academy of Art, Bloomfield Hills, Michigan.

Sumber:

Donlyn Lyndon & Charles W Moore, Chambers for a Memory Palace, The MIT Press, Cambridge, Massachusetts

London, England 1999

http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/artikel-dewi-4.pdf

Transformasi me-Ruang

Filed under: process — andisuryakurnia @ 14:22
Tags: , ,

Proses yang berlangsung dalam pembuatan kemasan, dari pola yang terdapat pada bidang dua dimensi (dwimatra) menjadi wujud tiga dimensi (trimatra), menunjukkan suatu perubahan yang dikenal dengan istilah transformasi. Istilah ini dapat ditemukan dalam beragam aplikasi di dunia ini seperti musik, permainan, dan film. Belum lama ini dunia dipukau oleh film layar lebar yang menggabungkan teknologi industri film dengan teknologi komputer tingkat tinggi, berjudul ‘Transformer’, yang menggangkat tema perhelatan dunia di masa yang akan datang dimana terjadi interaksi antara manusia dan robot yang ‘hidup’ sebagai suatu transformasi dari bermacam-macam alat sederhana seperti perkakas dapur sampai pada alat transportasi canggih seperti jet kecepatan tinggi.

Dalam konsep me-‘ruang’ juga ditemukan beberapa contoh proses transformasi yang diaplikasikan baik dalam perencanaan maupun produk akhirnya, seperti pada furniture ‘transformer-shelf‘. Furniture ini bertujuan untuk dapat menampung berbagai material (seperti buku, alat tulis, perkakas, aksesoris, dsb), seperti layaknya sebuah rak atau lemari, pada ruang yang relatif sempit sehingga tidak membuat sesak ruangan yang ada dengan membagi lemari tersebut menjadi beberapa komponen yang memiliki fungsi penyimpanan masing-masing dan peng-’operasi’-annya ialah dengan menggeser komponen lemari lainnya sehingga efektifitas penggunaan lemari tersebut menjadi lebih tinggi.

Keringkasan menjadi dasar pertimbangan dalam pengadaan produk interior ini. Tujuan untuk meringkas suatu produk interior juga diperlihatkan melalui contoh lainnya dengan prinsip kerja yang berbeda yaitu dengan menumpuk (obelisk-transformer-chairs) atau menggabungkan komponen-komponen dari furniture tersebut  sehingga menjadi suatu bentuk yang compact (tennis-arm-chair).

Lain halnya dengan contoh karya arsitektur yang menjadi contoh aplikasi konsep transformasi yang dilakukan oleh OMA, Rem Koolhaas pada proyek ruang fashion terkemuka Prada di Korea Selatan (2008) tepat di kawasan bersejarah istana Gyeonghui. Transformasi diterapkan pada konsep perubahan wujud dan fungsi perusahaan fashion internasional Prada dimana mewadahi pelbagai event yang akan dilakukan di dalamnya – fashion exhibition), film festival, art exhibition, Prada fashion show). Transformasi didasarkan pada area lantai dasar yang dapat diputar bergantian dengan empat bentuk geometri seperti lingkaran, cross, segi empat, dan segi enam. Masing-masing bentuk geometri tersebut mewakili fungsi yang terkait dengan event dalam kurun waktu pergantian sebanyak 4 kali dalam setahun (3 bulan/event).

Transformasi yang terjadi mungkin tidak sehebat yang diilustrasikan pada film ‘Transformer‘, namun sebagai suatu pemikiran yang kemudian tertuang dalam dimensi yang dapat di-‘tinggal’-i oleh manusia menjadi fenomena baru dalam proses berarsitektur. Dengan perputaran bentuk dan fungsi (form and function) maka kaidah form follow function ataupun function follow form bukan menjadi hal yang utama lagi. Yang menjadi perhatian utama adalah proses transformasi itu sendiri sehingga berbagai event dalam space dapat dinaungi oleh place di posisi yang sama. Skala bangunan ini kemudian berdampak pada skala kota yang lebih luas dimana atmosfer di sekitar bangunan turut terpengaruh oleh atmosfer event yang sedang berlangsung dalam kurun waktu tertentu.

Dari contoh-contoh ini kita dapat belajar bahwa dunia ini tidak statis melainkan dinamis, selalu terjadi perkembangan yang menunjukkan peningkatan pemikiran manusia terhadap dunia. Dan secara sadar pemikiran manusia juga mengalami transformasi, sehingga kondisi unreal dalam film ‘Transformer‘ bisa jadi real pada beberapa sektor kehidupan. Hal ini tak terelakkan dengan penemuan-penemuan mutakhir dari teknologi komputerisasi sebagai suatu bentuk transformasi sebuah peradaban. Aplikasi teknologi dalam ruang juga sangat dimungkinkan sehingga ruang nyata sekarang ini mampu bertransformasi menjadi cyber-space.

Siapkah kita menghadapi transformasi ini?

Sudah sejauh mana transformasi yang terjadi pada diri anda? Pemikiran dan ‘ruang’ anda?

Geometri “Bersih-Kotor”

Filed under: locality and tradition — nurulislami @ 14:21
Tags:

Sehari-hari kita selalu berhadapan dengan aktivitas membersihkan diri dengan mandi, wudhu, mencuci tangan, buang air, dll. Beragam cara dilakukan untuk melakukan aktivitas “kebersihan“, mulai dari pendidikan kita dengan program pengajaran dari TK kita mengenal tata cara mencuci tangan, menggosok gigi dan serangkaian kegiatan membersihkan diri lainya. Konsep bersih dan kotor ini juga menjadi sesuatu yang diajarkan dalam agama. Kebersihan sebagian dari Iman merupakan salah satu kalimat yang paling sering kita dengar. Konsep bersih kotor yang berhubungan dengan diri seseorang dalam sistem masyarakat, berkaitan dengan ajaran agama Islam misalnya, sebelum melaksanakan sholat terlebih dahulu harus mensucikan diri dengan berwudhu menurut tata cara tertentu. Sebelum hari pertama puasa sebagian masyarakat di daerah melakukan serangkaian ritual mensucikan diri dengan menceburkan diri di laut atau Kungkum atau mandi beramai-ramai di sumber air. Aspek yang tidak dapat diamati oleh manusia adalah kebersihan rohaniah pada saat menghadap Tuhan Yang Maha Esa. Begitu melekatnya konsep bersih kotor ini juga berkaitan dengan diri pribadi juga mencakup kata-kata dan tindakan. Sebagian dari masyarakat kita menghindari kata dan tindakan kotor baik pada saat sendirian maupun didepan orang lain.

Namun begitu bagaimana perwujudan konsep ini dalam arsitektur?

Dalam Feng Shui dijelaskan  bahwa kegiatan yang berlangsung di dalam kamar mandi melibatkan energi lima elemen (air, api, kayu, logam dan tanah), karena itu lokasi kamar mandi harus dipilih dengan cermat. Posisi kamar mandi yang tidak baik dapat memberi efek berbahaya, melarutkan energi chi ruangan yang lain di rumah itu. Sebaiknya letak kamar mandi berada di sudut belakang dan agak ke belakang rumah. Yang penting tidak di bagian depan rumah dan sejajar dengan dinding luar. Kalau letaknya harus berada di ruang keluarga atau kamar tidur, sebaiknya posisi kamar mandi sedikit tersembunyi dengan ventilasi alam yang baik dan benar, seperti jendela yang bisa mengakses udara dari taman atau ruang terbuka. Untuk kamar mandi yang terjepit di antara dua kamar tidur, sebaiknya di bagian plafon memiliki rongga dan kaca yang tembus cahaya, agar bau tak sedap dan kelembaban bisa dikurangi. Pintu kamar mandi jangan berhadapan dengan pintu ruang lainnya. Bila ada yang berhadapan, sebaiknya mengeser salah satu pintu atau memberi satu penyekat diantara dua pintu tersebut.

Kita mengenal sumbu-sumbu dalam geometri, konsep bersih kotor ini juga kemudian didefinisikan dalam atas-bawah, kiri-kanan, depan belakang. Ke arah muka adalah menuju kepada kemajuan dari gerakan berjalan. Dimensi muka adalah waktu yang mendatangi manusia, alam harapan, dan keberanian. Arah atas menyimbolkan dimensi cita-cita, dunia para dewa, dan dimensi Yang Maha Agung, sedangkan kiri-kanan memberikan simbol  kemudian kiri-kanan memberikan simbol dualitas. Dalam budaya Jawa, manusia akan selalu mengarungi kehidupan di dalam kancah peperangan dualitas: baik-buruk, suka-duka, hitam-putih, dan seterusnya. Bagian kanan merupakan dunia yang baik dan bersih dan bagian kiri merupakan dunia yang buruk dan kotor. Dalam pembagian ruangnya rumah joglo didasarkan pada sistem sumbu dan hirarki. Letak pawon dan kamar mandi terpisah dari rumah utama dan terletak pada bagian belakang.

Konsep bersih-kotor merupakan salah satu  hasil proses belajar dari lingkungannya. Proses ini kemudian digunaan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan disekitarnya sehingga melahirkan suatu sistem kategorisasi tentang lingkungan yang mencakup banyak hal, yang berkaitan dengan baik dan buruk, benar dan salah, kiri dan kanan, kotor dan bersih. Kategori tersebut sebagai pengendali tingkah laku dan tindakan. Pengendali tersebut harus diikat oleh suatu sistem etika dan pandangan hidup.

Pustaka

http://www.rumahdanproperti.com/news/13/fengshuikamarmandi-78.aspx

http://www.djojosastro.info/_kisah.php

Peta dan Geometri

Filed under: ideal cities — arumthequeen @ 14:20
Tags: , ,

Sebetulnya tulisan ini hanya mengenai sesuatu yang sederhana yang muncul dalam benak saya ketika menikmati macetnya Jakarta. Saat terjebak tak bergerak, dan mencoba mencari satu jalan tak berpapan nama diantara puluhan jalan lainnya di kawasan yang tidak saya akrabi sebelumnya. Lalu yang terlintas dalam pikiran saya adalah, “Hm……andaikan saya punya peta saat ini….”.

Mengingat peta, membuat saya mengingat juga geometri. Secara harafiah, geometri diartikan sebagai mengukur bumi, dan peta bisa dikatakan sebagai gambaran bumi. Dan saat mengingat peta, yang terlintas dalam pikiran saya adalah sangat beragamnya jenis peta. Bagaimana satu kawasan dapat digambarkan melalui beberapa peta yang berbeda. Mungkin buat yang terbiasa pergi keluar kota terutama pada saat hari raya, bisa melihat keragaman jenis peta pada peta perjalanan yang biasa dibagikan oleh posko – posko hari raya.

Di lembar peta tersebut kita bisa menemukan peta bumi, peta jalan atau kawasan , dan peta topologi. Lalu apa kaitannya dengan geometri?. Yang pertama sekali saya pahami pada saat melihat peta adalah bagaimana bumi sebagai obyek tiga dimensional dipindahkan atau ditransformasikan ke dalam obyek planar atau obyek dua dimensional. Dan yang kedua adalah, bagaimana kemudian obyek dua dimensional ini dapat menjelaskan suatu kondisi tiga dimensional melalui representasi dua dimensional. Kemudian apa yang terjadi dengan geometri di dalam peta?.

Pada saat melihat peta bumi, saya menyandingkannya dengan peta kontur. Pada peta bumi, daratan dan laut dibagi dalam kelompok kelompok warna yang menjelaskan posisi tinggi rendah kawasan di atas bumi. Secara lebih detail di dalam peta kontur, bentuk bentuk garis dan lengkung yang tersusun secara rapat dan renggang, digunakan untuk menjelaskan kedalaman dan ketinggian. Susunan garis yang rapat menunjukan kecuraman sebuah tempat sementara garis yang renggang menunjukan posisinya yang landai. Di dalam peta seperti ini, saya melihat bagaimana geometri dapat digunakan untuk menggambarkan bentuk tiga dimensional sesungguhnya yang ada di alam, menunjukan posisi sebuah obyek atau kawasan di dalam orientasi vertikalnya.

Di dalam peta kedua yaitu peta jalan atau kawasan yang biasanya merupakan gambaran lebih detail dari peta bumi, dimana yang digambarkan adalah kondisi sesungguhnya yang terdapat di dunia aslinya. Di dalam peta ini, kita bisa mengetahui pola yang terdapat di dalam sebuah kawasan. Kita bisa mengetahui sebaran jalan, taman, dan ruang ruang kota yang dijelaskan melalui representasi garis dan geometris. Disini saya melihat geometri digunakan untuk menjelaskan posisi, jarak, orientasi horisontal dari obyek yang berada di kawasan tersebut melalui representasi dua dimensionalnya.

Dan selanjutnya, yang umum kita temui dalam peta perjalanan adalah peta topologi. Dimana posisi dan lokasi dijelaskan melalui titik dan garis yang dihubungkan satu sama lain. Disini yang saya lihat adalah penyederhanaan dari kondisi yang sesungguhnya. Lokasi dan posisi digambarkan tidak lagi berdasarkan jarak dan orientasi tetapi lebih pada koneksitas yang terjalin antara posisi atau lokasi yang satu dengan yang lainnya.

Dari pengamatan sederhana ini, saya melihat bahwa geometri di dalam sebuah peta sebagai sebuah kesimpulan awal dapat berfungsi sebagai representasi tiga dimensional di dalam obyek dua dimensional, yang dapat menunjukan orientasi vertikal, horisontal, posisi, jarak, dan lokasi, serta koneksitas yang terdapat di dalamnya.



Fractal Architecture

Filed under: contemporary theories — arumthequeen @ 14:18
Tags: ,

Fractal, pada saat kita mendengar kata ini kita pasti akan langsung mengaitkannya dengan matematika, pelipat gandaan dan geometry. Beberapa definisi yang saya temukan berkenaan dengan fractal menyatakan bahwa fractal adalah sebuah kajian didalam matematika yang mempelajari mengenai bentuk atau geometri yang didalamnya menunjukan sebuah proses penggandaan yang tanpa batas. Geometri yang dilipat gandakan tersebut memiliki kemiripan bentuk satu sama lain (self-similarity), dan pada penyusunan pelipatgandaannya tersebut tidak mengacu pada satu pakem orientasi tertentu bahkan cenderung meliuk liuk dengan detail dan dimensi yang beragam mulai dari kecil hingga besar.
Fractal ini banyak ditemui di alam, seperti pada pola yang terdapat di daun, ranting ranting disebuah pohon, pada detail yang bisa kita lihat pada sebuah kepingan salju, di sayur brokoli yang kita makan, di gugusan awan putih yang kita pandang, di dalam riak ombak, dan banyak lagi bila kita mencoba memperhatikan sekitar kita secara lebih teliti.
Fractal bisa dikatakan sebagai sebuah simetri yang terbentuk di alam. Simetri yang selama ini kita kenal terutama yang biasa digunakan dalam Euclydian Geometri adalah simetri yang sama dan sebangun. Sementara simetri yang terdapat di dalam fractal geometri mengandung campuran antara unsur order seperti yang terdapat di dalam simetri euclydian sekaligus memiliki unsur kejutan di dalam bentuk komposisi ritmis yang tidak dapat ditemui di dalam euclydian geometri.
Kaitannya dengan desain dan arsitektur, euclydian geometri dianggap tidak menunjukkan adanya alur dengan unsur kedalaman tekstur di dalamnya, bahkan bila kita amati lebih lanjut, bentuk yang terdapat di dalam euclydian geometri hanya terdiri dari garis dan lengkung. Dan di dalam arsitektur menurut Carl Bovill di dalam bukunya Fractal Geometry In Architecture And Design, penggunaan bentuk bentuk euclydian geometri di dalam arsitektur menghasilkan karya arsitektur yang datar dan tidak alami, sementara penggunaan fractal geometri dianggap lebih mendekati bentuk dan proses transformasi bentuk yang terjadi di alam. Terutama dalam menghasilkan komposisi ritmis yang lebih kompleks, yang dapat memberikan elemen order dan surprise pada saat yang bersamaan.
Fractal di dalam arsitektur dipahami sebagai komponen dari bangunan yang mengulangi bentuknya kembali di dalam skala skala yang berbeda. Beberapa arsitek ternama dunia ternyata telah menggunakan pendekatan fractal geometry di dalam karya arsitektur mereka. Seperti contohnya yang dilakukan oleh Le Corbusier pada Villa Savoye atau Frank Llyod Wright pada Palmer House. Bila kita tarik mundur jauh ke belakang, ternyata karya karya arsitektur klasik atau beberapa arsitektur tradisional pun dapat dijelaskan melalui matematika fractal. Dalam hal ini saya melihat Candi Borobudur dengan sebaran stupanya dapat diurai dan dijelaskan dengan geometri fractal.
Sementara untuk arsitek postmodern atau contemporer sekarang ini banyak dari mereka yang menggunakan pendekatan geometri fraktal dalam karya karyanya. Seperti yang bisa kita lihat pada beberapa karya Zaha Hadid, salah satunya yaitu kompleks Masjid di Strasbourg, Prancis. Yang oleh Zaha Hadid dikatakan merupakan sebuah bangunan yang dirancang dengan pendekatan ‘fractal space’, terinspirasi oleh geometri Islami, bentuk fisik dan simbolik dari air, metafora kaligrafi dan metodelogi pembentukan pola, yang menurutnya gabungan dari semua itu menghasilkan karya yang puitis dengan bentuk yang mengalir.

Click to access Jsalaworkshop.PDF

http://en.wikipedia.org/wiki/Fractal
http://books.google.co.id/books?id=9YxYdih3TEoC&pg=PT47&lpg=PT47&dq=zaha+hadid+fractal
Carl Bovill, Fractal Geometry in Architecture and Design. Boston: Birkhauser Verlag ag, 1996.

Belajar dari Kemasan

Filed under: locality and tradition — andisuryakurnia @ 14:10
Tags: ,

Dewasa ini, suatu produk tersaji lengkap dengan kemasannya. Kemasan bukan saja bertujuan untuk mempermudah transportasi suatu produk, tetapi juga mampu melindungi produk dan memiliki daya simpan yang baik. Bahkan seringkali keputusan untuk memiliki suatu produk ditentukan oleh kemasannya. Sehingga kemasan bukan hanya bersifat pelengkap semata namun juga menjadi faktor kunci sebuah pemasaran produk. Dengan demikian faktor estetika turut menjadi pertimbangan sebuah desain kemasan untuk menarik minat pembeli.

Masa lalu kemasan dapat ditemukan pada beragam bahan alami seperti: keranjang dari alang-alang, wadah simpan anggur dari kulit kambing, kotak dan drum dari kayu, vas tembikar, dsb. Di dunia arkeologi, kemasan merupakan suatu studi penting dalam mempelajari sebuah artefak. Kemasan kemudian banyak dijumpai menggunakan bahan lainnya seperti gelas dan logam. Pada awal abad ke-19 mulai diperkenalkan penggunaan kaleng berbahan campuran besi dan aluminium sebagai material sebuah kemasan. Dan di akhir abad ke-19 kemasan terbuat dari karton berbahan dasar kertas maupun fiber.

Bahan karton ini memiliki elastisitas yang cukup tinggi sehingga kemasan dapat diwujudkan dalam pelbagai rupa sesuai dengan kebutuhan dan keinginan perancangnya. Kreativitas menjadi kunci utama dalam desain suatu kemasan yang bertujuan untuk menampilkan produk semenarik mungkin sekaligus berfungsi sebagai pelindung produk yang ringkas dibawa-bawa kemana-mana baik dalam perjalanan jarak dekat maupun jauh serta memberikan kemudahan dalam penyimpanannya. Dengan bahan karton ini, kemasan dapat terbentuk dari proses memotong dan melipat sehingga kemasan tidak lagi berwujud seperti pada umumnya namun bisa beraneka ragam rupa yang seringkali mencerminkan karakter dari sebuah produk.

Desain kemasan ini kemudian menginspirasi saya untuk mempelajarinya lebih jauh melalui proses kreatif yang terjadi di dalamnya, yang bukan saja mengedepankan fungsi ‘wadah’ saja tetapi terdapat tahapan pembentukan untuk mencapai tampilan akhir.
Yang menarik dari pembuatan kemasan ini ialah proses desain kemasan secara struktural sehingga didapatkan beragam wujud yang memerlukan percobaan-percobaan sebagai proses pembelajaran sebelum sampai pada wujud akhir yang diinginkan. Proses desain struktur kemasan ini terbagi dalam tiga prinsip utama pembelajaran yaitu: studi tentang struktur dasar (basic structures), studi tentang metoda kunci (locking methods), dan studi tentang proses penyusunan (terminology).

Dalam keseharian sering kali kita juga melakukan hal serupa (baca: 3 prinsip utama kemasan) dalam suatu perencanaan dari skala kecil sampai skala besar. Seperti misalnya perencanaan liburan yang diawali dengan menetapkan kegiatan ataupun tempat untuk mengisi liburan sebagai struktur dasar dalam perencanaan, kemudian dilanjutkan dengan penetapan waktu ataupun tempat yang tepat untuk berlibur (misalnya saat liburan anak sekolah) sebagai ‘kunci’ perencanaan liburan, dan pada akhirnya disusun jadwal kegiatan, tempat, dan waktu sebagai suatu agenda besar untuk mengisi liburan tersebut (sebagai proses penyusunan). Dengan prinsip-prinsip ini liburan yang direncanakan kemungkinan besar dapat berlangsung dengan baik, kecuali jika terganggu oleh faktor alam seperti cuaca buruk.

Dalam skala besar seperti perencanaan kota sebenarnya prinsip yang sama masih bisa diberlakukan dengan melibatkan kajian yang mendalam tentang ‘struktur dasar’ suatu kota misalnya pengetahuan bahwa pertumbuhan kota yang diawali dari keberadaan sumber kehidupan (air) seperti sungai, kemudian dilanjutkan dengan penetapan ‘kunci’ berupa pengetahuan mengenai faktor-faktor berkehidupan masyarakat kota, dan pada akhirnya dihasilkan kebijakan-kebijakan yang merupakan bagian dari ‘proses penyusunan’.

Namun seringkali juga kita jumpai ketiga prinsip utama ini berlangsung kurang/tidak terkait satu sama lain dalam suatu perencanaan, sehingga rencana yang telah ditetapkan (skala besar dan kecil) kurang/tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tulisan ini menjadi bahan pembelajaran bagi saya untuk mengingat kembali akan proses yang seharusnya berlangsung dalam berbagai perencanaan termasuk perencanaan arsitektur.

Bagaimana menurut anda?

Sumber:

http://e.wikipedia.org/wiki/Packaging_and_Labelling

Structural Package Designs. Amsterdam: The Pepin Press. 2003