there’s something about geometry + architecture

April 4, 2011

Peletakan Kancing (dan Geometri Arsitektur?)

Filed under: architecture and other arts — mahasiswainterior @ 20:31
Tags: ,

Mungkin banyak di antara kita yang tidak menyadari adanya perbedaan peletakan kancing pada busana pria dan busana wanita. Perbedaan peletakan keduanya adalah : pada busana wanita, kancing terdapat di bagian kiri pakaian dan lubang kancing terdapat di bagian kanan pakaian, sehingga gerakan mengancing bergerak dari kiri ke kanan dan tangan dominan yang digunakan ketika mengancingkan baju adalah tangan kanan. Peletakan ini berkebalikan dengan peletakan kancing pada busana pria sehingga tangan pria yang dominan digunakan ketika memasang kancing adalah tangan kiri.

Sejarah menyebutkan peletakan kancing pada bagian kiri busana wanita dimulai dari zaman dahulu, ketika wanita masih dibantu pelayannya yang mayoritas tidak kidal untuk mengenakan baju. Sedangkan busana laki-laki dibuat seperti itu karena pada zaman dahulu laki-laki harus selalu siap berperang sehingga tangan kanannya harus selalu hangat, dengan demikian akan lebih mudah jika proses mengancing dari kanan ke kiri.

Sejarah tersebut memang masih diragukan kebenarannya, dan pada masa sekarang sudah banyak berkembang baju-baju unisex yang tidak memedulikan peletakan kancing baik untuk pria maupun wanita.

Dibalik semua itu, tulisan ini bertujuan sebagai pemicu bagi kita bersama untuk berpikir lebih jauh, mungkinkah perbedaan peletakan kancing pada busana juga berperan pada perbedaan cara berpikir pria dan wanita? Mungkinkah hal yang serupa diterapkan pada suatu bangunan atau interior? Atau mungkinkah sebenarnya fashion memiliki kaitan yang erat dengan geometri dan arsitektur jika ingin digali lebih jauh?

Sumber :

Feldman, David. 2006. Mengapa Jarum Jam Bergerak Ke Kanan dan Mengapa-Mengapa Lainnya. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

March 25, 2011

Sisi Indah dari “Earth Intruders” yang Chaotic

Filed under: architecture and other arts — FebyHK @ 17:16
Tags: , ,

Pada kelas geometri sempat dipaparkan mengenai order. Spesifiknya, hal ini dijelaskan dengan gambaran ‘ideal’ kota-kota yang tampak rapi dengan bentuk-bentuk solidnya. Penjelasan (sekilas) mengenai order dan gambaran ideal itu membuat saya bertanya-tanya “apa sebenarnya order dan apa pengaruhnya order (dan disorder) pada persepsi kita?”

Pada bukunya yang berjudul “Aesthetic Order” Ruth Lorand menulis bahwa rumusan paling kuno dari “kecantikan” (beauty) adalah “unity in diversity“. Hal ini ia perjelas lagi dengan pernyataan bahwa “… no order exists in simple, totally homogeneous system. It also follows that if beauty is indeed an expression of order, beauty is never simple” . Mungkin hal ini dapat dilihat dari cara kita mengkelaskan sesuatu. Kita ambil contoh saat kita sedang survey site, maka kita kerap kali mendokumentasikan data yang kita dapat secara acak dan baru mengelompokannya ketika selesai survey. Kita mengelompokkan data itu karena kita memiliki keinginan untuk memberitahukan apa yang kita dapat lalu menganalisanya dengan mudah. Tentu untuk mengelompokkan data-data itu bukanlah hal yang mudah. Kompleks, lebih tepatnya.

Jika begitu, bagaimana dengan “disorder” ? Apakah ia lawan dari “order” itu sendiri sehingga bentuknya tidaklah sekompleks “order”? Ruth Lorand juga menjelaskan, bahwa disorder dalam “kekacauannya” membuat semua hal terkesan sama. Hal ini disebabkan tidak adanya pengelasan yang biasa kita lakukan pada ranah “order”. Namun, Lorand juga berkata bahwa “… disorder also appears in sets (which are complex by definition).
Consequently, order and disorder do have some common features and thus
disorder is not an outright opposite of order“. Hmm..membingungkan!

Bagaimanapun, saya tetap mencoba menafsirkan apa itu “order” dan “disorder” yang dimaksud Lorand. Mungkin dengan video klip seorang penyanyi terkenal asal Islandia, Bjork, order dan disorder tersebut dapat diketahui.

Pertama kali melihat video ini saya terpukau dengan background-nya yang surrealist dan tarian-tarian yang dilakukan oleh para siluet. Setelah saya  menonton sampai selesai ternyata tarian tersebut saya tangkap sebagai representasi dari lirik lagunya:

Siluet serupa pohon dengan batang dan rantingnya, merepresentasikan “twigs and branches
koreografi tarian bertambah, tidak hanya siluet orang berjalan sambil menunduk tetapi juga siluet orang-orang yang merentangkan tangannya. Koreografi ini tepat ketika Bjork menyanyikan lirik “turmoil!…carnage!” (kacau!…pembunuhan massal!). Sisi “kekacauan” dapat dilihat dari kepala Bjork sebagai background yang dipampang terbalik
Warna background berubah menjadi biru dengan salju yang turun perlahan-lahan disertai tarian dengan tangan terbuka oleh para siluet. Hal ini dilakukan tepat ketika Bjork menyanyikan “Goodness“. Dengan kata lain, “Shower of goodness..” direpresentasikan dengan background yang menyerupai hujan salju disertai siluet yang seolah-olah menyambut hujan salju tersebut.
Di sini mulai terjadi permainan warna yang lebih banyak dari sebelumnya, tidak hanya pada background tetapi juga cahaya yang seolah-olah keluar dari tangan para siluet. Sinar-sinar itu merepresentasikan “sharp shooters” atau penembak. ‘Tembakan’ semakin banyak seiring kata “voodoo” dinyanyikan seolah-olah menampilkan kutukan yang keluar dari tangan para siluet.

Dari sekilas apa yang telah diperhatikan dari video klip Bjork ini dapat dilihat representasi “disorder” (atau “chaos”) dengan bentuk terbaliknya kepala Bjork, koreografi  tembak-menembak, perubahan warna background, dan sebagainya. Jika melihat lirik keseluruhannya memang lagu yang berjudul “Earth Intruders” ini mengisahkan persepsi Bjork tentang kita, manusia, sebagai pengganggu bumi. Kita membuat kekacauan dengan membunuh secara massal, membuat kebisingan, menghilangkan segala kebaikan, dan merusak lahan bumi. Itulah “chaos” di mata seorang Bjork.

Ketika saya cari infonya lagi ternyata lagu ini dibuat karena Bjork bermimpi mengenai tsunami dan banyaknya orang yang jatuh miskin karenanya. Bjork sendiri menganggap lagu ini memang kacau. “It’s a quite chaotic song,” ucapnya. Video klip ini diakhiri dengan Bjork yang membuk.  matanya dengan background pegunungan yang indah (tidak surrealist lagi). Bjork seolah-olah lepas dari mimpi buruknya.

Terlepas dari pengalaman Bjork, video klip ini sebenarnya memiliki “order” yang kemudian menciptakan “beauty“. “Order” tersebut terbentuk dari koreografi-koreografi yang serentak dan kompak meskipun berbeda-beda. Namun, di beberapa saat ada koreografi yang memang terlihat tidak kompak, mengindikasikan “disorder” (seperti ketika bagian “tembak-menembak”) Dari hal tersebut saya melihat bahwa “order” dan “disorder”, entah bagaimanapun persepsi kita mengenai kedua hal itu, sebenarnya dapat menjadi komposisi yang menarik, semenarik video ini. Tidak hanya itu, permainan dinamika antara musik, lirik, dan tarian juga menjadi pengalaman yang menarik ketika menonton video ini. Terlebih video ini juga memberi pesan yang mendalam bagi kita.

Untuk tahu lebih banyak soal videonya, silakan: http://www.youtube.com/watch?v=s-V_CtrVj5U&feature=related

sumber:

“Aesthetic Order” oleh Ruth Lorand

http://en.wikipedia.org/wiki/Earth_Intruders

March 23, 2011

Mess is the Law

Filed under: contemporary theories — buyunganggi @ 15:41
Tags: ,

Tulisan ini akan membahas tentang architectural mess yang dimaksudkan oleh Jeremy Till dalam bukunya Architecture Depends. Saya mencoba membahasnya dengan cara membandingkan antara mess yang dimaksud olehnya(Till) dengan pengertian mess oleh dua arsitek lain(Leach & Harries).

Architecture depends… on what? Begitulah pertanyaan yang langsung muncul di pikiran saya ketika membaca judul buku yang ditulis oleh Jeremy Till, Architecture Depends. Arsitektur bukan merupakan sebuah disiplin ilmu yang bisa berdiri sendiri. Buku ini menjelaskan bagaimana seharusnya sebuah arsitektur itu bisa bekerja dengan baik, dengan memperhatikan segala aspek yang terdapat di dunia nyata. Realita kehidupan sehari-hari masyarakat – yang mengokupansi ruang – merupakan fokus utama dalam memproduksi sebuah arsitektur yang baik.

“But architects will deserve this attention only if they give up their delusions of autonomy and engage with others in their messy, complex lives. Then, maybe, mess will be the law“.(Till, 2009)

Jika Mies van de Rohe menyatakan “Less is More”, sedangkan Robert Venturi membantahnya dengan “Less is Bore”, maka Jeremy Till muncul dengan sesuatu yang baru, “Mess is the Law”. Till menekankan tentang mess yang dihasilkan oleh masyarakat kita, bukan merupakan sebuah ancaman bagi sebuah arsitektur. Akan tetapi, merupakan sebuah kesempatan bagi arsitek untuk menyelesaikanya(secara spasial).

“I am only suggesting that contingency is a pivotal feature, and needs to be taken into account rather than avoided as a potential threat. In this contingency situates us in the real world, providing opportunities for transformative change while avoiding the siren calls of ideals”.(Till, 2009)

Pada akhirnya, architectural mess menghasilkan, dalam sebuah masyarakat tertentu, sebuah contingency. Contingency merupakan gabungan antara sebuah keadaan yang sebenarnya/realita dengan sebuah kemungkinan(Hegel,1969). Menurut Till(2009), kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di dalam realita masyarakat kita inilah yang seharusnya diperhatikan oleh para arsitek. Hal yang demikian akan menghindarkan arsitektur dari sesuatu yang ideal, karena sesuatu yang ideal belum tentu merupakan sesuatu yang dibutuhkan.

“Where order and certainty close things down into fixed ways of doing things, contingency and uncertainty open up liberating possibilities for action. In this light contingency is more than just fate; it is truly an opportunity”.(Till, 2009)

Ketika architectural mess melahirkan sebuah contingency, hal tersebut bukan merupakan sebuah ancaman bagi arsitektur. Sebuah kemungkinan justru akan menghasilkan suatu kesempatan yang memicu kreativitas. Lebih lanjut, Till(2009) menganalogikan cara arsitek untuk menyelesaikan kesempatan-kesempatan tersebut, yaitu dengan menjadi Angels with Dirty Faces yang mengibaratkan arsitek merupakan seorang malaikat yang dapat pergi kemana saja bahkan sampai ke kedai-kedai kopi untuk mengamati realita kehidupan masyarakat yang menjadi obyek utama bagi asitektur.

“They then sweep down, colored and embodied, discursive and slightly grubby as they drink cheap coffee from street stalls. It is movement from on high to low and back again that is necessary for architectural angels if one is not going to get overwhelmed by the brute realities of the everyday world”.(Till, 2009)

Dari pembahasan di atas, Jeremy Till lebih menitikberatkan architectural mess yang bersumber dari social lives. Bagaimana dengan arsitek-arsitek lainnya?

“Architects have become increasingly obsessed with image and image-making, to the detriment of their discipline. The sensory stimulation induced by these images may have a narcotic effect that diminishes social and political awareness, leaving architects cosseted within their aesthetic cocoons, remote from the actual concerns of everyday life”. (Leach, 1999)

Neil Leach(1999) mencoba memberikan konteks yang berbeda kepada architectural mess. Menurutnya, akan sangat tidak benar jika para arsitek hanya memikirkan tentang image di dalam sebuah arsitektur. Mess dalam konteks ini lebih menekankan tentang mess yang hadir akibat salah persepsi oleh sang arsitek sehingga menghasilkan sebuah karya arsitektur yang dapat merusak kehidupan sosial budaya masyarakat. Dalam hal ini, mess merupakan sebuah hasil dari suatu tindakan yang dilakukan oleh arsitek.

“Architecture along the principles of functionalism, programmatic, determinism, and technological expressionism, produce building, without connection to site & place, the human being, and history ”.(Harries, 1997)

Karsten Harries(1997) berpendapat bahwa architectural mess adalah apa yang dilakukan oleh para arsitek modernism. Menurutnya, mass production sangat tidak humanis. Oleh karena itu, arsitektur harus lebih memperhatikan manusia yang akan menggunakannya.

Dari ketiga pendekatan tentang architectural mess di atas, masing-masing memang memiliki konteks yang berbeda. Jeremy Till memberikan penekanan bahwa mess yang ada pada masyarakat kita merupakan obyek yang harus dipahami agar menghasilkan sebuah arsitektur yang baik. Sementara Neil Leach menekankan bahwa interpretasi seorang arsitek yang salah terhadap suatu obyek akan menghasilkan mess dalam masyarakat tersebut. Sedangkan Karsten Harries berpendapat bahwa mess akan terjadi jika arsitek tidak memperhatikan manusia sebagai aktor utama dalam arsitektur.

Organic Order?

Filed under: locality and tradition — buyunganggi @ 15:34
Tags:

Pada awal Februari 2011, saya pertama kali datang ke angkringan(tempat makan/warung kopi khas Jogja) di salah satu sudut di jalan Margonda. Angkringan tersebut mereproduksi teras/trotoar sempit di depan sebuah showroom mobil. Saat itu hanya terdapat gerobak makanan dan dua buah tikar gulung yang di gelar di samping gerobak, plus dua orang mas-mas pramusaji. Seminggu kemudian, tikar gulung bertambah menjadi empat. Dan beberapa hari berikutnya, ketika saya kembali lagi berkunjung, sudah terdapat kantilever sederhana yang terbuat dari terpal plastik yang disambungkan ke atap showroom sebagai penahan tampias air hujan.

Seorang tukang parkir, 6 tikar plus tikar cadangan, dan tambahan pramusaji adalah perkembangan angkringan ini ketika saya kembali dua hari berikutnya. Dan puncaknya, akhir bulan Februari, terdapat 8 tikar gulung(plus cadangan, dengan catatan tidak memungkinkan lagi digelar karena sudah sampai batas toko sebelah yang masih buka pada malam hari), sekitar 5 orang pramusaji, 2 orang tukang parkir(di kiri kanan sudah ada tanda batas parkir dari toko sebelah, saking penuhnya), panahan tampias yang lebih lebar, serta pangamen dan pengemis yang berdatangan silih berganti. Terhitung hanya sekitar sebulan angkringan ini menjadi salah satu tujuan favorit masayarakat sekitar. Lalu apa sebenarnya yang melatarbelakangi hal ini?

Jika dilihat secara kasat mata, fenomena keramaian tempat makan ini merepresentasikan keberhasilan dari si penguasaha warung ini dalam berbisnis maupun berarsitektur. Bagaimana pun, sebelum membuka angkringan ini sang pemilik pasti telah memikirkan hal-hal mengenai para calon konsumen maupun konteks sosial  serta keruangan yang ada di tempat tersebut, walupun mungkin hanya secara sederhana. Akan tetapi, yang patut dipertanyakan, kenapa angkringan yang berasal dari Jogja bisa begitu cepat diterima dan cukup berhasil menarik minat masyarakat Jakarta. Padahal, Christoper Alexander (1977) mengatakan “it is shown there, that towns and buildings will not be able to become alive, unless they are made by all the people in society, and unless these people share a common pattern language, within which to make these buildings, and unless this common pattern language is alive itself .“ Dengan kata lain, sebuah bangunan akan bisa menjadi hidup jika bangunan tersebut dibuat sendiri oleh orang-orang yang ada dalam sebuah masyarakat tertentu, dan jika masyarakat tersebut memiliiki sebuah pemahaman yang sama mengenai ‘pola bahasa’ untuk membuat bangunan ini, dan dan juga jika ‘pola bahasa’ (atau mungkin juga bisa disebut budaya/kebiasaan setempat) ini harus tetap lestari di tengah-tengah masyarakat tersebut.

Dalam the Oregon Experiment (Alexander, 1975), disebutkan bahwa organic order is the kind of order when there is a perfect balance; between the needs of the parts, and the needs of the whole. Mungkinkah angkringan tersebut telah meyeimbangkan order yang ada di jalan Margonda? Atau kah prinsip partisipasi(Alexander, 1975) berperan dalam hal ini?

Sebenarnya, tidak diperlukan orang Jogja untuk membangun dan kemudian mereka nikmati sendiri angkringan tersebut. Berpegang pada prinsip user – oriented, Muf Art & Architecture, dalam Occupying Architecture(Hill, 1998), berhasil membangun sebuah shared ground yang mengakomodir kebutuhan masyarakat sekitar, the Tate(Museum baru yang melatarbelakangi dibangunnya shared ground), serta masyarakat baru yang akan mnendatanginya. Muf mewawancarai 100 penduduk lokal, bertanya tentang keinginan mereka terhadap pembangunan shared ground yang sesuai menurut mereka. Video rekaman ini kemudian dikenal dengan “100 desires for SouthWark Street”. Mengacu pada strategi ini, sebenarnya hanya diperlukan pengenalan terhadap konteks sosial, politik, dan material yang mendalam terhadap sebuah masyarakat agar arsitektur yang kita hasilkan dapat berfungsi dengan baik(Brandt, 1998).

Ideal City, Apakah Hanya Sebuah Persepsi?

Filed under: ideal cities — meiyogo89 @ 14:44
Tags: ,

Pada pembahasan kali ini saya ingin mengungkapkan pendapat saya tentang Ideal City. Saya mendapat ide saat hari Minggu kemarin tanggal 20 Maret 2010, saya menjadi salah satu guru sekolah minggu di gereja ,untuk anak-anak yang kira-kira berumur 7-9 tahun. Mereka mendapt tugas untuk menggambar apa itu surga? Bermacam-macam hasil gambar mereka, namun ada satu gambar yang membuat saya menarik, salah seorang anak bernama Rio menggambar sebuah kota yang semuanya dipenuhi permen dan cokelat dan bangunan-bangunannya dibuat juga dari makanan. Yang kemudian saya bertanya kepada anak itu mengapa dia menggambar sperti itu, kata dia,” kalo semua terbuat dari makanan kan kita g bakal takut lapar lagi kan kak?”. Kata- kata anak ini tadi mengingatkan saya dengan Ideal City yang saya dapatkan di Mata Kuliah Geometri. Yang kemudian memberi saya ide untuk membahas apakah ideal city itu berbeda-beda pada tiap persepsi manusia.

Kemudian saya teringat akan sebuah artikel yang saya baca di Internet.Pada era tahun 80-an Affandi, seorang pelukis Naturalisme yang amat terkenal, melukis keadaan kota Jakarta dimana saat itu ia sedang melukis bundaran HI. Namun, yang menarik adalah pada lukisan itu adalah, si “Bundaran HI” itu sendiri malah diletakkan dipinggir jalan oleh Affandi. Saat diwawancara mengapa bundaran HI itu dipindah olehnya, Affandi menjawab, ”biar tidak macet”. Secara tidak langsung Affandi mengekspresikan langsung keadaan yang sering terjadi di HI. Hal ini yang menarik menurut saya dimana peran sebuah ‘Order’ di Jakarta(bundaran HI), yang digunakan untuk mencoba merealisasikan sebuah “ideal city” dimana dalam kasus ini, Order itu berperan untuk menjawab masalah “Macet” yang ternyata masalah itu tak terselesaikan hingga saat ini. Seorang seniman seperti affandi mencoba menggambarkan “order” dalam lukisannya, dimana ia meletakkan Bundaran HI pada lukisan itu dipinggir jalan. Ia mencoba merealisasikan Ideal City secara spontan lewat lukisannya.

Dalam bukunya, Wastu Citra, 1988, Y.B. Mangunwijaya di antaranya menulis: …Arsitektur yang berasal dari kata architectoon / ahli bangunan yang utama, lebih tepat disebut vasthu / wastu (norma, tolok ukur dari hidup susila, pegangan normatif semesta, konkretisasi dari Yang Mutlak ), lebih bersifat menyeluruh / komprehensif, meliputi tata bumi (dhara), tata gedung (harsya), tata lalu lintas (yana) dan hal-hal mendetail seperti perabot rumah, dll. Total-architecture tidak hanya mengutamakan aspek fisik saja, yang bersifat rasional, teknis, berupa informasi tetapi mengutamakan pula hal-hal yang bersifat transendens, transformasi, pengubahan radikal keadaan manusia. Oleh sebab itu citra merupakan bagian yang sangat penting dalam berarsitektur. Citra menunjuk pada sesuatu yang transendens, yang memberi makna. Arti, makna, kesejatian, citra mencakup estetika, kenalaran ekologis, karena mendambakan sesuatu yang laras, suatu kosmos yang teratur dan harmonis.

Dari kedua kasus diatas, muncul beberapa pertanyaan yaitu apakah peran “Order” dalam menciptakan Ideal City itu memang realistis? sebab jika dilihat dari kasus Bundaran HI, Order didaerah tersebut belum menyelesaikan permasalahan pada daerah tersebut, ataukah sebenarnya Ideal City itu hanyalah sebuah persepsi yang berbeda-beda pada tiap orang yang memahaminya? Seperti yang terjadi antara Rio dan Affandi saat mereka mencoba menggambar ‘ideal city’ menurut pemikiran mereka. Yang menjadi kesimpulan saya adalah, semua orang baik anak-anak maupun dewasa mempunyai pengertian “ideal” yang sesuai dengan persepsi mereka masing-masing. Dimana peran order  menurut saya hanyalah sebagai faktor pendukung terciptanya ‘ideal city’ yang tidak sepenuhnya bisa mewujudkan ‘ideal city’ itu sendiri.

Sumber : Mangunwijaya, Y.B. Wastu Citra. Penerbit Eirlangga.Jakarta.1988

May 31, 2010

Kota Kita Manusiawikah?

Filed under: ideal cities — agungsetyawan89 @ 23:26
Tags: , ,

Berikut adalah tulisan saya yang acak-acakan tentang kota Jakarta. Sudah saya coba untuk merunutkan sampai akhirnya saya jemu bahkan hampir frustasi dan ingin batal memposting tulisan ini. Masalah kota sudah terjalin sedemikian rumitnya, hingga bingung mana yang kiranya perlu dituliskan lebih dulu. Semuanya saling berhubungan maka saya jadi maklum bila pemerintah beserta pihak-pihak yang peduli tentang kota juga pusing mengurai permasalahan yang ada.
Saya mulai tulisan ini dengan pemicu awal yang membuat saya ingin menulis tulisan ini. video tentang kota batavia tahun 1941 dimana kebanyakan lalu lintas berjalan cukup lambat dan terasa ruang-ruang yang ada lebih manusiawi. (berikut link nya http://www.youtube.com/watch?v=kpHttkGF5PM)

Kecepatan tidak manusiawi.
Semua kendaraan melaju dengan kencang. Berbahaya bila berada di dekat jalan raya, dekat rel KA, takut tersambar. Bahkan di pedestrian dan jembatan penyebrangan pun berbahaya karena motor mampu melahap track offroad tersebut. Bisa dibilang ruang-ruang tersebut tidak manusiawi. karena manusia tidak bisa merasa aman dengan menjadi dirinya sendiri.
Kota semakin tidak kompak. Jarak yang berjauhan memaksa kaki untuk menginjak pedal lebih dalam agar mendapatkan kecepatan yang tinggi berharap waktu tempuh semakin singkat. Namun apa mau dikata, bukan hanya kita seorang yang melakukan hal ini. Macet menahan kita untuk bisa cepat sampai dirumah, dikantor, dimana-mana.

Macet.
Pemandangan yang jamak ditemukan di jalan raya pada pagi maupun sore hari adalah macet. Ketika lambat pun, keadaan jalan ini tetap tidak nyaman dilalui manusia(baca: pejalan kaki). terlalu tebal untuk bisa ditembus dengan nyaman. Terlalu panas, terlalu berasap, keterlaluan. Sehingga berkendara menjadi terlalu menyenangkan dibanding naik kendaraan umum atau berjalan kaki.

Sebuah anomali melihat munculnya komunitas bike to work, saya kerap tertegun melihat mereka begitu anggun melintasi padatnya jalan kota. Merayap dengan pasti melewati semua pesaing2nya yang berbadan tambun. Celah yang sedemikian kecil cukup bagi mereka untuk dapat melenggang dengan gaya seorang juara.
Berkembangannya permukiman di pinggiran kota membuat kota semakin tidak kompak. Selain harga yang lebih murah alasan lainnya adalah keinginan warga untuk dapat hidup dilingkungan yang lebih sehat dipinggir kota.

Makam.
Saya kembali ingat buku yang mengkritisi ruang terbuka hijau di jakarta, berjudul komedi lenong: satire ruang terbuka hijau. Salah satunya isinya membahas tentang potensi makam yang juga berperan sebagai ruang terbuka.
Keberadaan makam seperti menentang teori bahwa kota adalah pusat konsentrasi manusia membuat setiap jengkal lahan yang ada mesti berkepadatan tinggi.
Sehingga seperti sudah digariskan bahwa makam akan terus menerus dipinggirkan. Mesti keluar dari kota, digusur.
namun apakah demikian cara kita menghormati para pendahulu-pendahulu kita?
Mungkin suatu saat makam sebagai ruang terbuka hijau yang berkontribusi dalam perbaikan kualitas udara cuma bisa ditemui di pinggiran kota. Dengan kata lain udara dan lingkungan yang sehat cuma bisa didapat di pinggiran kota. Beruntunglah mereka yang tinggal di pinggir kota. Namun alangkah kasihan bila mereka tetap bekerja di pusat kota yang dengan kata lain mesti berdesakkan ikut arus padat para komuter tiap pagi dan sore di hari kerja.
Potensi makam sebagai ruang interaksi juga terabaikan, citra yang sedemikian angker membuat banyak dari kita sedari kecil menjauhi keberadaannya. meninggalkan noda-noda hitam di peta pikiran kita, daerah yang sebisa mungkin dihindari agar tidak dilalui.
Entah merupakan sindiran atau memang ingin menggugah pikiran kita akan potensi pemakaman sebagai ruang terbuka, dalam film garuda di dadaku pemakaman-pun akhirnya dijadikan tempat berlatih sepak bola. namun tetap saja, bumbu hantu kembali dihadirkan. Membuat kesan keterpaksaan ketika mereka bermain di pemakaman itu.
Pada masyarakat sumba, makam menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. makam ada dihalaman rumah, diruang terbuka tempat mereka kerap berkumpul dengan para tetangga, juga tempat anak-anak bermain. Kita bisa melihat bagaimana mengormati bukan dengan cara menjadi takut dengan keberadaannya.

PKL: ancaman atau kesempatan.
Saya yakin bila suatu saat area pemakaman sudah menjadi ruang yang aktif digunakan warga kota sebagai ruang berkumpul akan banyak pedagang kaki lima yang mangkal disana.
Yah mau bilang apa? Keberadaannya memang membuat kota kita terlihat semrawut. Tak heran demi menggapai adipura pemda mesti mengerahkan kekuatannya demi mensterilkan kota dari keberadaan mereka. Coba lihat muka stasiun tebet, tempat yang tadinya berupa lapak kakilima yang ramai karena memang strategis dilalui banyak orang kini berganti taman kecil yang rasanya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perbaikan kualitas udara disana. Mungkin sudah terpatri dikepala bahwa taman dan pkl tidak bisa hidup dengan harmonis.
Seakan rakyat kecil yang diwakili para pkl ini tidak pernah berdamai dengan pemerintah. Pemerintah punya visi, warga tidak terlalu peduli akan hal itu. apa musyawarah cuma jadi pelajaran disekolah. Itupun kalau masih ingat.

April 17, 2010

‘Home’-Based Formula for The Geometry of An Ideal City

Filed under: ideal cities — HeR @ 08:56
Tags: , , ,

Konsep kota ideal telah lama menjadi perdebatan; apakah sebenarnya kota yang memenuhi konsep-konsep ideal eksis atau tidak, atau bahkan apakah sebuah kota ideal mungkin eksis atau tidak. Ini mungkin pertanyaan yang akan sulit terjawab mengingat kota ideal selalu berbasis pada adanya ide terhadap kesempurnaan dalam pikiran manusia, dan kita tahu bahwa a state of perfection bukan hal yang mudah dicapai karena ide yang berbasis pada pikiran ini akan selalu berubah terhadap perkembangan zaman.

Konsep kota ideal, seperti hal lainnya dalam arsitektur, selalu terkait dengan pandangan terhadap beauty dan penolakan terhadap ugliness, di mana untuk menentukan dan menilai mana yang beautiful dan mana yang ugly ada suatu order yang diberlakukan. Kita tahu bahwa kota adalah suatu wadah bertinggal yang di dalamnya hidup berbagai golongan dan lapisan sosial. Itu sebabnya Lofland mendefinisikan kota sebagai a place for everything, karena kota sebagai ruang hidup manusia mengakomodasi ruang bertinggal bagi berbagai golongan sosial dalam jumlah jamak. Berbagai golongan masyarakat ini tentu mempunyai kepentingan dan pandangan yang berbeda-beda. Lalu dari sudut pandang mana/bagaimanakah beauty dan ugliness tadi harus dilihat? Dan untuk mencapai penilaian terhadap beauty yang memenuhi konsep ideal, bagaimanakah order yang harus diterapkan?

Ketika Thomas More muncul dengan konsep kota utopianya yang dianggap sebagai suatu konsep kota yang ideal, beauty pada kota tersebut didefinisikan sebagai  “the fine appearance and the orderliness of the streets, houses, and gardens”. Dari sini kemudian muncul tatanan kota dengan garis-garis jalan yang teratur serta tatanan rumah-rumah yang seragam dan teratur sebagai tatanan kota yang dianggap ideal.

Kelanjutan dari ini, perkembangan konsep kota ideal sampai pada sebuah pengaturan terhadap ruang-ruang kota dengan garis-garis vertikal dan horizontal yang teratur yang diproyeksikan pada suatu tampak atas (masterplan) sebuah kota, di mana garis-garis yang membentuk grid tersebut diterjemahkan ke dalam area-area sirkulasi (jalan-jalan) yang kemudian membagi area-area pemukiman dan ruang-ruang dalam kota lainnya dalam superblok-superblok. Ini kemudian menjadi suatu geometri yang dianggap memenuhi kualitas ideal bagi sebuah kota: geometri yang ‘memberikan gambaran’ keteraturan dan order yang baik. Ini seperti yang dikatakan Windsor-Liscombe: “Geometry has been used to develop the layout of ideal cities. Most often the use of geometry results in a regular pattern of streets and space in the city.” Pola regular inilah yang hingga sekarang dikenal sebagai pengaturan berdasarkan grid-grid terhadap layout sebuah kota, yang banyak diterapkan pada kota besar seperti misalnya pada New York, dalam impian untuk mencapai sebuah kota yang [dianggap] ideal. Namun penggunaan grid ini lalu menjadi ideal bagi siapa? Karena kemudian penggunaan grid ini akan memperlihatkan keteraturan jika dilihat dari atas, cara yang sama sekali tidak akan pernah kita – sebagai penduduk kota – lakukan dalam mengalami kota.

Penggunaan grid ini juga merupakan salah satu gagasan modernisme yang digambarkan Le Corbusier dalam gagasan kota ‘masa depan’ sebagai suatu bentuk kota ideal, seperti dalam pernyataan berikut: “Streets are often on a rigid grid design, or if not a grid, at least a pattern that looks very well-thought-out when observed in a scale model.” Kembali, bahkan dalam definisi Le Corbusier kita masih dapat melihat bahwa suatu kota dianggap ideal jika ia terlihat teratur ketika dilihat dari atas (“when observe in a scale model”). Ia juga memproposikan bahwa untuk mencapai suatu kota yang akan berhasil baik dan memenuhi standard ideal, maka harus ada pemisahan yang jelas dan rigid antarberbagai aktivitas dalam kota. Ini melahirkan suatu sistem penzonaan dalam kota yang membagi kota ke dalam blok-blok zona aktivitas. Kota ideal dianggap akan tercapai apabila setiap aktivitas berbeda dalam kota berjalan di dalam blok zona yang telah ditentukan, dan tidak tercampur aduk dengan aktivitas-aktivitas lainnya. Ketika suatu aktivitas yang ‘seharusnya’ terjadi dalam zona tertentu, ditemukan berlaku di zona lain yang bukan merupakan zona kegiatannya, maka ini dianggap sebagai suatu kondisi yang disorder dan tidak ideal. Namun apakah sistem zona untuk mencapai kota ideal ini benar-benar akan ideal bagi manusia yang tinggal di dalam kota sebagai citizen?

The big cities are natural generators of diversity.” (Jacobs)

Menurut Jane Jacobs, kota adalah suatu wadah bertinggal yang akan selalu mengandung pluralitas, dan memang itulah kenyataan yang selalu kita temukan dalam sebuah kota. Pluralitas ini termasuk keberagaman keinginan dan kebutuhan manusia yang tinggal di dalamnya yang diakibatkan oleh keberagaman latar belakang sosial, ekonomi dan budaya. Keinginan dan kebutuhan yang berbeda ini tentunya akan menyebabkan aktivitas yang dilakukan untuk pemenuhannya tidak akan pernah sama. Oleh karena itu, gagasan pemisahan kota berdasarkan zona-zona rigid terhadap aktivitas tentu bukan menjadi gagasan yang baik jika kita melihat kota sebagai suatu wadah hidup yang ‘seharusnya’ dapat memenuhi [berbagai] kebutuhan begitu banyak manusia yang tinggal di dalamnya. Jacobs juga mengkritisi gagasan penzonaan sebagai sesuatu yang akan menyebakan kemonotonan dalam ruang kota, dan menyebabkan adanya disintegrasi terhadap lingkungan karena apa yang ada dalam suatu zona hanya akan berkonsentrasi terhadap zona itu sendiri dan kemungkinan akan terputus hubungannya dengan zona-zona lain di sekitarnya. Lalu bagaimana dengan fungsi kota yang salah satunya juga adalah mewadahi kegiatan interaksi manusia di dalamnya? Jika kota ideal dianggap akan tercapai dengan separasi rigid yang tidak permeabel, maka kota tidak akan memberikan ruang bagi interaksi antarmanusia.

Lalu apakah gagasan penzonaan kemudian menjadi tidak relevan terhadap kemungkinan tercapainya suatu kota yang ideal?

Lofland, dalam mendefinisikan konsep kota ideal, menggunakan analogi sebuah rumah untuk memulainya: ”The ideal of the modern city is like the ideal of a well-ordered home. A place for everything and everything in its place”

Mungkin penggagasan Lofland lebih lanjut mengenai kota ideal akan berujung kurang lebih sama dengan pandangan Le Corbusier tentang kota masa depan: adanya separasi dan penzonaan untuk aktivitas-aktivitas yang berbeda dalam kehidupan kota untuk mencapai suatu kondisi yang teratur. Namun bagi saya, acuan awal Lofland mengenai kota ideal yang dipandang dari analogi sebuah rumah adalah poin yang menarik untuk dieksplorasi.

Rumah adalah suatu wadah bertinggal bagi keluarga. Sebuah keluarga dalam gambaran umum biasanya akan terdiri dari orang tua dan anak-anaknya, mungkin pada beberapa keluarga tertentu akan ada pihak-pihak lain yang tinggal di dalam rumah seperti saudara, kakek-nenek, atau pembantu. Apapun itu, intinya sama: rumah adalah wadah bertinggal beberapa orang yang berbeda usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan tentu kebutuhan dan keinginannya (dalam skala yang lebih besar, hal yang kurang lebih sama seperti pada kota).

Dalam sebuah rumah, kita bisa membayangkan bahwa tentu akan ada pembagian ruang: mana yang menjadi kamar orangtua, kamar anak, kamar pembantu, dan sebagainya. Pembagian ruang ini tentu akan memberikan label teritori bagi si pemilik ruangan, dan pembagian ini dapat kita baca sebagai penzonaan bagi masing-masing penghuni. Penzonaan ini sekaligus menentukan bahwa dalam zona yang telah diatur setiap penghuninya bebas melaksanakan apa pun aktivitasnya. Namun apa yang terjadi dalam sebuah rumah adalah penzonaan yang permeabel, di mana anggota keluarga yang lain mempunyai kemungkinan untuk masuk ke dalam teritori penghuni yang lain dan bahkan melakukan kegiatan di dalamnya – tentu saja dengan seizin pemilik ruangan. Seperti misalnya anak tentu saja tidak akan dilarang untuk tidur atau melakukan kegiatan yang memungkinkan lainnya di kamar orangtuanya. Demikian pula sebaliknya. Ini jika dilihat berdasarkan teritori/kepemilikan ruangan. Lalu bagaimana dengan konsep ”everything in its place” pada pernyataan Lofland? Ini kemudian terkait dengan apa yang juga ia sebutkan sebagai ‘well-ordered’ dan karenanya berarti hal ini terkait dengan order yang berlaku dalam rumah.

Dalam keseharian penggunaan ruang dalam rumah, kita mengenal apa yang disebut sebagai domestisitas. Domestisitas merupakan praktek keseharian dalam penggunaan/pemaknaan ruang di mana order dalam sebuah rumah bergantung pada siapa yang menjadi penghuninya. Cara kita melihat apa yang seharusnya terjadi dalam rumah kita dan apa yang seharusnya terletak di mana tentu berbeda dengan pandangan orang lain mengenai apa yang ‘seharusnya’ dalam rumahnya. Ini membedakan pemahaman order pada setiap rumah yang berbeda. Dan pelaksanaan serta penerimaan suatu order dalam rumah tentu bergantung pada apa yang menjadi latar belakang dan kebiasaan para penghuninya tersebut. Terlaksananya order ini kemudian mengantarkan para penghuninya kepada suatu perasaan nyaman dan sesuai, yang berarti rumah seperti itulah yang paling sempurna buat mereka (walaupun mungkin tidak bagi keluarga lainnya). Perbedaan siapa yang menghuni serta kebiasaannya inilah yang kemudian menjadi aspek kontekstualitas dalam upaya mencapai ideal tadi. Ketika prinsip ini direfleksikan pada konsep kota ideal, maka ini menunjukkan bahwa kontekstualitas amat penting untuk dapat mencapai kondisi ideal sebuah kota, paling tidak bagi penduduk kotanya. Dan konsep ideal pada suatu kota tertentu tentu saja tidak langsung dapat diterapkan pada kota lainnya, karena belum tentu konsep itu akan sesuai dengan penghuni kota serta kebiasaannya. Itu sebabnya jika sistem grid sebagai suatu geometri yang dianggap ideal bagi satu kota tidak dapat serta merta dipaksakan sebagai order yang dianggap ideal secara mutlak dan langsung diberlakukan secara umum di semua kota.

Selain itu, dalam rumah tidak hanya penzonaan teritorial saja yang terjadi, namun rumah juga tetap menyediakan ruang untuk semua anggota keluarga berinteraksi dan berkumpul bersama, seperti ruang duduk dan ruang makan. Bahkan kemungkinan ruang teritori yang satu dapat ditembus oleh penghuni yang lainnya memberikan kemungkinan dan ruang lain bagi terjadinya interaksi. Dari sini dapat kita lihat bahwa walaupun penzonaan telah dilakukan, namun rumah masih menyediakan banyak ruang dan kemungkinan untuk terjadinya interaksi antaranggota keluarga. Dan penzonaan yang dilakukan tidak bersifat kaku dan rigid, namun permeabel, sehingga para penghuninya tidak hidup dalam kotak-kotak zona aktivitas dan teritori yang mematikan kehidupan rumah. Bukankah rumah yang ideal adalah rumah yang dapat mempersatukan seluruh anggota keluarga, terlepas dari berbagai macam kesibukan dan kegiatan para penghuninya yang berbeda-beda? Mengacu pada hal ini, maka kota untuk mencapai suatu kondisi ideal seharusnya menerapkan prinsip yang sama. Penzonaan tentu saja masih dapat menjadi cara untuk membentuk keteraturan kota, namun seharusnya zona yang terbentuk bersifat permeabel dan tidak mengikat serta membatasi ruang gerak dan aktivitas penduduk kota hanya pada area-area pengkotakan tersebut.  Namun tentu saja ini tetap dilakukan berdasarkan kebutuhan dan kebiasaan penduduk kota (seperti halnya yang terjadi dalam sebuah rumah sesuai dengan kebutuhan para penghuninya). Dengan ini, mungkin saja kota ideal yang kontekstual akan terwujud, dan ideal bukan lagi hanya sebuah konsep untuk sebuah kota impian, tetapi sebuah realita.

Henny R. Panjaitan
(Essay berdasarkan hasil diskusi bersama Gemala Dewi dan Dinastia Gilang).

May 31, 2009

Kota Ideal: Pertanyaan tentang Pejalan Kaki dan Publik dalam Kota Jakarta

Filed under: ideal cities — saintoghien @ 22:00
Tags: ,

Belakangan membicarakan tentang ideal cities, membuat saya ingin membahas masalah yang mungkin akan sedikit melebar dari geometri disini, namun apalah salahnya…

Entah kenapa, penduduk Jakarta lebih terbiasa memilih menggunakan kendaraan pribadi dibanding kendaraan umum atau berjalan kaki. Di Jakarta, hal ini sering dianggap karena kebanyakan penduduknya hidup sebagai komuter, ditambah kesulitan menggunakan sarana transportasi masal yang nyaman, sehingga kendaraan pribadi dipilih sebagai pilihan mutlak transportasi. Kadangkala saya menganggap ini berpengaruh pada perancangan gedung di Jakarta yang terlihat lebih berorientasi pada kendaraan bermotor.

Dari pengalaman sendiri ketika berjalan di kebanyakan gedung Jakarta, saya merasakan sulitnya berjalan kaki di pelataran luar gedung-gedung berfungsi publik Jakarta. Sebagai pejalan kaki seringkali perjalanan menuju sebuah gedung menjadi sebuah ketidaknyamanan tersendiri karena kurangnya dukungan jalur berjalan kaki yang nyaman. Menurut saya, ketidaknyamanan tersebut seringkali dikarenakan perjalanan harus ditempuh cukup jauh ke dalam disebabkan kebiasaan meletakkan garis setback gedung jauh di belakang karena peraturan sempadan bangunan yang disalahkaprahkan oleh perancang dan pengelola gedung.

Salah kaprah karena dirancang tanpa orientasi pada pejalan kaki, namun lebih peduli pada kendaraan bermotor. Padahal hidup-matinya sebuah kota dilihat dari aktivitas manusia di luarannya, dan pejalan kaki adalah aktor utama kehidupan kota urban seperti Jakarta.

Bukan hal aneh bila dijumpai pejalan kaki yang dihardik oleh klakson kendaraan ketika hendak masuk sebuah gedung seakan mereka menghalangi lalu-lalang kendaraan parkir, karena hampir semua bangunan dirancang dengan orientasi pada kendaraan saja. Sehingga entah apapun tipologi bangunannya drop-off untuk mobil selalu dibuat tepat di depan pintu masuk utamanya yang menghadap jalan, dan seberapapun sempitnya garis sempadan bangunan selalu dimaksimalkan untuk lahan parkir sepenuh mungkin.

Bagi saya, hal ini mematikan potensi lahirnya aktivitas manusia yang mampu menunjukkan ekspresi publik di bangunan. Di Jakarta, hal ini adalah sebuah ironi karena bahkan bangunan yang fungsinya (atau hanya fungsi lantai dasarnya) dirancang sebagai penarik keramaian, seperti retail dan kafe, pun berpaham yang sama kesalahkaprahannya.

Bukan hal yang aneh karena kita hidup di jaman modern. Dari awal kemunculannya kendaraan bermotor telah menjadi elemen dasar yang tumbuh bersama kehidupan kota besar. Semenjak The Athens Charter (1943) ditulis oleh Le Corbusier bersama arsitek dan perancang Modern orang mulai melupakan kecuali merancang dengan untuk kendaraan bermotor. Douglas Farr, dalam salah satu esai dalam Charter of New Urbanism (2001), jurnal yang mengkritik pandangan modern tersebut, menuliskan bahwa, “Automobiles are a fact of modern life, and they are not going away. Walking, on the other hand, faces extinction in most places built since World War II – places designed for the convenient use of cars. This is nothing new, since the form of the cities and towns have always adapted to people’s dominant method of getting around. What is different is that places designed around cars are hostile to pedestrians. Try to walk across an eight-lane suburban arterial, and you understand this immediately”.

Orang yang berjalan kaki mengalami kesulitan karena keberadaan mereka terlupakan, bila tidak mau dibilang tidak dihargai. “What remains is a tragic paradox: a metropolitan region where cars can travel anywhere while pedestrian cannot. The importance of this Charter principle emerges when one understands that when places are designed exclusively for cars, fewer people will walk”.

Hal ini juga terjadi di Jakarta, orang mulai melupakan bagaimana membuat tempat publik yang ramah pada pejalan kaki, ujung-ujungnya, orang-orang lupa bagaimana menghargai ruang publik. Rasakan saja apabila anda berada di luaran Jakarta. Seberapa nyaman pejalan kaki berjalan di jalanan Jakarta? Ruang terbuka langka dan bangunan-bangunan yang berdiri kebanyakan tidak memiliki penghargaan pada manusia. Bangunan dirancang tanpa orientasi pada pejalan kaki, namun lebih peduli pada kendaraan bermotor. Padahal hidup-matinya sebuah kota dilihat dari aktivitas manusia di luarannya, bukannya ramainya kendaraan di jalanan, karena penghuni kota adalah manusia.

Farr juga menyatakan bahwa, “In the contemporary metropolis, development must adequately accommodate automobiles. It should do so in ways that respect the pedestrian and the form of public space”. Dalam konteks sekarang sebuah metropolis, kota urban seperti Jakarta haruslah memiliki penghargaan yang cukup pada pejalan kaki dan ruang publik. Seperti yang ditulis oleh Ridwan Kamil dalam artikelnya “Arsitektur Kota Anti Kota” dalam majalah I-Arch, edisi 02/2002, bahwa the city is the people, ia mencontohkan bahwa kota-kota dunia yang masuk kategori world great cities umumnya memiliki kepedulian akan pentingnya ruang-ruang sosial kota, social space sebagai bagian dari roh kehidupan sebuah kota. Menurutnya, kemajuan peradaban, teknologi, dan kompleksitas budaya tidak seharusnya merusak definisi bahwa kota adalah untuk manusia.

Ia berpendapat bahwa “bangunan hadir dan bersentuhan dengan publik”, sehingga sudah semestinya bahwa setiap gedung yang dirancang dalam kota urban seperti Jakarta haruslah menjadi “karya arsitektur pro publik yang sensitif menghidupkan kota”. Hal ini yang mungkin menjadi kekurangan di Jakarta, karena menurutnya hampir setiap bangunan yang berdiri di Jakarta ”tidak memiliki sensitivitas terhadap konteks kota, hanya fokus pada arsitekturnya tidak pada konteksnya”. Inilah yang ia sebut sebagai sebuah perancangan yang ”anti-urban”.

Sepanjang pengetahuan saya, di Jakarta lahan terbuka depan (dan bawah) bangunan ada juga beberapa yang difungsikan sebagai sebuah publik plaza alih-alih sirkulasi dan parkir kendaraan semata. Berarti ada sebuah usaha agar kehadiran bangunan tidak menjadi sebuah perancangan anti-urban. Namun, tidak semuanya berhasil menunjukkan ekspresi urbannya, karena minus kehadiran kegiatan publik yang aktif di situ. Hal ini bisa jadi disebabkan karena hal yang sebagaimana ditulis dalam sebuah artikel singkat: ”many public plazas fail as social gathering spots, usually involves a failure to understand how indispensable the public realm is to the humanization and socialization of a city’s inhabitants and, thus, the many ways in which a plaza can be enjoyed”.

Ini bisa menjadi alasan kesalahkaprahan yang terjadi karena, ”often, public spaces are designed only as an afterthought to highlight surrounding architecture”. Ada sesuatu yang maklum terjadi karena kelupaan akan pentingnya penghargaan pada pejalan kaki ketika merancang sebuah ruang publik. Di sini pejalan kaki tidak hanya berarti orang-orang yang berjalan kaki menuju bangunan, namun juga mereka yang berpotensi untuk beraktivitas di bawah bangunan (ketika mereka menunggu, atau sekadar mencari udara luar).

Ridwan Kamil dalam artikel yang sama mencirikan perancangan anti-urban di Jakarta dalam tiga bagian masalah, yaitu:

1 Fungsi non-publik di lantai dasar

Salah satu ciri kota yang aktif secara positif adalah hadirnya fungsi-fungsi publik atau retail di lantai dasar sebuah bangunan. Di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia, lantai dasar sebuah bangunan besar umumnya adalah ruang lobi formal yang tidak menyumbang apa-apa bagi kehidupan kota.

2 Kapling-kapling egois

Manusia sebagai makhluk sosial berkewajiban berperilaku sosial yang positif dan bertoleransi antar sesama. Begitu pula arsitektur kota. Seharusnya antar bangunan yang satu dengan lainnya bertoleransi dengan memberikan ruang untuk kelancaran publik bernegosiasi terhadap ruang kota. Di Jakarta, antar bangunannya dikapling-kapling dan dibentengi. Pedestrian tidak leluasa bergerak dari satu bangunan ke bangunan lain.

3 Parkir dan drop-off di halaman depan

Ruang paling berharga dalam konteks kota adalah ruang terbuka di depan bangunan, yaitu area dari batas lahan ke garis sempadan bangunan. Sayangnya dengan rasa tidak bersalah selalu menjadikannya sebagai ruang parkir dengan drop-off formal. Perilaku rancangan ini mematikan potensi lahirnya kehidupan yang beradab dan aktif. Parkir sebenarnya bisa langsung ke basemen dan drop-off bisa dari jalan samping atau di dalam kapling. Area inilah yang bisa berpotensi menjadi ruang sosial publik berupa ruang hijau, ruang duduk, atau ruang luar dari sebuah kafe di lantai dasar.

Jakarta mungkin butuh contoh untuk menciptakan kehidupan kota yang ramai oleh aktivitas manusia di permukaan tanah, dan kehadiran bangunan yang menapak di tanah adalah bagian pertama dari itu. Bangunan yang beorientasi pada pejalan kaki, dan bukannya kendaraan, yang mampu menghadirkan kenyamanan bagi pejalan kaki dan menciptakan ekspresi publik yang baik terutama di pengolahan latar depan (atau lantai dasar) bangunan tersebut. Dengan harapan bahwa bukan tidak mungkin di Jakarta ada, maka saya kira perlu dicermati kemunculan bangunan yang lebih ”menapak” tersebut di Jakarta.

Ideal

Filed under: ideal cities — ayushekar @ 09:26
Tags: , ,

Ideal..
kata ideal dipakai untuk menunjukkan tingkat kepuasan seseorang atau sekelompok masa akan sesuatu. Ideal berarti sesuai, dan sering diartikan sesuai dengan order, tidak disorder. Entah itu bekaitan dengan keinginan, pemikiran, fungsi, estetik, dan sebagainya atau bahkan kesemua unsur tersebut. Karena ideal merupakan simbol tertinggi, maka akan sulit dicapai seseorang terlebih lagi kelompok, bahkan masyarakat untuk memenuhinya. Tulisan ini dilatarbelakangi oleh keraguan-raguan saya terhadap segala sesuatu yang mereka bilang ideal. Hal ini karena sebenarnya tentu ada unsur ataupun nilai yang telah mereka reduksi dari tujuan atau maksud sebenarnya untuk mencapai kata ideal, sehingga yag terjadi bukalah ke-ideal-an sebenarnya. Mengapa demikian? Karena sesungguhnya utopia setiap manusia terlalu tinggi untuk dijangkau. Bukankah manusia tidak pernah puas? Kata-kata ideal yang mereka gunakan adalah bentuk dari keputusasaan terhadap kondisi yang diinginkan, tetapi bagi orang lain itulah ke-ideal-an mereka. Dan ketika mereka sampai ke titik tersebut mereka tidak pernah lagi megatakan bahwa “Ini ideal untuk saya.”

Maka bagaimana manusia bisa membuat kota ideal?

Kota merupakan ekosistem yang kompleks. Kota ideal adalah kota yang dapat memenuhi segala kebutuhan hidup manusia di dalamnya, memberi keamanan, ketenangan, kenyamanan, keindahan, kesejahteraan, dan keteraturan. Tapi sebenarnya manusia golongan mana yang kebutuhannya dipenuhi? Dan siapa atau golongan mana yang memberi status ideal tersebut?

Mari kita mengambil contoh yang lebih kecil agar ke-ideal-an ini mudah dipahami. Anggap saja sebuah rumah adalah sebuah kota dan anggota keluarga yang tinggal di dalamnya adalah penduduk yang memiliki beragam umur, status sosial, aktivitas, dan kebutuhan. Ketika seseorang wartawan dari sebuah majalah rumah tinggal bertanya,
wartawan : “Apakah menurut anda rumah ini telah ideal bagi anda?”
kepala keluarga : “Oh tentu, kami telah membuat kolam renang di taman belakang, ada home
theatre, juga ada ruang fitness.setaip kamar memiliki kamar mandi didalamnya, juga televisi. Hal ini membuat keluarga saya tidak perlu kemana-mana lagi. Saya telah memenuhi semua kebutuhan keluarga saya.”

Itu adalah ungkapan ideal sang kepala keluarga, dimana ternyata definisi ideal sang ayah bukanlah definisi ideal anggota keluarga yang lain. Bagi si Ibu rumah ideal adalah rumah yang tak perlu ada kamar mandi disetiap kamar sehingga setiap paginya beliau bisa mendengar anak2nya berteriak berebutan kamar mandi, menggedor-gedor pintu, dan akhirnya belajar berbagi. Rumah yang ideal bagi si ibu adalah rumah yang televisinya hanya satu, sehingga di setap malamnya semua anggota keluarga bisa berkumpul bersama, menonton dan mengobrol.

Bagi si anak, rumah yang ideal adalah rumah yang lega sehingga iya bisa bermain sepeda di dalam saat hari hujan. Tanpa perlu takut dimarahi si ibu dan ayah barang-barang berharga mereka yang mahal itu pecah atau rusak. Rumah yang dindingnya bisa dijadikan kanvas untuk menggambar apa saja yang dia inginkan.

Keadaan diatas menunjukkan bahwa definisi ideal setiap orang belum tentu sebuah keteraturan, dimana segala sesuatu harus berjalan sesuai order, indah dan dilakukan pada tempatnya. Dengan demikian, segala sesuatu yang disorder dianggap jelek, buruk, dan tidak boleh muncul kepermukaan. padahal seperti contoh diatas bahwa ideal tentunya berurusan dengan “rasa” masing-masing orang yang nantinya membentuk definisi ideal-nya.

April 7, 2009

Geometri Sebagai Alat Visualisasi “idealisme”

Filed under: ideal cities — rannymonita @ 01:13
Tags: ,

“Ideal” adalah conception of something in its perfection. Kata perfect bersifat amat sangat subjektif pada konteks ini dikarenakan “ideal” itu sendiri masih berupa suatu keabstrakan yang ada dalam pikiran tiap orang. Oleh karena tiap orang memiliki kapasitas pengalaman dan pengetahuan yang berbeda-beda, maka bentuk abstrak akan idealism itu sendiri pastinya akan berbeda-beda pula. Tapi perbedaan idealism yang abstrak tersebut bukanlah inti dari pembahasan ini. Yang ditekankan dalam bahasan kali ini adalah idealism merupakan suatu ide akan angan-angan atas keinginan (desire) dan kebutuhan (need) yang ingin diwujudkan demi mendapatkan kehidupan yang lebih berkualitas dan lebih baik.

Contoh kasus: Kamakura House
kamakura

Kamakura House dirancang untuk kolektor Buddhism art. Bangunan ini digunakan sebagai tempat retreat (tempat untuk menyepi). Rumah ini terdiri atas paviliun memanjang, ruang besar multi fungsi, dan tempat tinggal. Arsiteknya menyatakan desain bangunan ini didasarkan atas kepercayaan orang Jepang, yaitu penyatuan antara alam dengan bangunan buatan manusia akan melahirkan keindahan. Di sini penyatuan dengan alam diwujudkan pada olahan bentukan geometri yang berkesan simple dan unite. Kesederhanaan diwujudkan melalui susunan bentuk-bentuk geometri yang berkesan simple berupa bidang persegi dan balok. Selain mudah dikenal, bentuk persegi dan balok memiliki kesan yang sederhana dan lugas. Karakter sudutnya yang tegak lurus mudah disatukan membentuk karakter yang unite.

The purpose of geometry of design is not to quantify aestheticsthrough geometry but rather to reveal visual relationships that have foundations in the essential qualities of life such as proportion and growth patterns as well as mathematics. Its purpose is to lend insight into the design process and give visual coherence to design through visual structure. It is through this insight that the artist or designer may find worth and value for themselves and their own work” (Elam, 2001: 5)

Pada kutipan di atas, dijelaskan bahwa tujuan dari geometri bukanlah untuk mengukur suatu estetika, melainkan menguak dan membeberkan hubungan antara suatu ‘visual’ melalui proporsi dan pola secara matematis (numerial indicating a number).

Crowe (1997) dalam prespektif humanismenya menyebutkan bahwa geometri arsitektur dimunculkan dari sumber alami bangunan, yaitu: menunjuk pada ketertiban atau order dari bangunan, juga proses membentuk bangunan, yaitu karakteristik struktural dari material-material konstruksi.
Pada kutipan di atas, dijelaskan bahwa suatu geometri arsitektur menunjukan suatu ketertiban/order dari suatu bangunan tertentu. Pada kasus di atas, idelisme yang ingin disampaikan oleh sang arsitek (tentang nilai kepercayaan yang dianalogikan sebagai penyatuan antara alam dan buatan manusia) diwujudkan dan dihadirkan melalui bentuk arsitektural yang berupa olahan bentuk-bentuk geometri (kesederhanaan diwujudkan dalam bentuk-bentuk yang terlihat familiar seperti bentuk balok dan persegi). Itu berarti, geometri telah dijadikan sebagai alat yang tepat mengvisualisasikan ide/makna (idealism) yang ingin disampaikan oleh sang arsitek tersebut. Geometry dapat dijadikan sebagai alat yang dapat mewujudkan/menggambarkan/mengvisualisasikan idealisme-idealisme tersebut Karena geometry terdiri dari variable angka (yang mana merupakan bahasa universal yang dapat dimengerti banyak orang) sehingga dengan bahasa yang dimengerti oleh banyak orang itulah maka makna “ideal” yang ingin disampaikan akan semakin dapat dirasakan kehadirannya.

Jika dilihat dari kasus di atas, maka hubungan antara nilai “ideal” , order, dan geometry dapat saya simpulkan melalui bagan di bawah ini:

bagan-idelisme1

Pada bagan di atas, terlihat hubungan yang jelas antara nilai “ideal” sebagai suatu makna, karakteristik, dan identitas yang ingin dicapai merupakan suatu variable-variabel yang jika diuraikan lebih dalam akan membentuk suatu rumusan-rumusan yang akan menjadi cikal bakal suatu bentuk arsitektur (order). Dari rumusan-rumusan tersebutlah maka peran seorang arsitek dituntut untuk sekreatif mungkin menemukan bentuk-bentuk ruang yang bisa “berbicara” / mengvisualisasikan nilai-nilai ideal yang dimaksud. Dan geometri sendiri berperan sebagai bahasa universal yang menjelaskan bentuk suatu ruang yang dihasilkan dari rumusan-rumusan nilai-nilai ideal tersebut. Untuk itu, suatu rangkaian nilai-nilai ideal, menurut saya, hanya tepat menghasilkan suatu order dan geometry tertentu. Jika nilai-nilai ideal tersebut berubah (bertambah/berkurang variable nilai idealnya) maka rumusan order yang dihasilkan akan berbeda pula sehingga nantinya geometry yang dihasilkan akan berbeda pula.

Sumber:
http://jurnalrona.files.wordpress.com/2008/02/06-tipologi-geometri
http://arsitekiki.blogspot.com/2008/02/kamakura-house
http://www.fosterandpartners.com/Projects/0932/Default.aspx
www.dictionary.com

April 5, 2009

Kota Membentuk Dirinya Sendiri

Filed under: ideal cities — arsnu @ 21:27
Tags: , , , ,

“The grid, the orthogonal plan with parallel streets, right angles, used frequently in ancient planning, appears to be the ideal city form..” (Eaton)

“the separation of activities as the prominent character of modern cities to avoid the ‘pile-up’ of activities.” (Lofland)

Ideal city, dianggap dapat direalisasikan dengan grid-grid, jika dilihat dari atas dapat dilihat zoningnya. Ada yang mengatakan itu agar rapih, agar teratur, namun ketika kita zoom in, apakah masih se-teratur seperti skala sebelumnya? Apakah zoning tadi masih jelas? atau justru zoning tadi sudah menjadi blur?

“the grid denies the existence of contrast, complexity and difference, which are the basic characteristic of urban ife” (Sennet)

“the greatest mistake in zoning is that it permits monotony, and leads to disintegration of environtment” (Jacobs)

Begitu juga ada yang berpendapat bahwa grid-grid itu monoton, terlalu dipisahkan, menghilangkan kompleksitas sebuah kota. Bahkan kata Jacobs, itu dapat mengakibatkan disintegrasi. Lagi-lagi ketika kita zoom in, apakah masih monoton? Apakah antara satu zona dengan zona lain benar-benar terpisah oleh dinding besar sehingga disintegrasi itu terjadi? tidak sebegitunya kan? Itu hanyalah God’s eye, seperti kata Sasaki, “the visuality of the Cartesian city was abstract, since it was addressed not to human eyes but to God’s eye”. Itu hanya dilihat dari atas saja, yang dari plan terlihat rapih dan bergrid seakan teratur sekali, ketika kita masuk didalamnya, tidak akan sebegitu rapihnya juga. Begitu juga dengan kemonotonannya, di plan kita lihat ‘ah monoton, grid-grid, zona-zona, sini bisnis, situ residential, bosan’, padahal ketika kita didalamnya tidak akan sebegitu monotonnya.

Menurut saya hal tersebut karena isi dari kota itu sendiri. Diversity yang sudah pasti ada dalam sebuah kota akan memblurkan zona-zona yang tadi telah dirancang, dan akan memvariasikan kemonotonan dari grid-grid yang ada. Urban planner yang menata sedikimian rupa hanyalah merapihkan dan mempermudah segala sesuatunya, dan lagi-lagi itu hanyalah God’s eye. Nantinya kota itu sendiri yang akan merancang dan membentuk dirinya. Kota itu sendiri yang akan menjalarkan segala yang ada didalam dirinya, menjalarkan sisi sosial, sejarah, budaya, ekonomi, masyarakat, arsitektur, geografis, order, disorder, semuanya. Semua itu akan mengisi kota dan akan saling berhubungan, sehingga bentuk-bentuk urban planning bukanlah hal terpenting lagi. Apakah ia grid, apakah ia memusat, apakah ia indah, apakah ia teratur, atau monoton. Itu hanyalah sebuah wadah, geometri yang menjadi wadah geometri yang lebih kecil lagi, yang bisa saja ditata berbeda-beda, dan tetap sah-sah saja. Tidak ada bentuk mutlak yang diTuhankan dan dianggap paling ideal. Karena ideal akan terus menjauh ketika kita berlomba-lomba untuk mengejarnya, hanyalah sebuah utopia.

Apakah Ideal City Merupakan Sesuatu yang Teratur dan Positif?

Filed under: ideal cities — f3br1ant1 @ 16:20
Tags: , ,

Setelah mengikuti kuliah dua minggu ini yang membahas “ideal city” saya menjadi bertanya-tanya seperti apa sebenarynya sebuah kota itu dapat dikatakan sebagai kota yang ideal. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa kota yang ideal itu harus terlihat sempurna dan tidak boleh terlihat satu kejelekan apapun dari nya dan tertata rapi membentuk grid-grid atau pun segala sesuatu yang bentuk dan susunannya teratur. Salah satu yang berpendapat seperti itu adalah oleh Barnet, menurutnya “The ideal city will be new…
No smell filth, danger or noise, no old houses, no cemeteries, no prisons, no slaughter houses with ugly appearance. Instead there are good houses with broad and lighted streets”. Namun ada pendapat yang lain yang membantah pernyataan-pernyataan tentang ideal city yang pada awal nya disebutkan sebagai segala sesuatu yang berada di dalam sebuah kota yang ideal hanyalah segala sesuatu yang baik-baik. Pendapat yang menentang nya mengatakan bahwa ideal city itu menyatakan bahwa kota yang ideal itu didalam terdapat order dan disorder (terdapat campuran sesuatu yang bersifat positif dan negative di dalamnya).
Hal senada juga dikatan oleh Sennett, “Disorder is actually a good thing that should happen in the cities.”

Dari dua macam pendapat di atas saya lebih setuju dengan pendpat kedua, yang mengatakan bahwa ideal city, itu di dalam nya terdapat order dan disorder. Mengapa? Karena menurut saya order dan disorder itu sangat berkaitan satu sama lain, tanpa adanya disorder tidak mungkin terbentuk order (jika semuanya sudah terusun dengan rapi dan tidak ada yang di katakan tidak baik itu maka mungkin saja sesuatu yang sudah order itu suatu saat berubah menjadi disorder, karena tidak ada yang menjadi perbandingan. Hal ini bisa saja membuat pandangan orang mengenai sesuatu yang order itu berubah menjadi sesuatu yang disorder karena terjadinya perkembangan pemikiran manusia dan kemajuan ilmu pengetahuan).

Menurut pendapat saya ideal city itu merupakan suatu keadaan kota yang seimbang (terdapat keseimbangan antara segala sesuatu). Hal-hal yang positif dan negative tersebut saling melengkapi dan saling mempengaruni dan membutuhkan satu sama lain. Menurut saya, kita tidak bisa membuat sebuah patokan seperti apa sebuah kota yang dikatakan “Ideal City” secara global, karena terdapat banyak hal yang mempengaruhinya seperti dalam hal kebudayaan dan kebiasaan yang ada di dalam suatu masyarakat (misalnya, di salah satu Negara di Kamboja wanita yang dikatakan cantik oleh mereka adalah wanita yang memiliki leher yang panjang dan mereka mulai dari anak-anak mulai memasukkan kalung-kalung di leher mereka agar semakin panjang. Namun hal itu hanya berlaku di daerah tersebut, mungkin bagi kita yang melihat hal itu tidak cantik sama sekali). Begitu juga dalam perencanaan sebuah kota, karena setiap daerah memiliki kebudayaan masing-masing dan hal tersebut mempengaruhi cara pandang mereka mengenai suatu kota yang dikatakan ideal tersebut.

April 2, 2009

Order dan Disorder, Seberapa Penting dalam Kota Ideal?

Filed under: ideal cities — ranggaayatullah @ 20:13
Tags: , ,

Jika mewacanakan tantang sebuah kota yang ideal, mungkin hanya berujung pada sebuah utopia. Menurut asal katanya pun, kota ini hanya ada dalam angan-angan, di tempat yang mungkin tepat disebut antah berantah. Ada dua kubu yang mempertentangkan bagaimana sebenarnya kota yang ideal, yang mengambil tema besar, sempurna dan tidak sempurnanya kondisi sebuah kota.

Kevin Lynch menyatakan bahwa, ”Ideal city reflects order, precision, clear form, extended, space, and perfect control”. Dengan kata lain, isi dari sebuah kota idel adalah sesuatu yang dianggap baik, bagus, indah, sempurna dalam pandangan umum. Le Corbusier mendukung pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa “city of tomorrow” adalah separating dan zoning. Di pihak lain, Lofland, Jacobs, dan Sennett berpendapat sebaliknya bahwa dalam sebuah kota, tak mungkin hanya ada sesuatu yang baik, bagus, indah, sempurna. Lofland mengatakan bahwa “city is many things”, ada sesuatu yang sempurna dan tidak sempurna, baik dan buruk.

Kemudian pertanyaannya adalah sebenarnya yang disebut ideal yang seperti apa? Saya cenderung berada pada kubu Lofland Dkk dengan semacam propaganda bahwa mungkin kota ideal tidak akan pernah ada, bahwa mungkin tidak salah bahwa kota ideal berisi segala sesuatu yang sempurna, tapi faktanya tidak ada sesuatu yang sempurna, bukan?

Order, dianggap mewakili kesempurnaan, dimana ada keteraturan, sedangkan disorder sebaliknya. Mungkin sesuatu yang dilupakan, dalam konteks perancangan, order dan disorder ini cenderung lebih dapat dilihat secara dua dimensi, bukan dirasakan secara ruang. Dalam perancangan kota, merancang dengan zoning, pola grid-grid yang beraturan sejak lama telah dilakukan.
Namun, urbanisme adalah sesuatu yang pasti memunculkan urban sprawl yang tidak bisa dihindari. Tapi justru disinilah sesuatu yang dianggap disorder itu bersama dengan sesuatu yang order selalu berjalan berdampingan, saling melangkapi.

Ambil contoh kota Jakarta yang tidak dirancang dengan pola yang order, Jakarta berkembang dengan sendirinya, dengan orang-orang dan aktivitas masing-masing. Sebuah pertanyaan, Jakarta adalah kota yang penuh kemacetan, bagaimana sesungguhnya keadaan disorder ini terhadap kota Jakarta? Dari satu hal, macet, sessuatu yang disorder ini bisa membawa kepada sesuatu yang order, misalnya orang yang bekerja, karena dia tahu akan mengalami macet, maka dia bisa membuat semuanya menjadi lebih teratur. Lebih luas lagi, berhubungan dengan urban sprawl, sesuatu yang dibuat dengan order, lama-kelamaan akan tumbuh disorder, dan jangan-jangan sesuatu yang disorder itu justru menjadi keadaan yang order. Kemacetan di Jakarta mungkin bisa jadi salah satu contoh, hal ini sudah menjadi bagian dari kehidupan sosial. Jangan-jangan justru macet ini yang membuat Kota Jakarta menjadi “JAKARTA”. Ketika terjadi disorder dengan kondisi ini, misalnya saat Idul Fitri, Jakarta menjadi kota yang sama sekali berbeda, warga Jakarta justru menikmati keadaan ini. Jakarta dengan kemacetan dan tanpa macet juga telah menjadi sesuatu yang order, menjadi sebuah siklus tahunan.

Order dan disorder tidak selalu baik atau buruk dan sebaliknya, meraka mutlak ada dan sebenarnya keduanya menjembatani proses perjalanan sebuah kota untuk (hanya) mendekati kondisi ideal. Ya, City is both perfect and imperfect things…

March 29, 2009

The Marriage of Order and Disorder, Probably?

Filed under: ideal cities — meurin @ 19:28
Tags: , , , ,

Menurut saya, itu justru pasti dan mereka tak terpisahkan. Karena mereka berdua sangat dibutuhkan. Dalam kuliah Geometri tanggal 16 dan 23 Maret 2009 yang membahas tentang geometri dan kota ideal, order dan disorder tampak terpisah dan tak memiliki kaitan di antaranya. Namun, apabila diselami lebih mendalam, justru saya menemukan bahwa makna order dan disorder yang mereka sebutkan hanyalah salah satu dari banyaknya dan bermacam-macam sudut pandang. Pada kenyataannya, order dan disorder benar-benar tak dapat dipisahkan. Mereka ada di mana-mana, baik distrik terkecil maupun seluruh kota.

Misalkan, kutipan Eaton: ”The grid, the orthogonal plan with parallel streets, right angles, used frequently in ancient planning, appears to be the ideal city form..”. Ini jelas bahwa order itu hanya meliputi tampilan saja. Namun, bagaimana dengan keanekaragaman penggunaan (disorder) di dalam kota? Di dalam kota yang berpenampilan seperti kotak-kotak, terdapat bangunan-bangunan dengan fungsinya yang beragam, seperti toko, apotek, sekolah, dan sebagainya. Bisa juga, itu berupa bentuk-bentuk bangunan yang bervariasi. Hanya saja, kota itu ditata menurut grid, tanpa ada pembagian fungsi atau bentuk bangunan.

Atau mengacu kutipan Lofland : “the separation of activities as the prominent character of modern cities to avoid the ‘pile-up’ of activities.” Maksud kutipan ini adalah perzonaan itu penting agar tampak teratur. Misalkan sebuah kota terbagi menjadi tiga zona. Zona pertama adalah zona perbisnisan, zona kedua adalah zona permukiman, dan terakhitnya, zona peribadahan umum. Bagi Jane Jacobs, perzonaan itu adalah order dan itu monoton. Akan tetapi, jika kita melihat keseluruhan kota, bukan salah satu zonanya, justru terlihat keragamannya. Kita melihat ada tiga zona yang berbeda seperti merah, biru, dan kuning. Dari bukunya berjudul ”The Death and Life of Great American Cities”, Jacobs sesungguhnya hanya menyoroti keragaman dalam suatu distrik yaitu bervariasi dan lengkapnya fasilitas yang tersedia di situ, adanya elemen yang multifungsi seperti jalan, dan bangunan-bangunan yang berbeda usia (old and new style). Namun, bagaimana dengan jalan? Dalam buku, ia sering menggambarkan jalan sebagai garis lurus dan tidak berliku-liku . Tanpa disadarinya, jalan itu justru adalah order. Jalan itu yang membagi dan menata kota. Kita tidak mungkin bisa berjalan di jalan yang berliku-liku setiap meter karena itu akan menghabiskan banyak waktu dibandingkan jalan lurus.

Seperti yang dikatakan Venturi dan Brown, ”’complex order’ or ‘difficult order’ the order that includes the mixture of clashing elements and it is not order dominated by the expert and not easy for the eye”. Selain ditafsirkan bahwa keanekaragaman juga bentuk order, ini juga dapat diartikan bahwa order dan disorder tidak terpisahkan.

Bagi saya, sesungguhnya order dan disorder itu tidak penting karena order dan disorder itu akan selalu berpasangan seperti suami istri. Kita tidak mungkin bisa hidup di dunia yang order atau disorder. Di kota yang order, pasti ada disorder misalkan hal yang tak terduga terjadi. Begitu juga sebaliknya. Di kota yang disorder, pasti ada order, misalkan pola jalan. Order dan disorder ada untuk saling menyeimbangi. Yang terpenting, adalah mana penataan kota yang cocok bagi kita sebagai penghuninya, yang dapat kita pilih dari bermacam-macamnya cara penataan kota.

Geometry in Ideal City

Filed under: ideal cities — r1ss @ 09:17
Tags: ,

Apa peran geometri dalam pembentukan kota ideal? Kota adalah sebuah tempat dimana banyak kehidupan masyarakat yang terbentuk didalamnya, sedangkan dimana geometri? Ada sebuah kutipan yang menghubungkan geometri dengan kota ideal dimana hasilnya bahwa di dalam kota ideal tersebut harus ada order serta pattern yang rapih dan teratur dalam kota tersebut dan tidak ada yang salah penempatan (full of perfect control).

Windsor-Liscombe: “Geometry has been used to develop the layout of ideal cities. Most often the use of geometry results in a regular pattern of streets and space in the city”
Lofland : ”The ideal of the modern city is like the ideal of a well-ordered home. A place for everything and everything in its place”

Pada kutipan diatas, geometri dijelaskan hanya berperan dalam pembentukan order, pola jalan serta space dalam kota ideal. Tapi apa order dan pattern yang rapih benar-benar merupakan syarat terbentuknya kota ideal? Dan apakah bisa pasti dikatakan sebagai sesuatu yang ideal apabila sesuatu tersebut selalu harus berada di tempatnya yang sesuai? Kota ideal juga sempat tercetus seperti kota utopia atau kota impian oleh Thomas More tentang The Island of Utopia. Apabila disebutkan sebagai utopia atau impian, maka sewajarnya masyarakat didalamnya juga dilibatkan didalam kota itu, karena dikatakan sebagai kota impian tentunya kota itu merupakan impian dari masyarakat yang tinggal didalamnya. Dan apabila ingin menjadi impian bagi masyarakatnya, maka harus ada pemenuhan untuk masyarakat itu sendiri. Namun ternyata Thomas More berpendapat kota ideal adalah dimana ada order pada jalan serta rumah-rumahnya.

More : “The fine appearance and the orderliness of the streets, houses, and gardens.”

Ketika geometri dimasukan ke dalam kota ideal maka muncullah persyaratan order dan pattern, lalu masyarakat yang ada didalamnya seperti budaya dan kehidupan sehari-hari masayrakat itu menjadi tak terbahas lagi. Padahal kemungkinan besar, masyarakat yang tinggal di sebuah kota mungkin tidak mempedulikan bagaimana order kota mereka, karena yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana kota tersebut dapat nyaman untuk mereka tinggali dan dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Kota yang dikatakan sebagai kota utopia adalah kota impian untuk masyarakatnya sehingga pertimbangan kehidupan masyakat didalamnya pun menjadi penting, seperti yang dijelaskan dalam sebuah buku Archis tentang sebuah ide kota utopia.
“The district of the utopia city could correspondent to the whole spectrum of diverse feeling that one encounters by chance in everyday life.”

Ide kota utopia lain ini juga dicontohkan yaitu seperti ide Peter Cook pada “Plug-in City”. Dikatakan tentang kota tersebut yaitu,

“A city which is districts evoke moods…Every quarter has its ambience, its own décor, its own emotion, its own constellation of desires” (archis).

Plug-in city adalah sebuah mobile society, dimana orang-orang yang tinggal didalamnya dapat berpindah dan juga dapat berfungsi sebagai penentu. Di dalam kota ini, yang diutamakan yaitu bagaimana setiap tempat tinggal dapat memenuhi keinginan (desires) dari orang yang tinggal didalamnya, bahkan bisa mengikuti mood dari penghuni di dalamnya. Ide plug-in city merupakan sebuah usaha untuk memenuhi kebutuhan dari masyarakatnya dengan salah satunya yaitu kemungkinan penghuni tersebut dapat berpindah beserta tempat tinggalnya. Dan tidak ada pengaturan order khusus dalam kota ini. Lalu pada bagian ini, dimanakah geometri berperan? Karena tidak adanya order jalan dan rumah yang harus dipenuhi. Apabila melihat dari beberapa pendapat arsitek seperti Le Corbusier dan lofland maka Ideal City = Order.

Apabila ada geometri dalam kota ideal maka akan ada order dan hanya mempertimbangkan kondisi fisik kota seperti pattern jalan dan rumah-rumah. Lalu kalau tidak ada geometri dalam kota ideal maka apa mungkin barulah kota ideal dihubungkan dengan masyarakatnya seperti yang terjadi pada plug-in city? Dan apabila geometri hanya berperan sebagai order dalam sebuah ideal city, lalu apabila order itu tak ada, apakah berarti tidak ada peran apapun untuk geometri dalam sebuah kota ideal?