Tulisan ini akan membahas tentang architectural mess yang dimaksudkan oleh Jeremy Till dalam bukunya Architecture Depends. Saya mencoba membahasnya dengan cara membandingkan antara mess yang dimaksud olehnya(Till) dengan pengertian mess oleh dua arsitek lain(Leach & Harries).
Architecture depends… on what? Begitulah pertanyaan yang langsung muncul di pikiran saya ketika membaca judul buku yang ditulis oleh Jeremy Till, Architecture Depends. Arsitektur bukan merupakan sebuah disiplin ilmu yang bisa berdiri sendiri. Buku ini menjelaskan bagaimana seharusnya sebuah arsitektur itu bisa bekerja dengan baik, dengan memperhatikan segala aspek yang terdapat di dunia nyata. Realita kehidupan sehari-hari masyarakat – yang mengokupansi ruang – merupakan fokus utama dalam memproduksi sebuah arsitektur yang baik.
“But architects will deserve this attention only if they give up their delusions of autonomy and engage with others in their messy, complex lives. Then, maybe, mess will be the law“.(Till, 2009)
Jika Mies van de Rohe menyatakan “Less is More”, sedangkan Robert Venturi membantahnya dengan “Less is Bore”, maka Jeremy Till muncul dengan sesuatu yang baru, “Mess is the Law”. Till menekankan tentang mess yang dihasilkan oleh masyarakat kita, bukan merupakan sebuah ancaman bagi sebuah arsitektur. Akan tetapi, merupakan sebuah kesempatan bagi arsitek untuk menyelesaikanya(secara spasial).
“I am only suggesting that contingency is a pivotal feature, and needs to be taken into account rather than avoided as a potential threat. In this contingency situates us in the real world, providing opportunities for transformative change while avoiding the siren calls of ideals”.(Till, 2009)
Pada akhirnya, architectural mess menghasilkan, dalam sebuah masyarakat tertentu, sebuah contingency. Contingency merupakan gabungan antara sebuah keadaan yang sebenarnya/realita dengan sebuah kemungkinan(Hegel,1969). Menurut Till(2009), kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di dalam realita masyarakat kita inilah yang seharusnya diperhatikan oleh para arsitek. Hal yang demikian akan menghindarkan arsitektur dari sesuatu yang ideal, karena sesuatu yang ideal belum tentu merupakan sesuatu yang dibutuhkan.
“Where order and certainty close things down into fixed ways of doing things, contingency and uncertainty open up liberating possibilities for action. In this light contingency is more than just fate; it is truly an opportunity”.(Till, 2009)
Ketika architectural mess melahirkan sebuah contingency, hal tersebut bukan merupakan sebuah ancaman bagi arsitektur. Sebuah kemungkinan justru akan menghasilkan suatu kesempatan yang memicu kreativitas. Lebih lanjut, Till(2009) menganalogikan cara arsitek untuk menyelesaikan kesempatan-kesempatan tersebut, yaitu dengan menjadi Angels with Dirty Faces yang mengibaratkan arsitek merupakan seorang malaikat yang dapat pergi kemana saja bahkan sampai ke kedai-kedai kopi untuk mengamati realita kehidupan masyarakat yang menjadi obyek utama bagi asitektur.
“They then sweep down, colored and embodied, discursive and slightly grubby as they drink cheap coffee from street stalls. It is movement from on high to low and back again that is necessary for architectural angels if one is not going to get overwhelmed by the brute realities of the everyday world”.(Till, 2009)
Dari pembahasan di atas, Jeremy Till lebih menitikberatkan architectural mess yang bersumber dari social lives. Bagaimana dengan arsitek-arsitek lainnya?
“Architects have become increasingly obsessed with image and image-making, to the detriment of their discipline. The sensory stimulation induced by these images may have a narcotic effect that diminishes social and political awareness, leaving architects cosseted within their aesthetic cocoons, remote from the actual concerns of everyday life”. (Leach, 1999)
Neil Leach(1999) mencoba memberikan konteks yang berbeda kepada architectural mess. Menurutnya, akan sangat tidak benar jika para arsitek hanya memikirkan tentang image di dalam sebuah arsitektur. Mess dalam konteks ini lebih menekankan tentang mess yang hadir akibat salah persepsi oleh sang arsitek sehingga menghasilkan sebuah karya arsitektur yang dapat merusak kehidupan sosial budaya masyarakat. Dalam hal ini, mess merupakan sebuah hasil dari suatu tindakan yang dilakukan oleh arsitek.
“Architecture along the principles of functionalism, programmatic, determinism, and technological expressionism, produce building, without connection to site & place, the human being, and history ”.(Harries, 1997)
Karsten Harries(1997) berpendapat bahwa architectural mess adalah apa yang dilakukan oleh para arsitek modernism. Menurutnya, mass production sangat tidak humanis. Oleh karena itu, arsitektur harus lebih memperhatikan manusia yang akan menggunakannya.
Dari ketiga pendekatan tentang architectural mess di atas, masing-masing memang memiliki konteks yang berbeda. Jeremy Till memberikan penekanan bahwa mess yang ada pada masyarakat kita merupakan obyek yang harus dipahami agar menghasilkan sebuah arsitektur yang baik. Sementara Neil Leach menekankan bahwa interpretasi seorang arsitek yang salah terhadap suatu obyek akan menghasilkan mess dalam masyarakat tersebut. Sedangkan Karsten Harries berpendapat bahwa mess akan terjadi jika arsitek tidak memperhatikan manusia sebagai aktor utama dalam arsitektur.
You must be logged in to post a comment.