there’s something about geometry + architecture

March 23, 2011

Platonic Solid dan Origami

Filed under: architecture and other arts — triwahyuni89 @ 21:46
Tags: ,

Platonic solid  yang kita kenal adalah suatu bentuk-bentuk seperti tetrahedron, octahedron, kubus, dan lain-lain. Pengaruh platonic solid pun nyatanya banyak dijumpai dikehidupann sekitar kita, misalnya saja adalah bola, bila melihat runutannya, platonic solid merupakan gabungan dai beberapa bidang. Hal yang sama terjadi dengan bola yang sering kita gunakan untuk bermain sepak bola. Bola yang sering kita jumpai ini pun merupakan gabungan dari beberapa bidang segi enam. Pada kenyataannya platonic solid banyak di temukan pada kerajinan origami, baik dengan permainan bidang, maupun permainan struktur yang akhirnya mempenunjukkan bentuk platonic solid.

Sebut saja kusudama, origami bola ini termasuk pada platonic solid dengan permainan bidang, kebanyakan digunakan sebagai hiasan gantungan handphone ataupun lampion.

“kusudama”

Ternyata bukan hanya kusudama saja, origami lain yang memiliki pendekatan dengan platonic solid adalah kantenmodul dan juga sham origami, keduanya lebih terlihat dengan permainan struktur atau rangka-rangka pembentuk bentukan platonic solid.

“sham origami”

Yang menarik dari bentuk-bentuk ini, mereka memiliki modul bidang segitiga yang dikenal dengan bentuk yang paling kuat strukturnya.  Seperti pada bola pun yang merupakan gabungan beberapa bidang segi enam, bila di pecah lagi, segi enam sendiri terdiri dari enam bidang segitiga.

Bentuk-bentuk platonic solid ini pun menjadi ide dalam arsitektur. Contohnya saja bangunan yang sangat terkenal, yaitu piramida yang berbentuk platonic solid limas segitiga.

Ikebana: Bentuk Kecantikan dari Keasimetrisan dan Kekosongan

Filed under: architecture and other arts — klarapuspaindrawati @ 15:49
Tags: , ,

Ikebana, seni merangkai bunga yang berasal dari Jepang merupakan salah satu metode merangkai bunga yang kaya akan nilai seni serta filosofi. Dari sejarahnya, seni merangkai bunga ini muncul di abad ke enam, ketika ajaran Buddha masuk ke Jepang. Salah satu bagian dari ritual di dalam agama Buddha adalah merangkai bunga di altar sebagai persembahan untuk roh – roh orang yang sudah meninggal. Ikebana berasal dari padanan kata ikeru, yang berarti menempatkan atau menyusun kehidupan dan kata hana yang berarti bunga, seni ini mulai dikembangkan di Jepang sejak abad ke 15.

Ikebana memiliki perbedaan pada seni merangkai bunga pada umumnya yang menekan pada komposisi warna yang menarik dari kelopak – kelopak bunga dengan bentuk yang juga beragam. Ikebana justru menekankan pada bagian tangkai dan daun bunga dengan jumlah bunga dalam satu rangkaian diminimalkan. Struktur yang digunakan dalam merangkai bunga adalah geometri dari scalene triangle, atau yang kita kenal dengan segitiga sembarang. Struktur segitiga sembarang ini memiliki filosofi mengenai unsur – unsur pembentuk kehidupan: surga, bumi, dan manusia, atau menggambarkan matahari, bulan, dan bumi.

Beberapa aturan yang diterapkan dalam ikebana adalah:
1. Menggunakan jumlah bunga yang minimal dibanding jumlah tangkai dan daunnya.
2. Layer rangkaian bunga diminimalkan, sehingga akan menampilkan banyak ruang kosong .
3. Penekanan dalam komposisi diberikan pada garis pemberi bentuk.
4. Mengacu pada imajinasi bentuk segitiga sembarang dan asimetri.
5. Perangkai bunga harus dalam situasi hening saat sedang merangkai sebagai wujud rasa hormat terhadap alam dan meresapi alam sebagai pemberi ketenangan bagi pikiran, jiwa, dan tubuh.

Image and video hosting by TinyPic

Dari komposisi dan metode yang diterapkan pada seni ikebana, sebenarnya terkandung beberapa filosofi yang mengajarkan berbagai makna hidup. Dari proses pembuatannya, ikebana mengajarkan ketenangan bagi perangkainya dengan penghayatan terhadap benda alam sebagai sumber ketenangan hidup. Konsep kata Ma, merupakan konsep mengenai kekosongan yang diterapkan pada ikebana. Ma, berarti kosong, ruang void. Kekosongan dalam hal ini menajdi poin utama, hal yang ditonjolkan sebagai sumber energi. Ruang kosong yang terbentuk di dalam rangkaian meemberikan kehidupan bagi bunga – bunga yang dirangkai karena dengan demikian ada ruang – ruang untuk bernafas. Dalam kehidupan, ruang kosong dalam jiwa dan pikiran dibutuhkan untuk menjauhkan diri dari tekanan dan kondisi stres. Ruang kosong pada rangkaian ikebana menjadi penghubung elemen – elemen penyusun yang digunakan dan menciptakan keutuhan. Komposisi asimetris dalam ikebana justru menciptakan keseimbangan dan menggambarkan keasimetrisan sebagai hal yang terjadi secara natural pada benda – benda alam. Ikebana memang bentuk kesenian yang sangat berkaitan dengan penenangan jiwa baik bagi perangkai, maupun bagi orang yang melihat hasil karya ikebana melalui komposisi garis dan keseluruhan elemen rangkaian.

Sumber:
http://en.wikipedia.org/wiki/Ikebana
http://www.presentationzen.com/presentationzen/2009/09/0-design-lessons-from-ikebana.html
http://www.suite101.com/content/ikebana-flower-arranging-a98237
http://www.essortment.com/ikebana-flower-arranging-58233.html
http://outsiderjapan.pbworks.com/w/page/24318046/Ikebana
http://www.google.co.id/imglanding?q=ikebana&um=1&hl=id&client=firefox-a&rls=org.mozilla:en-US:official&tbs=isch:1&tbnid=jKnLVK9XIlbL_M:&imgrefurl

Mess is the Law

Filed under: contemporary theories — buyunganggi @ 15:41
Tags: ,

Tulisan ini akan membahas tentang architectural mess yang dimaksudkan oleh Jeremy Till dalam bukunya Architecture Depends. Saya mencoba membahasnya dengan cara membandingkan antara mess yang dimaksud olehnya(Till) dengan pengertian mess oleh dua arsitek lain(Leach & Harries).

Architecture depends… on what? Begitulah pertanyaan yang langsung muncul di pikiran saya ketika membaca judul buku yang ditulis oleh Jeremy Till, Architecture Depends. Arsitektur bukan merupakan sebuah disiplin ilmu yang bisa berdiri sendiri. Buku ini menjelaskan bagaimana seharusnya sebuah arsitektur itu bisa bekerja dengan baik, dengan memperhatikan segala aspek yang terdapat di dunia nyata. Realita kehidupan sehari-hari masyarakat – yang mengokupansi ruang – merupakan fokus utama dalam memproduksi sebuah arsitektur yang baik.

“But architects will deserve this attention only if they give up their delusions of autonomy and engage with others in their messy, complex lives. Then, maybe, mess will be the law“.(Till, 2009)

Jika Mies van de Rohe menyatakan “Less is More”, sedangkan Robert Venturi membantahnya dengan “Less is Bore”, maka Jeremy Till muncul dengan sesuatu yang baru, “Mess is the Law”. Till menekankan tentang mess yang dihasilkan oleh masyarakat kita, bukan merupakan sebuah ancaman bagi sebuah arsitektur. Akan tetapi, merupakan sebuah kesempatan bagi arsitek untuk menyelesaikanya(secara spasial).

“I am only suggesting that contingency is a pivotal feature, and needs to be taken into account rather than avoided as a potential threat. In this contingency situates us in the real world, providing opportunities for transformative change while avoiding the siren calls of ideals”.(Till, 2009)

Pada akhirnya, architectural mess menghasilkan, dalam sebuah masyarakat tertentu, sebuah contingency. Contingency merupakan gabungan antara sebuah keadaan yang sebenarnya/realita dengan sebuah kemungkinan(Hegel,1969). Menurut Till(2009), kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di dalam realita masyarakat kita inilah yang seharusnya diperhatikan oleh para arsitek. Hal yang demikian akan menghindarkan arsitektur dari sesuatu yang ideal, karena sesuatu yang ideal belum tentu merupakan sesuatu yang dibutuhkan.

“Where order and certainty close things down into fixed ways of doing things, contingency and uncertainty open up liberating possibilities for action. In this light contingency is more than just fate; it is truly an opportunity”.(Till, 2009)

Ketika architectural mess melahirkan sebuah contingency, hal tersebut bukan merupakan sebuah ancaman bagi arsitektur. Sebuah kemungkinan justru akan menghasilkan suatu kesempatan yang memicu kreativitas. Lebih lanjut, Till(2009) menganalogikan cara arsitek untuk menyelesaikan kesempatan-kesempatan tersebut, yaitu dengan menjadi Angels with Dirty Faces yang mengibaratkan arsitek merupakan seorang malaikat yang dapat pergi kemana saja bahkan sampai ke kedai-kedai kopi untuk mengamati realita kehidupan masyarakat yang menjadi obyek utama bagi asitektur.

“They then sweep down, colored and embodied, discursive and slightly grubby as they drink cheap coffee from street stalls. It is movement from on high to low and back again that is necessary for architectural angels if one is not going to get overwhelmed by the brute realities of the everyday world”.(Till, 2009)

Dari pembahasan di atas, Jeremy Till lebih menitikberatkan architectural mess yang bersumber dari social lives. Bagaimana dengan arsitek-arsitek lainnya?

“Architects have become increasingly obsessed with image and image-making, to the detriment of their discipline. The sensory stimulation induced by these images may have a narcotic effect that diminishes social and political awareness, leaving architects cosseted within their aesthetic cocoons, remote from the actual concerns of everyday life”. (Leach, 1999)

Neil Leach(1999) mencoba memberikan konteks yang berbeda kepada architectural mess. Menurutnya, akan sangat tidak benar jika para arsitek hanya memikirkan tentang image di dalam sebuah arsitektur. Mess dalam konteks ini lebih menekankan tentang mess yang hadir akibat salah persepsi oleh sang arsitek sehingga menghasilkan sebuah karya arsitektur yang dapat merusak kehidupan sosial budaya masyarakat. Dalam hal ini, mess merupakan sebuah hasil dari suatu tindakan yang dilakukan oleh arsitek.

“Architecture along the principles of functionalism, programmatic, determinism, and technological expressionism, produce building, without connection to site & place, the human being, and history ”.(Harries, 1997)

Karsten Harries(1997) berpendapat bahwa architectural mess adalah apa yang dilakukan oleh para arsitek modernism. Menurutnya, mass production sangat tidak humanis. Oleh karena itu, arsitektur harus lebih memperhatikan manusia yang akan menggunakannya.

Dari ketiga pendekatan tentang architectural mess di atas, masing-masing memang memiliki konteks yang berbeda. Jeremy Till memberikan penekanan bahwa mess yang ada pada masyarakat kita merupakan obyek yang harus dipahami agar menghasilkan sebuah arsitektur yang baik. Sementara Neil Leach menekankan bahwa interpretasi seorang arsitek yang salah terhadap suatu obyek akan menghasilkan mess dalam masyarakat tersebut. Sedangkan Karsten Harries berpendapat bahwa mess akan terjadi jika arsitek tidak memperhatikan manusia sebagai aktor utama dalam arsitektur.

Gambar Apa Ini???

Filed under: perception — androkaliandi @ 15:39
Tags: , , ,

Image and video hosting by TinyPic

Pada gambar A dan B kita cenderung belum mengetahui benda apa yang ditangkap kamera. Kita menebak gambar adalah sumber cahaya, bulan atau lampu. Dengan gambar C kita sudah dapat mengenal benda apa yang terpapar yakni lampu downlight, namun belum jelas geometri tiga dimensional-nya. Karena saya memotret secara orthogonal, kita cenderung menebak lampu downlight bundar yang tertanam di plafon. Ketika kita telah melihat gambar D, kita tidak hanya tahu benda apa yang terpapar, tetapi kita juga tahu bentuk geometrinya (tabung). Ternyata lampu downlight-nya tidak ditanam di plafon, tetapi justru muncul keluar dari plafon. Berbeda dengan gambar C yang saya potret secara orthogonal, gambar D saya potret secara perspektif. Apabila ketika memotret gambar C, saya memosisikan diri tegak lurus dengan objek (lampu). Namun ketika memotret gambar D, saya memposisikan diri lebih bebas dari objek. Ketika saya mengamati objek lebih bebas, saya lebih dapat memahami benda secara keseluruhan. Mungkin hal serupa juga yang dikritik Gibson tentang teori Gestaalt. Ketika Gestaalt mengalami persepsi visual secara dua dimensional, maka Gibson mengajukan teori persepsi tiga dimensional. Karena memang manusia mengalami ruang secara tiga dimensional. Gambar A dan B saya potret ketika malam hari, lampu sedang dalam keadaan menyala. Gambar A saya potret secara orthogonal, sedangkan gambar B saya potret secara perspektif. Meskipun saya memotretnya dengan dua cara, orthogonal dan perspektif, tetapi keduanya nampak seperti gambar dua dimensional. Mengapa? Menurut saya hal ini dapat dihubungkan dengan jenis lampu, yakni downlight. Lampu downlight memberikan cahaya ke arah bawah (lantai), sehingga tidak memberikan kesempatan plafon mendapat cahaya langsung, kecuali dari pantulan lantai. Selain itu warna juga memberikan pengaruh. Warna hitam pada plafon sifatnya menyerap cahaya, bukan memantulkan. Sehingga ketika saya memotret lampu dari bawah, yang tertangkap oleh kamera adalah gambar cahaya dengan latar hitam (kegelapan). Dengan demikian bentuk tabung tiga dimensional tidak nampak, meskipun dipotret secara perspektif. Sepertinya ada kesempatan untuk melakukan manipulasi ruang dengan permainan cahaya. Dan kita perlu banyak belajar dari James Turrel: “what we see is not depth as such but one thing behind another”

Konsep Dimensi Pada Film Animasi

Filed under: architecture and other arts,contemporary theories — andreatheodore @ 15:35
Tags: ,

Tulisan ini bertujuan memaparkan dan membandingkan pemahaman konsep dimensi pada tiga contoh film animasi Jepang. Tulisan ini bertujuan sekadar memberikan gambaran pandangan orang lain terhadap konsep perbedaan dimensi melalui karya film fiktif.

Contoh 1: Pokemon

Film animasi Pokemon pada seri generasi keempatnya menampilkan monster-monster yang memiliki kemampuan untuk berpindah dimensi. Gambar di bawah ini menunjukkan satu atau dua monster Pokemon yang sedang melakukan perpindahan dimensi. Adapun jalur mereka berpindah pada gambar tersebut melalui suatu lubang temporal yang diciptakan oleh kekuatan monster tersebut.

Dalam serial animasi Pokemon, dimensi digambarkan sebagai satu dunia yang sebenarnya sama, namun berbeda ruang dan waktunya. Ada monster yang diceritakan menguasai suatu dimensi. Mereka sebenarnya berada dalam satu dunia yang sama, namun bisa melihat dimensi-dimensi lain yang digambarkan dengan gelembung (bubble).

Mereka dapat berpindah keberadaannya dari dunia satu ke dunia lain melalui suatu jalur penghubung dan jika kita melakukan sesuatu terhadap bubble dimensi tersebut, maka pada dimensi tersebut akan terjadi fenomena aneh seperti benturan antar ruang yang tidak terlihat dan distorsi waktu. Di salah satu filmnya, tokoh protagonisnya mampu merubah kejadian di masa depan dengan kembali ke masa lalu, namun ia tidak dapat menemui dirinya sendiri pada masa lalu, karena dapat mengakibatkan distorsi.

Contoh 2: Doraemon

Konsep dimensi pada film animasi Doraemon terlihat jelas pada penggunaan mesin waktu berupa sejenis kendaraan yang bisa menjelajahi lorong waktu, dengan pintu masuknya dari laci meja Nobita. Hal ini berarti manusia dapat kembali ke masa lalu dan melakukan sesuatu seperti pada film Pokemon, namun tindakan mereka tidak akan merubah masa depan. Bagaimana hal ini terjadi?

Di dalam filmnya diceritakan Doraemon dan Nobita sudah tahu masa depan yang akan terjadi. Mereka pun kembali untuk mencoba merubahnya. Ia kembali ke masa lalu. Namun, sebelum ia kembali menuju masa lalu, ia akan bertemu diri mereka sendiri yang datang dari masa depan untuk melakukan sesuatu di masa lalu mereka. Jadi, meskipun mereka berniat merubah masa depan, tindakan yang mereka lakukan ternyata akan sesuai dengan masa depan yang sebenarnya.

Jadi, di film ini dimensi yang berbeda dapat dicapai melalui lorong waktu, dan mereka dapat hadir pada ruang yang berbeda pada waktu bersamaan.

Konsep ini juga terlihat dari ‘pintu ke mana saja’. Pintu ini memutus jarak antar tempat, sehingga mereka dapat berpindah dengan cepat ke ruang dan waktu yang berbeda, namun rentangnya tidak sejauh mesin waktu.

Konsep dimensi lain juga terlihat pada kantong ajaib doraemon yang dapat menyimpan benda-benda ajaib milik doraemon dalam jumlah tak terbatas. Dalam suatu situs internet disebutkan bahwa kantong ini benda berdimensi 4 yang berukuran tanpa batas. Jadi, ada pemahaman bahwa konsep wujud 4 dimensi adalah ruang yang tak terbatas.

Contoh 3: Dragon Ball

Konsep dimensi pada film animasi Dragon Ball Z terlihat melalui penggunaan Time Machine. Time Machine adalah mesin yang diciptakan oleh ‘Bulma masa depan’ untuk digunakan oleh ‘Trunks masa depan’ agar dapat bepergian menuju masa depan ataupun masa lalu.

Ketika berkelana kembali ke masa lalu, Time Machine ini menciptakan aliran waktu yang baru yang bercabang dari waktu yang seharusnya. Setiap perubahan yang terjadi ketika kembali ke masa lalu akan berpengaruh pada masa depan pada aliran waktu yang baru.

Jadi, pada film ini, dimensi dijelaskan terpisah berdasarkan waktu dengan ruang yang sama. Saat Trunks masa depan (remaja) kembali ke masa lalu, ia bertemu dengan Trunks saat ini (present) yang masih kecil. Seseorang dapat bertemu dengan dirinya sendiri, namun tidak dalam waktu yang sama.

Dimensi dipisahkan oleh waktu, namun tetap pada ruang yang sama. Hal ini berbeda dari Pokemon yang memisahkan ruang dan waktu antar dimensi dengan bubble-buble. Selain itu, film Dragon Ball ini menciptakan 2 jalur masa depan. Masa depan yang seharusnya terjadi tidak berubah dan tetap terjadi, namun terpisah dari dunia masa depan yang tercipta akibat pengaruh perubahan tindakan manusia yang kembali ke masa lalu.

Tokoh-tokohnya dapat hadir pada ruang yang berbeda pada waktu bersamaan maupun pada waktu yang berbeda dalam ruang yang sama, karena jalur waktu dapat mengalami percabangan.

Dari ketiga contoh ini dapat dilihat pemahaman yang sedikit berbeda, namun semuanya membahas dimensi yang berbeda melalui variabel ruang dan waktu.

Organic Order?

Filed under: locality and tradition — buyunganggi @ 15:34
Tags:

Pada awal Februari 2011, saya pertama kali datang ke angkringan(tempat makan/warung kopi khas Jogja) di salah satu sudut di jalan Margonda. Angkringan tersebut mereproduksi teras/trotoar sempit di depan sebuah showroom mobil. Saat itu hanya terdapat gerobak makanan dan dua buah tikar gulung yang di gelar di samping gerobak, plus dua orang mas-mas pramusaji. Seminggu kemudian, tikar gulung bertambah menjadi empat. Dan beberapa hari berikutnya, ketika saya kembali lagi berkunjung, sudah terdapat kantilever sederhana yang terbuat dari terpal plastik yang disambungkan ke atap showroom sebagai penahan tampias air hujan.

Seorang tukang parkir, 6 tikar plus tikar cadangan, dan tambahan pramusaji adalah perkembangan angkringan ini ketika saya kembali dua hari berikutnya. Dan puncaknya, akhir bulan Februari, terdapat 8 tikar gulung(plus cadangan, dengan catatan tidak memungkinkan lagi digelar karena sudah sampai batas toko sebelah yang masih buka pada malam hari), sekitar 5 orang pramusaji, 2 orang tukang parkir(di kiri kanan sudah ada tanda batas parkir dari toko sebelah, saking penuhnya), panahan tampias yang lebih lebar, serta pangamen dan pengemis yang berdatangan silih berganti. Terhitung hanya sekitar sebulan angkringan ini menjadi salah satu tujuan favorit masayarakat sekitar. Lalu apa sebenarnya yang melatarbelakangi hal ini?

Jika dilihat secara kasat mata, fenomena keramaian tempat makan ini merepresentasikan keberhasilan dari si penguasaha warung ini dalam berbisnis maupun berarsitektur. Bagaimana pun, sebelum membuka angkringan ini sang pemilik pasti telah memikirkan hal-hal mengenai para calon konsumen maupun konteks sosial  serta keruangan yang ada di tempat tersebut, walupun mungkin hanya secara sederhana. Akan tetapi, yang patut dipertanyakan, kenapa angkringan yang berasal dari Jogja bisa begitu cepat diterima dan cukup berhasil menarik minat masyarakat Jakarta. Padahal, Christoper Alexander (1977) mengatakan “it is shown there, that towns and buildings will not be able to become alive, unless they are made by all the people in society, and unless these people share a common pattern language, within which to make these buildings, and unless this common pattern language is alive itself .“ Dengan kata lain, sebuah bangunan akan bisa menjadi hidup jika bangunan tersebut dibuat sendiri oleh orang-orang yang ada dalam sebuah masyarakat tertentu, dan jika masyarakat tersebut memiliiki sebuah pemahaman yang sama mengenai ‘pola bahasa’ untuk membuat bangunan ini, dan dan juga jika ‘pola bahasa’ (atau mungkin juga bisa disebut budaya/kebiasaan setempat) ini harus tetap lestari di tengah-tengah masyarakat tersebut.

Dalam the Oregon Experiment (Alexander, 1975), disebutkan bahwa organic order is the kind of order when there is a perfect balance; between the needs of the parts, and the needs of the whole. Mungkinkah angkringan tersebut telah meyeimbangkan order yang ada di jalan Margonda? Atau kah prinsip partisipasi(Alexander, 1975) berperan dalam hal ini?

Sebenarnya, tidak diperlukan orang Jogja untuk membangun dan kemudian mereka nikmati sendiri angkringan tersebut. Berpegang pada prinsip user – oriented, Muf Art & Architecture, dalam Occupying Architecture(Hill, 1998), berhasil membangun sebuah shared ground yang mengakomodir kebutuhan masyarakat sekitar, the Tate(Museum baru yang melatarbelakangi dibangunnya shared ground), serta masyarakat baru yang akan mnendatanginya. Muf mewawancarai 100 penduduk lokal, bertanya tentang keinginan mereka terhadap pembangunan shared ground yang sesuai menurut mereka. Video rekaman ini kemudian dikenal dengan “100 desires for SouthWark Street”. Mengacu pada strategi ini, sebenarnya hanya diperlukan pengenalan terhadap konteks sosial, politik, dan material yang mendalam terhadap sebuah masyarakat agar arsitektur yang kita hasilkan dapat berfungsi dengan baik(Brandt, 1998).

Origin of Geometry

Filed under: classical aesthetics — adefadli14 @ 15:33
Tags:

Geometri berasal dari bahasa Yunani  geōmetrein yang memiliki arti mengukur bumi. Bapak dari geometri yaitu Euclid atau Eukleidēs (sekitar 325 SM – sekitar 265 SM) dalam tulisannya “The Element” yang menjadi referensi utama dalam bidang geometri hingga abad ke – 20 menjelaskan mengenai Geometri yang kini dikenal dengan Euclidean geometry. Sekitar 2000 tahun setelah dibuatnya “The Element” geometri mengalami perkembangan dimana pada abad ke – 19 muncul non-Euclidean geometry. Dengan perkembangan yang terjadi, apakah obyek ilmu geometri tetap bumi, dimensi ruang dan waktu, atau ada obyek lain yang menjadi dasar pembelajaran dari ilmu geometri.

Geometri yang pertama kali dikenalkan oleh Euclid yang kini dikenal dengan Euclidean geometry adalah sebuah cabang ilmu dalam matematika yang mempelajari bentuk n-dimensi (gambar 1a). Sedangkan non-Euclidean geometry mempelajari bentuk yang tidak lurus melainkan melengkung (gambar 1b).

www.freeimagehosting.net

 

Pada abad ke-19 Felix Klein Erlangen mendefinisikan obyek geometri sebagai sesuatu yang tidak berubah saat dilakukan sebuah sistem transformasi pada obyek tersebut. Pendekatan yang dilakukan Klein pada geometri ini menjadi dasar matematika dan fisika pada abad ke-20. Sesuatu yang tak berubah seperti apakah yang dimaksud oleh Klein? Pada buku “Shape as Memory a Geometric Theory of Architecture” karangan Michael Leyton dijelaskan bahwa dasar dari geometri Euclid adalah gagasan bentuk kongruen. Sebuah bentuk kongruen dengan bentuk lainnya jika saat ditransformasi bagian – bagian pada bentuk tersebut letaknya saling bertepatan. Misalnya terdapat 2 buah segitiga (gambar 2a) dan untuk membuktikan kedua segitiga tersebut kongruen atau tidak maka harus dilakukan sebuah transformasi dalam hal ini rotasi. Saat kedua segitiga bertemu (gambar 2b), kedua segitiga letak setiap elemennya saling bertepatan dan tak terjadi perubahan pada bentuknya dimana segitiga tersebut tetap memiliki tiga sisi dan sudut yang sama besar hanya saja arahnya yang kini telah berubah yaitu segitiga yang sebelumnya mengarah ke atas kini mengarah ke bawah.

www.freeimagehosting.net

 

Perubahan arah yang berhubungan dengan waktu cenderung bagian dari ilmu fisika relativitas dimana perubahan waktu dan pengamat suatu bentuk akan berpengaruh pada bentuk bangun yang menimbulkan geometrization of physic. Ilmu tersebut merupakan pengembangan program geometri Klein namun saya simpulkan bukan bagian dari geometri karena obyek geometri, tetap berpatokan pada definisi Klein, adalah bagian sisi dan sudut segitiga yang tidak berubah. Sesuatu yang tidak berubah saat dilakukan sebuah sistem transformasi pada obyek tersebut.

Referensi

Leyton , Michael. 2006.  Shape as Memory a Geometric Theory of Architecture. Birkhäuser:Basel

http://www.merriam-webster.com/dictionary/geometry

Fokus dan Ilusi Optik

Filed under: perception — mutiahapsari @ 15:29
Tags: ,

Kita semua barangkali sering menemukan gambar-gambar dua dimensional yang mengandung ilusi visual dan terkadang menimbulkan pertanyaan atas kemampuannya “menipu” otak kita. Ilusi visual atau ilusi optikal didapat dari gambar yang kita tangkap secara visual dan dipersepsikan dalam otak kita sehingga gambar tersebut menjadi berbeda dari kenyataannya. Jika ditelaah dari teori persepsi Gibson, gambar di bawah ini misalnya, termasuk optical illusion jika fokus pandangan bergeser.

Sisi mana  yang Anda lihat terlebih dahulu? Apakah bagian kanan yang tumpul dan massive? Jika ya, maka gambar yang akan dilihat adalah gambar kelinci. Sekarang pindahkan fokus pada sisi kiri yang memiliki dua bidang memanjang. Si kelinci akan menghilang dan Anda justru akan melihat gambar bebek. Coba fokus kembali pada sisi tumpul di kanan, maka si kelinci akan muncul kembali.

Hal ini dapat terjadi karena ketika melihat gambar, mata kita secara otomatis akan menempatkan fokus pandangan pada suatu titik. Bisa jadi fokus pandangan jatuh di sisi kiri ataupun kanan gambar, akan berbeda bagi tiap orang tergantung sisi mana yang lebih dominan menurutnya. When a person moves their head, body, or eyes, the entire visual world moves uniformly in the opposite direction to the person’s movement (Allard, 2001). Visual world ini yang membentuk bebek dan kelinci dalam otak kita.

Dalam desain, dapatkah teori ini kita pergunakan untuk menciptakan pengalaman ruang yang berbeda?

Sumber:

http://en.wikipedia.org/wiki/Perception

http://en.wikipedia.org/wiki/Visual_perception

http://ahsmail.uwaterloo.ca/kin356/theories/direct.htm

Manusia dan Simetri

Filed under: classical aesthetics — adefadli14 @ 15:27
Tags: ,

Anda mungkin pernah mendengar kata samurai bukan? Seorang ahli pedang yang dapat menghabisi musuhnya hanya dengan sekali tebasan. Sekarang coba bayangkan anda adalah seorang samurai dan seseorang yang iseng meminta anda untuk membelah sebuah apel yang dilemparkannya pada anda di udara. Tanpa kesulitan sedikitpun anda membelah apel tersebut dengan sekali tebasan. Saya tidak akan mempertanyakan jurus atau aliran samurai apa yang terlintas dibenak anda saat membelah apel tersebut, melainkan kondisi apel tersebut setelah dibelah. Apakah anda membelahnya menjadi dua bagian tepat di tengah seperti pada gambar 1(a) atau tebasan anda terlalu cepat 0,1 detik hingga membelah pada bagian ujungnya saja seperti pada gambar 1(b)? Pada umumnya, dari percobaan yang saya lakukan setidaknya, mayoritas akan membelah apel tersebut tepat di tengah menjadi dua bagian sama besar, simetris.

www.freeimagehosting

Apa sih simetri? Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia didapat pengertian seimbang, selaras, sama kedua belah bagiannya. Jika ditelusuri dari asal katanya, kata simetri diambil dari bahasa Yunani  symmetros digunakan dalam bahasa Inggris menjadi symmetrical, suatu keseimbangan dalam proporsi. Apa sih proporsi? Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia didapat pengertian perbandingan, bagian, perimbangan. Jika ditelusuri dari asal katanya, kata proporsi diambil dari bahasa Inggris abad pertengahan   proporcion digunakan pertama kali pada abad ke – 14, suatu hubungan yang harmonis sebuah elemen baik dengan elemen lain maupun secara keseluruhan .

Manusia secara alami memiliki ikatan dengan simetri baik raga maupun rohani. Misalnya saja tim forensik menemukan hanya separuh wajah manusia, tim dapat merekonstruksi ulang menjadi sebuah wajah yang utuh karena ada simetri pada tubuh manusia. Dalam teknik menggambar misalnya, Scott Mcloud dalam bukunya “Membuat komik” menjelaskan bahwa dalam kondisi netral, tubuh manusia itu simetris. Perubahan pada posisi tubuh akan memberikan pesan lain pada karakter gambar tersebut. Selain itu, posisi tubuh pun dapat mempengaruhi emosi dan pikiran manusia. Jika anda sedang kesal, cobalah untuk memposisikan tubuh anda menjadi simetris hal ini biasa dilakukan saat orang akan bermeditasi maka perasaan anda berangsur – angsur akan membaik. Baik sadar ataupun tidak, bentuk simetri mempengaruhi kehidupan manusia dan memiliki tempat khusus pada pikiran kita semua. Maka tidak aneh jika hasil cipta karya manusia mendapatkan pengaruh yang besar dari sesuatu yang disebut simetri ini.

Mulai dari kuil Parthenon di Yunani hingga bangunan – bangunan pencakar langit pada abad ke -21, bangunan rancangan manusia masih (meskipun tidak semua) memperlihatkan bentuk – bentuk simetris pada elemen – elemen bahkan hingga bentuk keseluruhan. Vitruvius dalam bukunya “THE TEN BOOKS ON ARCHITECTURE” menjelaskan bahwa simetri merupakan bagian dari prinsip dasar arsitektur karena simetri merupakan penyesuaian yang tepat bagi elemen – elemen pada sebuah bangunan. Bangsa Yunani kuno sangat menggemari bangunan simetris karena kemegahan yang ditimbulkannya yang hingga kini tetap dikagumi bahkan dijadikan contoh untuk bangunan – bangunan pemerintahan di dunia. Manusia memang memiliki ikatan khusus dengan simetri dan cipta karya yang dihasilkan oleh bentuk simetri pun diakui memang memiliki kualitas yang baik namun, sebagai seorang arsitek, seorang perancang, apakah rancangan yang dilakukan harus berdasarkan hukum simetri? Mengutip perkataan guru saya saat SMA yang melakukan percobaan samurai dan apel di atas pada saya beberapa tahun yang lalu, “Kalau kamu membayangkan apel tadi terbelah dua sama besar, berarti pikiran kamu belum terbebaskan”.  Saya menyimpulkan bahwa pikiran mengenai aturan yang ada, trend, sesuatu yang seharusnya, hal yang wajar merupakan hal – hal yang membatasi imajinasi dan pemikiran. Walaupun begitu, jawaban dari pertanyaan haruskah mengikuti hukum simetri tentu kembali pada diri masing – masing. Mungkin kembali membayangkan menjadi  samurai bisa membantu?

Referensi

Vitruvius. The Ten Books of Arcitecture. trans by Morris Hicky Morgan, Ph.D, Ll.D

Mcloud, Scott. 2008. Membuat komik.Gramedia Pustaka Utama : Jakarta

http://www.merriam-webster.com/dictionary/symmetry

http://www.merriam-webster.com/dictionary/proportion

4 Dimensi

Filed under: contemporary theories — andreatheodore @ 15:23
Tags: ,

Saya sangat penasaran dan ingin sekali mengetahui apakah ada wujud berdimensi 4, atau wujud yang berdimensi lebih dari 3. Lalu, saya menemukan istilah tesseract. Kata tesseract digunakan pertama kali pada tahun 1888 oleh Charles Howard Hinton dalam bukunya A New Era of Thought. Tesseract ini dianggap sebagai contoh wujud berdimensi 4. Saya pun tertarik untuk mengetahui penjelasan proses membentuk benda ini hingga sampai pada wujud berdimensi 4. Berikut adalah wujud tesseract.

Dari penjelasan pada kolom 1, terlihat jika titik berubah menjadi garis. Kita bisa mengambil logika bahwa titik tersebut diperbanyak dan disusun berbaris dengan sangat rapat ke satu arah, yang saya anggap ini arah koordinat sumbu-x. Proses ini akan dilakukan berulang pada kolom-kolom gambar selanjutnya.

Pada kolom 2, garis diperbanyak dan disusun ke satu arah, namun ke arah yang berbeda dari sumbu-x, yaitu (anggap) ke arah sumbu-y. Proses ini menghasilkan bentuk 2 dimensi berupa bidang segi empat (anggap persegi), yang di dalamnya terdapat 2 sumbu koordinat, yaitu x dan y.

Pada kolom 3, persegi diperbanyak dan disusun ke satu arah, namun ke arah yang berbeda dari sumbu-x dan sumbu-y, yaitu (anggap) ke arah sumbu-z. Proses ini menghasilkan bentuk 3 dimensi berupa bangun ruang (anggap kubus), yang di dalamnya terdapat 3 sumbu koordinat, yaitu x, y dan z

Lalu pada kolom 4, kubus diperbanyak dan disusun ke satu arah, namun ke arah yang berbeda dari sumbu-x, sumbu-y dan sumbu-z, yaitu (anggap) ke arah sumbu-w. Proses ini menghasilkan bentuk 4 dimensi berupa bangun tesseract, yang di dalamnya terdapat 4 sumbu koordinat, yaitu x, y,z dan w

Terlihat sederhana, bukan? Tapi, tunggu. Apa bedanya bangun kubus pada kolom 3 dengan tesseract pada kolom 4? Sumbu-w itu ke arah mana? Kita bisa menerima dan mengerti arah-arah sumbu-x,y, dan z yang saling tegak lurus, namun tidak dengan arah sumbu-w yang tidak tegak lurus terhadap sumbu lainnya dan tidak jelas ke arah mana. Jadi, masalahnya di mana? Prosesnya memang terlihat benar dan bisa diterima, namun hasilnya sulit dipahami. Apa bedanya dengan 2 buah kubus yang dihubungkan ke satu arah

Menurut saya, mata dan otak manusia belum mampu memahami proses yang terjadi pada kolom 4 dengan baik. Sekarang saya akan coba jelaskan dengan proses yang mirip namun berbeda. Anggap kubus pada kolom 3 akan kita perbanyak dan kita susun ke satu arah sumbu yang kita kenal, misalnya ke arah sumbu-x. Apa yang terjadi? Kubus-kubus yang berimpit seperti gambar di bawah ini?

Atau seperti gambar ini? Garis-garis yang berkumpul dan membentuk persegi dalam satu kubus akan saling berimpit dengan garis-garis pada persegi dalam kubus lain, dengan asumsi jumlah kubus yang berderet pada satu arah ini sangat banyak.

Lalu, apa yang terbentuk? Mata manusia hanya dapat berasumsi bahwa benda yang kita lihat hanya balok panjang biasa. Padahal, seharusnya terdapat banyak sekali bidang-bidang dan garis yang saling berimpit dan beririsan. Kita tidak dapat melihatnya, namun kita tahu ‘itu’ ada di sana.

Pemahaman saya terhadap benda dimensi 4 ini adalah sesuatu yang kita tahu ada, namun tidak dapat dijelaskan melalui panca indera manusia. Contoh yang terpikirkan dalam benak saya adalah manusia. Kita tahu manusia terdiri dari jiwa dan raga, namun kita tidak dapat menjelaskan jiwa itu melalui kelima indera kita.

Memang, pemahaman ini memiliki banyak kelemahan, terutama dalam membedakan hal yang kita tahu ada namun tidak bisa kita jelaskan, dengan hal yang kita percayai (kepercayaan). Dan jika penjelasan ini dilanjutkan, bisa merujuk kepada hal yang berbau mistis, seperti Tuhan, roh, dan lain sebagainya. Tulisan ini pun bertujuan hanya untuk mencoba mengkritisi proses terbentuknya bentuk tesseract yang dianggap wujud berdimensi 4 berdasarkan pemikiran orang awam.

Ideal?

Filed under: ideal cities — yolasembiring @ 15:21
Tags:

Sekarang ini, banyak dijumpai perumahan-perumahan kelas menengah ke atas yang menawarkan berbagai fasilitas-fasilitas mewah yang mendukung keamanan dan kenyamanan penghuninya.  Fasilitas tersebut mulai dari petugas keamanan 24 jam, dinding pembatas dengan daerah luar perumahan yang tinggi, pintu gerbang masuk ke tiap blok yang hanya memiliki 1 akses dan dijaga ketat oleh petugas keamanan, bahkan hingga rumah yang kedap suara sehingga suasana di dalam rumah bebas dari gangguan suara-suara yang berasal dari luar rumah. Secara tampilan fisik perumahan tersebut juga terlihat asri, banyak rerumputan hijau dan bunga-bunga hias serta pohon-pohon yang menambah apik suasana, jalanan yang rapi dan rumah-rumah yang berderet teratur.

Para pengembang berusaha menyediakan fasilitas-fasilitas yang dapat meyakinkan calon pembeli bahwa perumahan tersebut aman dan nyaman untuk dihuni. Konsep ini sebenarnya seperti konsep-konsep ideal city dan utopia yang dicetuskan oleh beberapa orang ternama.

The Island of  Utopia oleh Thomas More:

… the fine appearance and the orderlines of the streets, houses, and gardens…

Kevin Lynch

… the ideal city reflects order, precision, clear form, extended space, and perfect control

Rosenau

… an ideal city represents a religious vision of  a secular view, in which social consciousness of the needs of the population is allied with a harmonious conception of artistic unity

Eaton

… cities whose life begins (and usually ends) in the form of ideas and which are often presented as being as close to perfection as possible..

Yang ditawarkan oleh perumahan-perumahan tersebut sama seperti apa yang dikemukakan oleh konsep-konsep ideal city di atas; fine appearance, perfect control, harmonious conception of artistic unity, as close to perfection as possible.  Tanpa harus ditegaskan, semua orang yang membaca iklannya akan tahu bahwa perumahan tersebut ditujukan bagi kalangan menengah ke atas, yang mempunyai cukup uang untuk membayar fasilitas-fasilitas tersebut.  Tidak ada tempat bagi kalangan menengah ke bawah, kecuali menjadi pekerja rendahannya.

Konsep ideal city tersebut ditujukan untuk diterapkan mencakup semua bagian kota, bukan sebagian saja. Hadirnya perumahan jenis seperti ini secara tidak langsung akan membagi-bagi mana kawasan untuk kalangan menengah ke atas dan mana kawasan untuk menengah ke bawah, justru menimbulkan pengkotak-kotakan di dalam kota itu sendiri. Adanya pengkotak-kotakan ini justru akan memperjelas perbedaan yang ada dan menjadi jauh dari harmony in unity seperti salah satu konsep ideal city. Seperti yang dituliskan dalam buku Jane Jacobs, The Death and Life of Great American Cities, kaum menengah ke bawah dan kaum menengah ke atas hidup untuk saling berdampingan mengisi kota dan membuat kota menjadi hidup.

Ditambah lagi perumahan-perumahan menengah ke atas tersebut biasanya di kelilingi tembok-tembok tinggi yang membuat batas antara perumahan dan dunia nyata menjadi sangat tegas. Dalam buku Vitruvius, The Ten Books on Architecture, tembok yang tinggi dibangung sebagai pertahanan terhadap kota tersebut dari musuh. Fungsinya untuk melindungi kota secara keseluruhan, bukan sebagian dan membentuk batas-batas di dalamnya. Sudah saatnya pembangunan perumahan-perumahan sejenis itu mulai dipikirkan lagi, agar kedepannya tidak semakin banyak yang membawa konsep ideal city ke bagian kecil dari kota saja, tetapi bagaimana suatu perumahan seharusnya dapat mendukung konsep ideal city secara keseluruhan di satu kota.

Teori Gestalt dalam WWF Advertisement

Filed under: perception — catherineviriya @ 15:20
Tags: ,
World Wide Fun for Nature, atau yang lebih dikenal dengan nama WWF merupakan sebuah organisasi non-pemerintah internasional yang bergerak di bidang konservasi, restorasi, serta research dan pembudidayaan lingkungan hidup di seluruh dunia. Organisasi yang banyak didukung oleh kaum muda ini tentunya membutuhkan kampanye yang kreatif dan menarik guna mengundang masyarakat untuk mendukung project yang mereka ajukan.

Salah satu cara melakukan kampanye yang menarik adalah dengan mempublikasikan iklan yang unik dan dapat dicerna dengan baik oleh masyarakat tanpa kehilangan inti dari tujuannya sendiri. Setelah saya melakukan pengamatan pada beberapa advertisement dari organisasi ini, saya melihat bahwa beberapa darinya menerapkan teori Geometri dan Persepsi Psikologi Gestalt, sebagai contohnya adalah logo WWF sendiri:


Uploaded with ImageShack.us

Gambar ini menerapkan Law of Closure dimana walaupun objek yang ada tidak komplit dan bagian-bagian tertentu tidak tertutup rapat, namun dengan menggunakan persepsi, kita dapat mengetahui bahwa gambar ini merupakan gambar seekor panda.

Uploaded with ImageShack.us

Gambar kedua ini menerapkan Law of Proximity dan Law of Closure dalam Teori Gestalt dimana apabila objek daun terletak berjauhan dan terpisah maka akan nampak sebagai sekedar daun, sedangkan dengan penyusunan sedemikian rupa keenam helai daun ini dapat terlihat sebagai objek baru yang sangat berbeda yaitu figure wajah seekor panda walaupun ada bagian yang tidak tertutup dengan sempurna

Uploaded with ImageShack.us

Gambar ketiga menerapkan Law of Similarity dimana objek yang sama disusun secara beraturan sedemikian sehingga menimbulkan persepsi bagi orang yang melihatnya menjadi sebuah pola yang membentuk objek yang berbeda, dalam gambar ini potongan-potongan kayu yang disusun sedemikian rupa menghasilkan bentuk yang menyerupai seekor jerapah.

Uploaded with ImageShack.us

Gambar keempat merupakan gambar yang paling kompleks karena menerapkan tiga aspek dalam teori Gestalt yaitu Law of Closure, Law of Proximity, serta Figure and Ground. Law of Closure terlihat dari gabungan objek-objek tidak tertutup yang menghasilkan gambar panda sebagai elemen dari gambar ini. Law of Proximity nampak dari gabungan objek-objek panda yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk siluet gambar rusa. Dan Figure and Ground dapat dilihat melalui warna hitam dan putih yang dapat dilihat dengan persepsi yang berbeda, antara berupa gambar dua buah rusa besar dan lima rusa kecil atau merupakan gambar panda-panda yang dirangkai sedemikian rupa membentuk pola.

Melalui gambar-gambar ini diketahui bahwa Teori Geometri dan Persepsi sangat dekat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari dan sangat menarik untuk dieksplorasi lebih lanjut.



Boom Sale!!!

Filed under: perception — androkaliandi @ 15:19
Tags:

Siapa hari ini yang tidak senang mendengar kata sale, atau kata discount? Apabila kita jalan-jalan di pusat perbelanjaan kota, pasti kita pernah menemukan kata ini. Meskipun niatnya jalan-jalan, setidaknya mata kita melirik ke retail yang memasang poster sale atau discount. Tidak jarang ada orang yang masuk untuk melihat barang apa saja yang di-discount dan membelinya (laper mata).
Nah apakah yang membuat poster sale atau discount itu menjadi ajang promosi?
Kemudian saya googling tentang sale dan discount, kemudian menemukan gambar dibawah ini:

Image and video hosting by TinyPic
Gambar A

Image and video hosting by TinyPic
Gambar B

Kemudian saya menemukan definisi sale dan discount.
Definisi sale:
a selling of shop goods at lower prices than usual (www.etymonline.com)
sedangkan kamus Merriam-webster mengkategorikan beberapa jenis sale, antara lain:
Midnight sale
Bargain sale
Yard sale
Garage sale

Definisi discount:
dis- (see dis-) + computare “to count” (www.etymonline.com)
a reduction made from the gross amount or value of something: as a (1) : a reduction made from a regular or list price (2) : a proportionate deduction from a debt account usually made for cash or prompt payment b : a deduction made for interest in advancing money upon or purchasing a bill or note not due (www.merriam-webster.com)

Gambar A adalah hasil pencarian Google terhadap kata sale, sedangkan gambar B adalah hasil pencarian Google tentang kata discount. Gambar yang muncul pada hasil pencarian google tehadap kata sale adalah gambar-gambar label/poster/logo yang cenderung memiliki bentuk kotak (persegi). Mengapa demikian? Menurut saya sale merupakan event (Midnight sale, Bargain sale, Yard sale, Garage sale), belum mencantumkan berapa besar potongan harga yang diberikan. Sehingga posternya simple (menggunakan geometri yang sederhana: persegi) menyajikan informasi yang general.
Sedangkan gambar yang muncul pada hasil pencarian google terhadap kata discount adalah gambar-gambar label/poster/logo yang cenderung memiliki bentuk lebih random (bentukan boom, bentukan splash). Poster discount tampil eksentrik diantara bentuk persegi yang hadir di ruang pusat perbelanjaan. Hal ini bertujuan untuk menarik perhatian pembeli untuk mengetahui seberapa besar potongan yang diberikan (30%, 50% atau bahkan 70%).
Desain persegi dan boom-a-like ini masih menarik ditelusuri terkait dengan brand imaging dan target market. Atau ada hal-hal lain yang diperhatikan perancang dalam menentukan geometri posternya.

Munculnya Euclidean Geometry

Filed under: classical aesthetics — jessicaseriani @ 15:12
Tags: , ,

Geometry based on the postulates of Euclid, especially the postulate that only one line can be drawn through a given point parallel to a given line. (Visual Dictionary of Architecture and Construction, Broto I Comerma, 2007)

Ageometry in which Euclid’s fifth postulate holds, sometimes also called parabolic geometry. Two-dimensional Euclidean geometry is called plane geometry, and three-dimensional Euclidean geometry is called solid geometry. (Weisstein, Eric W. “Euclidean Geometry.” From MathWorld–A Wolfram Web Resource. http://mathworld.wolfram.com/EuclideanGeometry.html)

Sejak zaman Renaissance sampai abad 900, seni dan matematika terus mengalami perkembangannya, terutama mengenai perspektif dan simetri.

Pada masa itu, seni didominasi oleh perspektif yang mewakili ruang sebagai sesuatu yang dilihat oleh mata atas dasar Euclidean. Geometri Euclidean muncul sebagai paradigma untuk mewakili ruang dan dianggap sebagai bentuk/struktur geometris yang ada di alam. Merunut kepada tulisan Galileo Galilei dalam bukunya “Il Saggiatore”: “Semesta tidak dapat dipahami tanpa mengetahui bahasa tertulis yang ada, bahasa ini adalah Matematika dan karakternya berupa segitiga dan lingkaran”. Gagasan tentang sebuah dunia yang ideal dalam Euclidean entah bagaimana kontras dengan kenyataan bahwa “visi menunjukkan garis paralel untuk berkumpul di suatu tempat” (seperti yang sudah dikenal sebagai Euclid dalam tulisan tentang Optik) (Popovici, 2010). Dari sini tampak bahwa kebutuhan pelukis untuk mewakili dunia tiga dimensi pada masa itu hanya bisa dilukiskan dalam dua dimensi dan akhirnya muncullah Geometri proyektif, di mana ruang dapat diganti menjadi ruang proyektif yang mencakup semua garis tak terhingga.

Dalam Geometri yang baru, ruang Euclidean masih dengan karakter garis lurus dan lingkaran yang mendominasi tetapi berakhir pada titik tak terhingga. Dari sini saya melihat bahwa gambar proyektif membantu para seniman dan matematikawan pada masa itu untuk  menghasilkan gambaran yang lebih real, lebih 3 dimensional dibandingkan pada gambaran yang mengikuti aturan euclidean geometry. Sehingga muncullah teori non-euclidean geometry.

Pada saat yang sama, keindahan dan harmoni terus mendominasi seni dan menjadi lebih penting sehingga muncullah gagasan kesimetrisan. Karya arsitektural yang indah diukur melalui kesimetrisan dan menjadi perbincangan. Sampai pada akhirnya, Matematika menempatkan bahasan Postulat V dan secara bertahap menemukan “Non-Euclidean Geometri” dimana kelengkungan menjadi ukuran non-linearitas. Ternyata munculnya istilah euclidean geometry seiring dengan pemikiran mengenai perspektif dan simetri. Dari pikiran dasar para seniman dn matematikawan mengenai bentuk-bentuk 2 dimensional hingga ke bentuk 3 dimensional.

Dictionary:
Plane Geometry: The branch of geometry that studies figures whose parts all lie in one plane
Surface: Any two dimensional figure, or that part or aspect of a body considered without depth, on the plane
Angle: The space between two straight lines diverging from the same point; measured in radian or in degrees, minutes and seconds.
Triangle: A polygon with three sides

Planning Ideal City

Filed under: ideal cities — triwahyuni89 @ 15:00
Tags: ,

The ideal of the modern city is like the ideal of a well-ordered home : a place for everything and everything in its place. (Lofland)

Ideal city dianggap sebagai pencapaian atas kesempurnaan hidup. Dimana semua keinginan dan kebutuhan manusia bisa didapat dalam satu kota yang ideal. Terhindarnya manusia yang hidup di dalam system ideal city jauh dari rasa ketidaknyamanan atau dapat dikatakan Ideal City merupakan pendekatan mengenai kesejahteraan. Mungkin ini hanya sedikit pembuka dari Lofland yang akhirnya membuat tokoh-tokoh terkenal setingkat Le Corbusier dan Ebenezer Howard ikut memutar otak untuk mendapatkan konsepsi Ideal City. Le Corbusier melihat Ideal city lebih kepada bagaimana semua yang ingin didapatkan mudah dicapai, penghematan lahan, serta kegiatan ekonomi yang dapat berjalan dengan baik. A contemporary city (1922) dan berlanjut dengan Plan Voisin (1925) menjadi contoh dari rencana ideal city yang ditawarkan oleh Le Corbusier.

Di sini sangat jelas bahwa Le Corbusier lebih senang dengan system grid yang ia anggap akan mempermudah untuk di lay-out, mudah untuk dipahami dan mudah untuk membagi lahan kota, setidaknya Le Corbusier pernah mengutarakan mengenai grid design : “Streets are often on a rigid grid design, or if not a grid, at least a pattern that looks very well-thought-out when observed in a scale model.”, opininya mengenai system grid memang banyak kita jumpai pada pola kota-kota sekarang ini. Namun, sayangnya pada dua ide mengenai Ideal city ini, Le Corbusier memaksakan para penghuninya untuk tinggal di gedung-gedung tinggi dan semua kegiatan terjadi di sana. Konsep ideal city yang modern memaksa bentukan dari bangunan terjebak pada bangunan tingkat tinggi yang berada dalam superblock dan memaksakan kehadiran taman sebagai penembus dosa akan vertical city yang dibangun ini. Dua rencana milik Le Corbusier ini dianggap hanya diperuntukan bagi kaum elit, sedangkan penduduk dengan ekonomi biasa tidak dapat menjadi bagian dari Ideal city yang dicanangkan Le Corbusier. Berbeda dengan konsepsi Ideal City dari Le Corbusier yang lain, yaitu Radiant City. Radiant City lebih merakyat, dalam hal ini, keberadaan apartemen bukan dilihat dari kekayaan namun lebih kepada kebutuhan, dimana kaum elit dan yang tidak elit dapat berkegiatan bersama dalam satu tempat. Le Corbusier menawarkan kebebasan dalam radiant city. Karena di dalam apartemen ini, ia memastikan para penghuni dapat menikmati tiap kemudahan yang ada, seperti restaurant yang memungkinkan para penghuni memesan makanan untuk di antar ke kamarnya atau adanya jasa laundry yang tentu memudahkan mereka. Bila ingin menikmati suasana alam, jangan sungkan ke rooftop garden. Namun dengan konsep Le Corbusier, penghuni menjadi tidak mengenal dunia luar, karena vertical city yang ia buat membuat penghuni akan berkegiatan tanpa berpindah keluar dari lingkungannya.

Berbeda dengan Le Corbusier, berbeda pula dengan Ebenezer Howard yang mengajukan dengan “The Town-Country Magnet”

Bila melihat dari bentuknya system yang digunakan jelas berbeda dengan Le Corbusier, di sini lebih terlihat bagaimana pembagian yang jelas terlihat dimana ada hunian, dimana letak industri, dimana letak pertanian yang menjadi sumber hidup mereka. Howard lebih memikirkan bagaimana menyatukan kota dan desa, memikirkan bagaimana menaikan kualitas hidup di desa dan di kota. Seakan-akan howard menskenariokan bagaimana proses kehidupan hasil dari rural yang bisa digunakan di area kota. Dan central park sebagai pusatnya merupakan tujuan tempat berkumpulnya orang-orang, bukan sekedar sibuk dengan kawasan hunian mereka saja. Howard tidak membatasi sebuah kota yang ideal adalah kota yang bersih sampai steril, namun ia lebih menekankan kehidupan yang sejahtera karena intervensi yang ia lakukan.

Referensi :

http://www.uky.edu/Classes/PS/776/Projects/Lecorbusier/lecorbusier.html

http://www.contemporaryurbananthropology.com/…/Howard,%20Garden%20Cities.pdf

Persepsi dan Makna

Filed under: perception — arichichristika @ 14:55
Tags: , , ,

Persepsi adalah sebuah proses untuk mendapatkan informasi, suatu cara memahami sebuah objek dan hubungannya dengan objek lain disekitarnya.

Sebuah persepsi dapat berbeda antara orang yang satu dan yang lainnya walaupun berada dalam situasi yang sama. Tetapi lebih dari itu ketika melihat sesuatu yang berbeda maka akan timbul makna yang berbeda pula.

Contohnya seperti gambar di atas, apa yang anda lihat waktu pertama kali melihatnya? Kalau saya langsung melihat seorang wanita muda yang sedang menoleh ke arah belakang, tetapi ternyata kalau dilihat dan diamati, gambar tersebut dapat menggambarkan seorang wanita tua yang sedang menunduk. Apakah anda melihatnya? Nah, dengan cara melihat yang berbeda seperti itu maka makna yang timbul pun berbeda. Ini sesuai dengan teori Gibson, ‘moving observer changing perception’ walaupun sebenarnya observer tidak berpindah, hanya cara melihat saja yang berubah dan perubahan tersebut mengubah makna.

Persepsi dan makna inilah yang menurut saya menarik, dan saya terpikir bagaimana sebuah desain dapat seperti gambar diatas. Desain yang dapat mengubah persepsi seseorang di dalam sebuah ruang sehingga makna ruang tersebut berbeda dari yang sebenarnya.

Sebenarnya tanpa kita sadari ruang yang mata manusian lihat adalah berbentuk 2D tetapi mata manusia mempunyai kemampuan seperti halnya  komputer, mata kita seperti bisa merender sebuah pengelihatan yang 2D menjadi 3D dengan cara menangkap perbedaan cahaya dan warna.

Setelah mencari sumber, ini adalah salah satu desain manipulatif yang dapat merubah makna sebuah ruang dari proses memahami objek dan objek lain disekitarnya ( persepsi )

Ini ada beberapa contoh dari space perception :

Dan masih banyak contoh lainnya seperti WideOut-nya James Turrel.

The meaning of something will change when you look at it differently.

You can look at anything differently and it will have a different meaning.

There is no fixed meaning to anything.

You can always change perspectives and change meanings.

Why not change them to what you prefer them to be?

referensi :

  1. The Meaning of Perception (http://www.worldtrans.org/TP/TP1/TP1-9.HTML)
  2. faculty.washington.edu/inanici/Publications/35_Paper.pdf ( Space Perception and Luminance Contrast)

Persepsi Arsitektur dan Desain dengan Geometri yang Saling Terkait

Filed under: architecture and other arts — evita18 @ 14:52
Tags: , ,

Ketika seorang perancang (dalam hal ini pelukis, seniman, ataupun arsitek) menuangkan idenya di suatu media yang menurutnya sesuai dengan idenya, maka si perancang tersebut tidak akan terlepas dari suatu bentuk.
Di dunia ini terdapat begitu macam bentuk yang tak terhitung jumlahnya. Namun menurut ahli-ahli zaman dahulu yang telah meneliti angka agung yaitu phi =1,618 secara geometris, bentuk yang dianggap proporsional dan indah apabila mengikuti perbandingan agung ini. Ini menunjukkan bahwa konsep sebuah ke proporsionalan diukur dari perbandingan geometri yang ada.
Yang saya pikirkan disini adalah jika semua bentuk seperti sudah memiliki perbandingan geometri yang ada lalu apakah itu berarti semua bentuk di dunia ini harus “terikat” pada geometri?
Ketika melihat bentuk-bentuk di alam pun, kita melihat bahwa tidak ada yang benar-benar lurus atau bentuk kaku dari bentuk tumbuh-tumbuhan atau binatang, mereka sangat flexible. Namun sesungguhnya, ke flexibelan mereka pun mengandung order tertentu yang disebut fractal geometri. Fractal geometri merupakan suatu pengorderan pengorganisasian yang menjelaskan bentuk-bentuk alam.
Jika sudah begitu, bentuk alam yang tidak beraturan saja dapat dijelaskan dengan istilah fractal “geometri”,berarti semua bentuk di dunia benar-benar terikat geometri bukan? Benar begitu? Lalu bagaimana dengan para seniman penggambar abstrak?
“Sekilas Seni Abstrak

Louis Fichner dalam Understanding Art (1995) menyatakan, seni abstrak merupakan penyederhanaan atau pendistorsian bentuk-bentuk, sehingga hanya berupa esensinya saja dari bentuk alam atau objek yang diabstraksikan. Abstraksi, mengubah secara signifikan objek-objek sehingga menjadi esensinya saja.

Seni abstrak diciptakan melalui dua pendekatan. Pertama, seni abstrak diciptakan tanpa merujuk secara langsung pada bentuk-bentuk eksternal atau realitas. Ke dua, seni abstrak berupa citraan-citraan yang diabstraksikan yang berasal dari alam. Seni abstrak diciptakan melalui proses mengubah atau menyederhanakan bentuk-bentuk menjadi bentuk geometrik atau biomorfik. Seni abstrak juga dapat diciptakan dalam bentuk ekspresif”.
Melalui bacaan diatas, saya berasumsi bahwa jika memang seni abstrak adalah penyederhanaan bentuk menjadi makna utama atau esensinya saja, berarti kembali pada bentuk-bentuk yang memang telah ada di dunia ini, bahkan bentuk alam yang terkadang menjadi inspirasi bagi seni abstrak pun memiliki order yaitu fractal geometri. Jikalau begitu, mungkin saja, secara subjektif, dapat disimpulkan bahwa abstrak sekalipun mengikuti suatu bentuk geometris yang ada di alam.

sumber :http://liza-pecintasenimurni.blogspot.com/2010/06/membaca-makna-seni-lukis-abstrak.html

Perbandingan Agung secara Geometri yang Tersebar di Alam Semesta

Filed under: classical aesthetics — evita18 @ 14:48
Tags:

Perbandingan agung yang ditemukan di alam ini tidak hanya ditemukan pada manusia saja, kali ini saya akan membahas mengenai pembagian agung dan deret Fibonacci yang ditemukan pada benda-benda lainnya di alam semesta ini. Kalau kita perhatikan corak sayap kupu-kupu, mereka juga mengikuti Pembagian Agung. Perbandingan anggota tubuh serangga, burung pinguin, ikan lumba-lumba dan sebagainya ternyata juga tidak terlepas dari Pembagian Agung ini
Demikian juga pada tumbuhan, pertumbuhan cabang-cabangnya, panjangnya mengikuti Pembagian Agung sedangkan jumlah cabangnya mengikuti Deret Fibonacci.

Selain itu, pembagian agung pun ditemukan dalam pembangunan kuil2 yunani kuno dengan pilar-pilar yang besar. Misal pada kuil Parthenon, kuil ini dibuat dengan memperhatikan komposisi pembagian agung ini. Dalam bagian luar katedral notredame ini pun dilakukan pembagian agung.

sumber : pranaindonesia.wordpress.com

Sebuah Nilai yang Berasal dari Keagungan Tuhan Angka 1,618

Filed under: classical aesthetics — evita18 @ 14:47
Tags: ,

Di dunia ini banyak sekali misteri yang belum kita ketahui, jujur saja setelah mengikuti mata kuliah geometri pun banyak hal baru yang saya ketahui yang tidak pernah saya sangka. Salah satunya perbandingan geometri pada tubuh manusia.
Yang ingin saya bahas disini adalah mengenai keistimewaan angka phi (1,618) yang telah banyak diteliti misterinya oleh para pakar bahwa angka ini menjadi angka perbandingan agung yang telah dititipkan Tuhan untuk manusia.
Apabila dari kita ada yang telah menonton karya fiksi Dan Brown, the Da vinci Code, di salah satu bab dalam film tersebut diceritakan mengeni pembagian agung dalam deret Fibonacci.
Pembagian agung yang seringkali disebut Divine Proportion atau golden section adalah sebuah perbandingan yang ditentukan oleh angka phi (1,618). Phi sendiri dapat digambarkan sebagai berikut

Hasil pembagian itu selalu sama, yaitu: 1,618 (setelah pembulatan)
Dan tak dinanya, ternyata pembagian agung ini dapat ditemukan pula dalam tubuh kita, bila tinggi tubuh kita dibagi dengan jarak antara pusar sampai ke telapak kaki, akan kita dapatkan nilai Phi atau angka 1,618, panjang tangan kita mulai dari siku sampai ke ujung jari dibagi dengan jarak dari pergelangan tangan sampai ke ujung jari adalah 1.618,
Demikian juga jarak dari pangkal paha sampai ke telapak kaki dibagi dengan jarak antara lutut sampai ke telapak kaki, juga 1,618, demikan pula dengan jarak antara ruas jari-jari kita, setiap ruas yang panjang dibagi ruas yang pendek hasilnya selaluPhi. Pengulangan Phi seperti yang kita temukan pada ruas-ruas jari disebut denganDeret Fibonacci.

Beberapa contoh deret Fibonacci yang dapat ditemukan dari diri kita adalah melalui tangan kita. Setiap ruas jari telunjuk, mulai dari ujung jari sampai ke pergelangan tangan, lebih besar dari ruas sebelumnya, perbandingannya kira-kira 1,618 kalinya, juga cocok dengan Angka Fibonacci: 2, 3, 5, dan 8
Tidak Cuma tangan, lengan kita pun memiliki perbandingan phi. Seluruh panjang lengan anda dari siku hingga ke ujung jari dibagi dengan jarak dari siku sampai pergelangan

Leornado Da vinci telah lama membuat gambar manusia memakai perbandingan ukuran yang sempurna seperti itu dengan berpedoman pada pembagian agung dan deret Fibonacci ini. Gambar leornado yang terkenal adalah vitruvian man. Gambar ini seringkali dijadikan patokan proporsi pada tubuh manusia. Dari gambar ini, leornado ingin menceritakan bahwa bila seseorang berbaring terlentang dengan tangan dan kaki yang direntangkan dan pusar sebagai pusatnya, maka dapat dibuat lingkaran yang menyentuh ujung-ujung jari tangan dan jari kakinya (seperti memakai jangka). Lalu dapat dibuat pula bujur sangkar dengan membuat garis horizontal di puncak kepala dan kaki serta garis vertical dari ujung jari tangan yang terentang lebar.

Sesungguhnya Tuhan menciptakan alam semesta ini dengan bentuk-bentuk geometris dan proporsi yang seimbang. Dan hal ini pun dapat dilihat dari geometris tubuh manusia yang ternyata mengikuti deret fibonacci

Indah Diukur dengan Geometri, Betulkah?

Filed under: classical aesthetics — stellanindya @ 14:46
Tags: ,

Geometri merupakan ilmu pengukuran terhadap bumi dan ruangnya. Ketika dipikir-pikir, apakah guna Geometri dalam Arsitektur itu? Mengapa kita perlu mempelajarinya?

“Architecture has some of the strongest educational ties to geometric organization because of the necessity for order and efficiency in construction, and the desire to create aesthetically pleasing structures” (Kimberly Elam, 2001: 101)

Elam mengungkapkan bahwa arsitektur mempunyai hubungan erat dengan geometri. Salah satu yang menghubungkan adalah nilai estetika. Hal ini terbukti dari adanya jasa arsitek rumah, arsitek bangunan, dsb. Darimanakah nilai estetis itu diukur? Karya arsitektur dibatasi oleh aturan-aturan geometri yang ada, sehingga bentuk menjadi terikat. Aturan geometri yang paling populer adalah Golden Section.

for without symmetry and proportion, no temple can have a regular plan” (Vitruvius, 1960)

Vitruvius berkata untuk membuat kuil diperlukan rasio dan proporsi ukuran yang tepat. Sebenarnya hal ini membuat keterbatasan dalam hal desain dan ide bentuk kuil. Apakah geometri seperti ini bukan justru untuk membelenggu kreativitas perancang? Suatu bangunan dikatakan indah jika rasio dan proporsi ukuran sesuai dengan kaidah yang berlaku. Barulah estetik. Dengan aturan seperti itu, para arsitek jaman itu memiliki keterbatasan ide kreatifitas mereka. Yang seharusnya bisa merancang apa, ternyata hanya bisa apa. Namun, hal tersebut yang menjadi patokan keindahan mereka. Yang sesuai proporsi dan rasio, itulah yang indah.

Namun, akankah semua bangunan diukur secara geometri untuk mendapatkan estetika tersebut? Apakah hal itu berlaku sampai sekarang secara sadar maupun tidak sadar?

Ideal City, Apakah Hanya Sebuah Persepsi?

Filed under: ideal cities — meiyogo89 @ 14:44
Tags: ,

Pada pembahasan kali ini saya ingin mengungkapkan pendapat saya tentang Ideal City. Saya mendapat ide saat hari Minggu kemarin tanggal 20 Maret 2010, saya menjadi salah satu guru sekolah minggu di gereja ,untuk anak-anak yang kira-kira berumur 7-9 tahun. Mereka mendapt tugas untuk menggambar apa itu surga? Bermacam-macam hasil gambar mereka, namun ada satu gambar yang membuat saya menarik, salah seorang anak bernama Rio menggambar sebuah kota yang semuanya dipenuhi permen dan cokelat dan bangunan-bangunannya dibuat juga dari makanan. Yang kemudian saya bertanya kepada anak itu mengapa dia menggambar sperti itu, kata dia,” kalo semua terbuat dari makanan kan kita g bakal takut lapar lagi kan kak?”. Kata- kata anak ini tadi mengingatkan saya dengan Ideal City yang saya dapatkan di Mata Kuliah Geometri. Yang kemudian memberi saya ide untuk membahas apakah ideal city itu berbeda-beda pada tiap persepsi manusia.

Kemudian saya teringat akan sebuah artikel yang saya baca di Internet.Pada era tahun 80-an Affandi, seorang pelukis Naturalisme yang amat terkenal, melukis keadaan kota Jakarta dimana saat itu ia sedang melukis bundaran HI. Namun, yang menarik adalah pada lukisan itu adalah, si “Bundaran HI” itu sendiri malah diletakkan dipinggir jalan oleh Affandi. Saat diwawancara mengapa bundaran HI itu dipindah olehnya, Affandi menjawab, ”biar tidak macet”. Secara tidak langsung Affandi mengekspresikan langsung keadaan yang sering terjadi di HI. Hal ini yang menarik menurut saya dimana peran sebuah ‘Order’ di Jakarta(bundaran HI), yang digunakan untuk mencoba merealisasikan sebuah “ideal city” dimana dalam kasus ini, Order itu berperan untuk menjawab masalah “Macet” yang ternyata masalah itu tak terselesaikan hingga saat ini. Seorang seniman seperti affandi mencoba menggambarkan “order” dalam lukisannya, dimana ia meletakkan Bundaran HI pada lukisan itu dipinggir jalan. Ia mencoba merealisasikan Ideal City secara spontan lewat lukisannya.

Dalam bukunya, Wastu Citra, 1988, Y.B. Mangunwijaya di antaranya menulis: …Arsitektur yang berasal dari kata architectoon / ahli bangunan yang utama, lebih tepat disebut vasthu / wastu (norma, tolok ukur dari hidup susila, pegangan normatif semesta, konkretisasi dari Yang Mutlak ), lebih bersifat menyeluruh / komprehensif, meliputi tata bumi (dhara), tata gedung (harsya), tata lalu lintas (yana) dan hal-hal mendetail seperti perabot rumah, dll. Total-architecture tidak hanya mengutamakan aspek fisik saja, yang bersifat rasional, teknis, berupa informasi tetapi mengutamakan pula hal-hal yang bersifat transendens, transformasi, pengubahan radikal keadaan manusia. Oleh sebab itu citra merupakan bagian yang sangat penting dalam berarsitektur. Citra menunjuk pada sesuatu yang transendens, yang memberi makna. Arti, makna, kesejatian, citra mencakup estetika, kenalaran ekologis, karena mendambakan sesuatu yang laras, suatu kosmos yang teratur dan harmonis.

Dari kedua kasus diatas, muncul beberapa pertanyaan yaitu apakah peran “Order” dalam menciptakan Ideal City itu memang realistis? sebab jika dilihat dari kasus Bundaran HI, Order didaerah tersebut belum menyelesaikan permasalahan pada daerah tersebut, ataukah sebenarnya Ideal City itu hanyalah sebuah persepsi yang berbeda-beda pada tiap orang yang memahaminya? Seperti yang terjadi antara Rio dan Affandi saat mereka mencoba menggambar ‘ideal city’ menurut pemikiran mereka. Yang menjadi kesimpulan saya adalah, semua orang baik anak-anak maupun dewasa mempunyai pengertian “ideal” yang sesuai dengan persepsi mereka masing-masing. Dimana peran order  menurut saya hanyalah sebagai faktor pendukung terciptanya ‘ideal city’ yang tidak sepenuhnya bisa mewujudkan ‘ideal city’ itu sendiri.

Sumber : Mangunwijaya, Y.B. Wastu Citra. Penerbit Eirlangga.Jakarta.1988

Golden Ratio of Beautiful Face

Filed under: classical aesthetics — Ryan Tjahjadi @ 14:41
Tags: ,

Banyak orang yang mengatakan bahwa kecantikan seseorang itu relatif. Namun manusia selalu ingin mengobjektifkan sesuatu yang dianggap subjektif. Lalu apakah ada kecantikan yang absolut? Apakah ada parameter yang akurat mengenai cantik atau tidaknya seseorang?
Banyak sekali wacana yang membahas mengenai kecantikan dan dikaitkan dengan Golden Ratio atau Golden Section.
Golden Ratio pada wajah dibentuk oleh deret Fibonacci yaitu 1, 1, 2, 3, 5, 8, 13, 21, .. yang dari deret ini diapatkanlah golden ratio / Φ = 1.618 033 …
Dari Φ inilah dapat dibuat proporsi-proporsi untuk tubuh manusia. Sebenarnya golden ratio pada tubuh dan wajah manusia ini sudah ditemukan oleh Leonardo Da Vinci berabad-abad yang lalu. Namun apakah ini menjadi patokan yang absolut untuk menguji kecantikan manusia??
Maka dari golden ratio itu dibentuklah Golden Ratio Mask untuk menguji kecantikan wajah seseorang. Seperti inilah bentuknya..golden ratio maskhollywood

Mask ini sudah banyak dicobakan ke wajah-wajah manusia di penjuru bumi khususnya di kalangan artis-artis hollywood. Dan ada beberapa artis yang sangat cocok dengan ‘mask’ ini sehingga kecantikannya dianggap absolut. Beberapa diantaranya adalah Angelina Jolie, Jessica Simpson, Tom Cruise, dan lain lain..
Namun ada pula artis-artis hollywood yang tidak cocok dengan ‘mask’ ini seperti Kirsten Dunst, Audrey Hepburn, Olivia Hussey, dan lain-lain.. namun tetap saja menurut saya mereka sangat cantik.
Lalu apakah golden ratio itu akurat / absolut? Mungkin memang akurat namun tidak untuk mendefinisikan kecantikan.. kembali lagi pada teori relativitas dari Bung Einstein..
Saya pun tergoda untuk mencobakan golden ratio masks itu pada beberapa foto orang termasuk foto saya sendiri. Dan beginilah hasilnya…

Sekilas memang terlihat bahwa wajah saya secara keseluruhan cocok dengan golden ratio mask ini. Namun jika diperhatikan lebih lanjut, ada bagian-bagian yang tidak cocok seperti pada cuping hidung dan alis mata.
So.., do you think I’m beautiful ?? 🙂

Sumber :
http://www.intmath.com/numbers/math-of-beauty.php
http://vladayvozkjusys.blogspot.com/2011/03/proportions-of-face.html