Belakangan membicarakan tentang ideal cities, membuat saya ingin membahas masalah yang mungkin akan sedikit melebar dari geometri disini, namun apalah salahnya…
Entah kenapa, penduduk Jakarta lebih terbiasa memilih menggunakan kendaraan pribadi dibanding kendaraan umum atau berjalan kaki. Di Jakarta, hal ini sering dianggap karena kebanyakan penduduknya hidup sebagai komuter, ditambah kesulitan menggunakan sarana transportasi masal yang nyaman, sehingga kendaraan pribadi dipilih sebagai pilihan mutlak transportasi. Kadangkala saya menganggap ini berpengaruh pada perancangan gedung di Jakarta yang terlihat lebih berorientasi pada kendaraan bermotor.
Dari pengalaman sendiri ketika berjalan di kebanyakan gedung Jakarta, saya merasakan sulitnya berjalan kaki di pelataran luar gedung-gedung berfungsi publik Jakarta. Sebagai pejalan kaki seringkali perjalanan menuju sebuah gedung menjadi sebuah ketidaknyamanan tersendiri karena kurangnya dukungan jalur berjalan kaki yang nyaman. Menurut saya, ketidaknyamanan tersebut seringkali dikarenakan perjalanan harus ditempuh cukup jauh ke dalam disebabkan kebiasaan meletakkan garis setback gedung jauh di belakang karena peraturan sempadan bangunan yang disalahkaprahkan oleh perancang dan pengelola gedung.
Salah kaprah karena dirancang tanpa orientasi pada pejalan kaki, namun lebih peduli pada kendaraan bermotor. Padahal hidup-matinya sebuah kota dilihat dari aktivitas manusia di luarannya, dan pejalan kaki adalah aktor utama kehidupan kota urban seperti Jakarta.
Bukan hal aneh bila dijumpai pejalan kaki yang dihardik oleh klakson kendaraan ketika hendak masuk sebuah gedung seakan mereka menghalangi lalu-lalang kendaraan parkir, karena hampir semua bangunan dirancang dengan orientasi pada kendaraan saja. Sehingga entah apapun tipologi bangunannya drop-off untuk mobil selalu dibuat tepat di depan pintu masuk utamanya yang menghadap jalan, dan seberapapun sempitnya garis sempadan bangunan selalu dimaksimalkan untuk lahan parkir sepenuh mungkin.
Bagi saya, hal ini mematikan potensi lahirnya aktivitas manusia yang mampu menunjukkan ekspresi publik di bangunan. Di Jakarta, hal ini adalah sebuah ironi karena bahkan bangunan yang fungsinya (atau hanya fungsi lantai dasarnya) dirancang sebagai penarik keramaian, seperti retail dan kafe, pun berpaham yang sama kesalahkaprahannya.
Bukan hal yang aneh karena kita hidup di jaman modern. Dari awal kemunculannya kendaraan bermotor telah menjadi elemen dasar yang tumbuh bersama kehidupan kota besar. Semenjak The Athens Charter (1943) ditulis oleh Le Corbusier bersama arsitek dan perancang Modern orang mulai melupakan kecuali merancang dengan untuk kendaraan bermotor. Douglas Farr, dalam salah satu esai dalam Charter of New Urbanism (2001), jurnal yang mengkritik pandangan modern tersebut, menuliskan bahwa, “Automobiles are a fact of modern life, and they are not going away. Walking, on the other hand, faces extinction in most places built since World War II – places designed for the convenient use of cars. This is nothing new, since the form of the cities and towns have always adapted to people’s dominant method of getting around. What is different is that places designed around cars are hostile to pedestrians. Try to walk across an eight-lane suburban arterial, and you understand this immediately”.
Orang yang berjalan kaki mengalami kesulitan karena keberadaan mereka terlupakan, bila tidak mau dibilang tidak dihargai. “What remains is a tragic paradox: a metropolitan region where cars can travel anywhere while pedestrian cannot. The importance of this Charter principle emerges when one understands that when places are designed exclusively for cars, fewer people will walk”.
Hal ini juga terjadi di Jakarta, orang mulai melupakan bagaimana membuat tempat publik yang ramah pada pejalan kaki, ujung-ujungnya, orang-orang lupa bagaimana menghargai ruang publik. Rasakan saja apabila anda berada di luaran Jakarta. Seberapa nyaman pejalan kaki berjalan di jalanan Jakarta? Ruang terbuka langka dan bangunan-bangunan yang berdiri kebanyakan tidak memiliki penghargaan pada manusia. Bangunan dirancang tanpa orientasi pada pejalan kaki, namun lebih peduli pada kendaraan bermotor. Padahal hidup-matinya sebuah kota dilihat dari aktivitas manusia di luarannya, bukannya ramainya kendaraan di jalanan, karena penghuni kota adalah manusia.
Farr juga menyatakan bahwa, “In the contemporary metropolis, development must adequately accommodate automobiles. It should do so in ways that respect the pedestrian and the form of public space”. Dalam konteks sekarang sebuah metropolis, kota urban seperti Jakarta haruslah memiliki penghargaan yang cukup pada pejalan kaki dan ruang publik. Seperti yang ditulis oleh Ridwan Kamil dalam artikelnya “Arsitektur Kota Anti Kota” dalam majalah I-Arch, edisi 02/2002, bahwa the city is the people, ia mencontohkan bahwa kota-kota dunia yang masuk kategori world great cities umumnya memiliki kepedulian akan pentingnya ruang-ruang sosial kota, social space sebagai bagian dari roh kehidupan sebuah kota. Menurutnya, kemajuan peradaban, teknologi, dan kompleksitas budaya tidak seharusnya merusak definisi bahwa kota adalah untuk manusia.
Ia berpendapat bahwa “bangunan hadir dan bersentuhan dengan publik”, sehingga sudah semestinya bahwa setiap gedung yang dirancang dalam kota urban seperti Jakarta haruslah menjadi “karya arsitektur pro publik yang sensitif menghidupkan kota”. Hal ini yang mungkin menjadi kekurangan di Jakarta, karena menurutnya hampir setiap bangunan yang berdiri di Jakarta ”tidak memiliki sensitivitas terhadap konteks kota, hanya fokus pada arsitekturnya tidak pada konteksnya”. Inilah yang ia sebut sebagai sebuah perancangan yang ”anti-urban”.
Sepanjang pengetahuan saya, di Jakarta lahan terbuka depan (dan bawah) bangunan ada juga beberapa yang difungsikan sebagai sebuah publik plaza alih-alih sirkulasi dan parkir kendaraan semata. Berarti ada sebuah usaha agar kehadiran bangunan tidak menjadi sebuah perancangan anti-urban. Namun, tidak semuanya berhasil menunjukkan ekspresi urbannya, karena minus kehadiran kegiatan publik yang aktif di situ. Hal ini bisa jadi disebabkan karena hal yang sebagaimana ditulis dalam sebuah artikel singkat: ”many public plazas fail as social gathering spots, usually involves a failure to understand how indispensable the public realm is to the humanization and socialization of a city’s inhabitants and, thus, the many ways in which a plaza can be enjoyed”.
Ini bisa menjadi alasan kesalahkaprahan yang terjadi karena, ”often, public spaces are designed only as an afterthought to highlight surrounding architecture”. Ada sesuatu yang maklum terjadi karena kelupaan akan pentingnya penghargaan pada pejalan kaki ketika merancang sebuah ruang publik. Di sini pejalan kaki tidak hanya berarti orang-orang yang berjalan kaki menuju bangunan, namun juga mereka yang berpotensi untuk beraktivitas di bawah bangunan (ketika mereka menunggu, atau sekadar mencari udara luar).
Ridwan Kamil dalam artikel yang sama mencirikan perancangan anti-urban di Jakarta dalam tiga bagian masalah, yaitu:
1 Fungsi non-publik di lantai dasar
Salah satu ciri kota yang aktif secara positif adalah hadirnya fungsi-fungsi publik atau retail di lantai dasar sebuah bangunan. Di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia, lantai dasar sebuah bangunan besar umumnya adalah ruang lobi formal yang tidak menyumbang apa-apa bagi kehidupan kota.
2 Kapling-kapling egois
Manusia sebagai makhluk sosial berkewajiban berperilaku sosial yang positif dan bertoleransi antar sesama. Begitu pula arsitektur kota. Seharusnya antar bangunan yang satu dengan lainnya bertoleransi dengan memberikan ruang untuk kelancaran publik bernegosiasi terhadap ruang kota. Di Jakarta, antar bangunannya dikapling-kapling dan dibentengi. Pedestrian tidak leluasa bergerak dari satu bangunan ke bangunan lain.
3 Parkir dan drop-off di halaman depan
Ruang paling berharga dalam konteks kota adalah ruang terbuka di depan bangunan, yaitu area dari batas lahan ke garis sempadan bangunan. Sayangnya dengan rasa tidak bersalah selalu menjadikannya sebagai ruang parkir dengan drop-off formal. Perilaku rancangan ini mematikan potensi lahirnya kehidupan yang beradab dan aktif. Parkir sebenarnya bisa langsung ke basemen dan drop-off bisa dari jalan samping atau di dalam kapling. Area inilah yang bisa berpotensi menjadi ruang sosial publik berupa ruang hijau, ruang duduk, atau ruang luar dari sebuah kafe di lantai dasar.
Jakarta mungkin butuh contoh untuk menciptakan kehidupan kota yang ramai oleh aktivitas manusia di permukaan tanah, dan kehadiran bangunan yang menapak di tanah adalah bagian pertama dari itu. Bangunan yang beorientasi pada pejalan kaki, dan bukannya kendaraan, yang mampu menghadirkan kenyamanan bagi pejalan kaki dan menciptakan ekspresi publik yang baik terutama di pengolahan latar depan (atau lantai dasar) bangunan tersebut. Dengan harapan bahwa bukan tidak mungkin di Jakarta ada, maka saya kira perlu dicermati kemunculan bangunan yang lebih ”menapak” tersebut di Jakarta.
You must be logged in to post a comment.